Minggu, 26 Agustus 2012

Intisari Arkeologi Publik

Pengantar: Perspektif-Perspektif Baru dalam Arkeologi Publik Global

oleh Jusman Mahmud pada 27 Agustus 2012 pukul 8:48 ·
Apa Arkeologi Publik Itu?

Sejak dari sangat awal, arkeologi selalu terkait dengan konstituen yang jauh lebih luas ketimbang para arkeolog semata. Sebagai contoh, ekskavasi-ekskavasi arkeologis telah mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kehidupan dan aktifitas masyarakat di sekitar proyek-proyek tersebut dilangsungkan. Objek-objek arkeologi telah diperdagangkan dan dikumpulkan oleh dan ditampilkan untuk publik umum. Penelitian arkeologi telah menghasilkan informasi dan pengetahuan yang luas, yang tidak hanya memiliki kontribusi pada formasi pemahaman publik tentang masa lalu, tetapi juga menjadi dasar berbagai identitas kolektif masyarakat. Namun demikian, hubungan antara arkeologi dan publik telah begitu lama diabaikan oleh mayoritas umum arkeolog, menganggapnya tidak relevan dengan tujuan studi mereka: memahami masa lalu. Lahirnya arkeologi publik pada tahun 1970-an – 1980-an dan perkembangannya pada tahun 1990-an dan awal abad ke-21 merupakan sebuah usaha untuk merubah situasi diskursus ini. Para pendukung arkeologi publik telah menggagas bahwa hubungan arkeologi dengan komunitas yang lebih luas seharusnya menjadi subjek pembahasan dan penelitian para arkeolog (Shadla-Hall 1999, 2004).

Bagaimana kemudian “arkeologi publik” didefinisikan? Pertanyaan ini merupakan sebuah persoalan yang perlu dibahas karena istilah arkeologi publik memiliki pengertian yang berbeda pada orang-orang yang berbeda (Ascherson 2006: 50-51); dalam buku yang Anda pegang ini, Pyburn (Bab 3), Wang (Bab 4), Lea dan Smardz Frost (Bab 5), Kwon dan Kim (Bab 7), Shoocongdej (Bab 8), Burke, Gorman, Mayes, dan Renshaw (Bab 11), Colwell-Chanthaphonh, Ferguson, dan Gann (Bab 18), dan Saucedo-Segami (Chap. 19) masing-masing menawarkan narasi dan pandangan yang berbeda, namun tidak berarti bertentangan, mengenai kemungkinan definisinya.

Ketika istilah “arkeologi publik” dimunculkan oleh McGimsey (1972) pada awal tahun 1970-an, pengertiannya lebih ditekankan pada usaha-usaha para arkeolog untuk merekam dan melindungi tinggalan-tinggalan arkeologis yang terancam oleh proyek-proyek pembangunan, atas nama dan bersama dukungan publik (McGimsey 1872: 5-6; lihat juga Merriman 2004a: 3; Schadla-Hall 1999: 146-147). Pandangan ini masih banyak digunakan di USA, di mana arkeologi publik dikaitkan dengan manajemen sumber daya budaya (CRM) yang dijalankan untuk kepentingan publik (Cleere 1989: 4–5; Jameson 2004: 21; McDavid dan McGhee 2010: 482; McManamon 2000: 40; White dkk. 2004). Tetapi di tempat lain, istilah ini telah menerima pemaknaan baru yang beragam (Ascherson 2006, 2010; McDavid dan McGhee 2010: 482). Sebagai contoh, sebuah jurnal yang diterbitkan pada tahun 2000 yang didedikasikan untuk subjek ini, diberi judul Public Archaeology, menyusun daftar tema berikut yang mendesak untuk segera dibahas sebagai persoalan utamanya: kebijakan-kebijakan arkeologis, pendidikan dan arkeologi, politik dan arkeologi, arkeologi dan pasar barang-barang antik, etnisitas dan arkeologi, keterlibatan publik dalam arkeologi, arkeologi dan hukum, ekonomi arkeologi, serta pariwisata budaya dan arkeologi (Public Archaeology, 2000: sampul dalam)

Beragamnya persoalan yang bersinggungan dengan arkeologi publik menyiratkan bahwa subjek ini merupakan bidang kajian yang sangat luas, tetapi dapat juga menjadi sumber kebingungan. Sebagai contoh, ketika diminta untuk menjelaskan apa sebenarnya yang dilakukan oleh arkeolog publik, beragam jawaban dapat muncul: misalnya, “mengkomunikasikan arkeologi ke publik,” “menjelaskan cara-cara arkeologi terhubung dengan publik,” membawa arkeolog ke/untuk publik,” dan “mengembalikan arkeologi kepada publik.” Beberapa bahkan kesulitan untuk menentukan apakah arkeologi publik merupakan sebuah bidang penelitian atau bidang praktis. Di samping situasi yang tampaknya membingungkan ini, kami ingin mengusulkan sebuah definisi tentang arkeologi publik yang sifatnya luas dan inklusif untuk buku ini. Alasannya sederhana: “publik” dan “arkeologi” memiliki pemaknaan yang berbeda di negara dan budaya yang berbeda.

Dari sebuah perspektif global, terdapat tiga alasan mengapa mode tunggal arkeologi sulit untuk disusun. Pertama, teori yang mendasari arkeologi bervariasi di seluruh dunia. Sebagai contoh, arkeologi di Amerika Utara sangat dipengaruhi oleh pemikiran antropologi, sementara di tempat lain, khususnya di Eropa, subjek ini terkait erat dengan sejarah (Hodder 1991: 9-11; Pyburn, Bab 3: 30). Selain itu, teori-teori prosesual dan posprosesual sangat mempengaruhi agenda arkeologi akademis di Amerika Utara, Britania, dan Australia, tetapi kurang berpengaruh di bagian-bagian dunia yang lain (Ucko 1995).

Kedua, praktik arkeologi berbeda-beda dari satu negara ke negara yang lain karena beragamnya kondisi sosial-politik dan ekonomi di negara-negara tersebut tempat para arkeolog bekerja. Di negara-negara maju, mayoritas utama ekskavasi dan penemuan arkeologi berlangsung pada sektor arkeologi penyelamatan, yang mana sebagai akibatnya sebagian besar arkeolog dapat dengan mudah memperoleh pekerjaan. Hal ini mengimplikasikan bahwa arkeologi sebagai sebuah profesi terikat dengan pekerjaan-pekerjaan pembangunan (Aitchison 2009; Okamura, Chap. 6; Schlanger and Aitchison 2010). Di sisi lain, di negara-negara berkembang, tidak cukup banyak arkeolog yang bergantung pada pekerjaan ekskavasi penyelamatan sebagai sumber penghasilan mereka, yang merefleksikan bahwa para arkeolog tidak begitu terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan pembangunan. Biasanya, di negara-negara ini, sebagian besar arkeolog profesional bekerja dan memiliki posisi di pemerintahan, universitas, lembaga penelitian dan museum, dan mereka ini terus-menerus bekerja dalam tekanan dengan kurangnya sumber daya manusia dan keuangan yang diperlukan untuk melakukan penelitian yang layak. Di beberapa negara, pariwisata yang mengapitalisasi sumber daya-sumber daya arkeologi menghasilkan pendapatan nasional atau lokal yang signifikan (lihat contoh Thailand dalam Schoocongdej, Bab 8) dan hal ini mempengaruhi praktik arkeologi yang mana mereka dituntut agar memberikan porsi yang lebih besar pada situs-situs dengan profil tinggi dan yang terawat dengan baik. Selain itu, jika sejumlah besar materi arkeologi masih belum diekskavasi, dan khususnya jika materi-materi arkeologi tersebut memiliki potensi nilai pasar yang tinggi, maka para arkeolog kemungkinan besar berurusan dengan pertarungan melawan penjarahan, yang juga akan mempengaruhi pekerjaan mereka.

Ketiga, makna arkeologi bagi masyarakat di tiap negara bergantung pada sejarah perkembangan arkeologi itu sendiri dalam konteks lokal. Persepsi publik tentang arkeologi seringkali terjalin dengan interpretasi dan interaksi masa lalu tradisi-tradisi lokal melalui budaya materi. Pandangan lokal seperti itu seringkali berakar dari tradisi yang jauh lebih tua dan lebih berpengaruh ketimbang arkeologi yang “ilmiah” (Gazin-Schwartz dan Holtorf 1999; Layton 1994; Matsuda 2010b; Smith dan Wobst 2005). Tiap sejarah setiap negara, khususnya apakah negara tersebut kolonisator atau yang dikolonisasi, pada akhirnya mempengaruhi makna arkeologi. Untuk negara-negara yang memiliki sejumlah materi arkeologi penting yang dibawa ke negara tersebut dari negara-negara lainnya, makna dan nilai penting arkeologi adalah sesuatu yang sepenuhnya berbeda dengan makna dan nilai pentingnya pada negara-negara tempat materi-materi tersebut berasal. Masyarakat pada kelompok kedua ini sekarang harus melakukan perjalanan ke negara-negara kelompok pertama untuk mengakses materi-materi arkeologi tersebut, yang pada banyak kasus merupakan contoh-contoh penting dan yang mungkin mereka pandang sebagai objek curian. Jelasnya, arkeologi itu tidak sama, baik dalam hal asosiasi maupun aksesibilitas, di seluruh dunia.

Makna publik juga dipahami berbeda di wilayah-wilayah yang berbeda di seluruh dunia. Kata “publik” dalam bahasa Inggris memiliki dua makna atau konotasi yang berbeda namun saling terkait, “officialdom” dan “the people,” dan konotasi ganda ini tampaknya menciptakan efek ambiguitas terhadap istilah “arkeologi publik” (Carman 2002: 96–114; Matsuda 2004; Merriman 2004a: 1–2). Karena arkeologi publik awalnya terbentuk dan berkembang di negara-negara berbahasa Inggris, negara-negara yang tidak berbahasa Inggris harus menemukan terjemahan yang tepat untuk memperkenalkan subjek ini ke dalam dimensi arkeologi mereka (Shepherd, 2005: 3), dan dalam proses ini makna ganda “publik” tersebut pada beberapa kasus telah menghadirkan kesulitan. Untuk bahasa-bahasa Eropa yang memiliki kata yang equivalen dengan kata “publik,” hal ini mungkin bukan sebuah persoalan (tetapi lihat Saucedo-Segami, Bab 19: 252), tetapi bagi bahasa-bahasa non-Eropa sulit untuk menangkap ambiguitas “arkeologi publik” ini. Sebagai contoh, di Jepang, kata Inggris “public” diterjemahkan sebagai kǒkyǒ, yang lebih dekat dengan konotasi “officialdom” ketimbang “the people.” Akibatnya, satu-satunya cara menyiratkan konsep ganda kata “the public” adalah dengan menggunakan kata Inggris tersebut yang dituliskan secara fonetikal paburikku; dengan demikian, arkeologi publik menjadi paburikku kokogaku. Dalam bahasa Asia Timur lainnya, Cina, terjemahan kata “public” juga sama problematisnya, tetapi solusi yang ditemukan pada kasus ini adalah dengan menawarkan dua terjemahan yang berbeda dari arkeologi publik untuk situasi-situasi yang berbeda: gongzhong kaoguxue (archaeology of the public) or gonggong kaoguxue (shared archaeology). Seperti dijelaskan oleh Wang:

Dua istilah tersebut memiliki makna yang berbeda, yang dengan demikian menyebabkan interpretasi yang berbeda dalam konteks yang berbeda oleh orang yang berbeda. Bagi pemerintah, arkeologi publik adalah tentang mengontrol arkeologi melalui legislasi dan pendanaan. Bagi para arkeolog, hal tersebut tentang komunikasi dan jejaring. Bagi publik umum, hal tersebut tentang hak untuk menggunakannya.

Pada akhirnya, makna kata “publik” merefleksikan cara-cara masyarakat tertentu mengembangkannya dalam konteks sosial dan politik yang berbeda, yang juga mempengaruhi bagaimana arkeologi dan aktifitas-aktifitas yang terkait dengannya bekerja dan berkembang. Ketika cara pandang seperti ini dijadikan sebagai bahan pertimbangan, terjemahan “arkeologi publik” bahkan menjadi lebih rumit dan pengenalan gagasan-gagasan dibalik istilah ini ke negara-negara bukan berbahasa Inggris (non-Anglophone) bahkan lebih memiliki banyak tantangan. Godaan yang sering muncul di sini adalah untuk fokus hanya pada hal-hal yang terdapat di negara mana pun itu, yaitu ketentuan dan kontrol resmi arkeologi dalam kepentingan publik, dan memperlakukannya sebagai definisi universal arkeologi publik. Namun demikian, mengadopsi definisi yang otoritatif dan dangkal seperti itu akan mengeluarkan beragam kemungkinan arkeologi publik, khususnya yang dapat mendorong dan memperkuat anggota publik untuk membangun dan mengekspresikan kisah masa lalu mereka (Holtorf 2005a).

Dalam pandangan di atas, sebagai editor buku ini, kami mempertimbangkan bahwa dalam melakukan pendekatan terhadap arkeologi publik dari sebuah perspektif global, kami mengadopsi sebuah definisi yang sifatnya seluas dan seinklusif mungkin. Dengan demikian, kami mendefinisikan arkeologi publik sebagai sebuah subjek yang menjelaskan hubungan antara arkeologi dan publiknya, dan kemudian memperbaikinya. Beberapa poin harus dibuat mengenai definisi tentatif ini. Pertama, ada penelitian tentang hubungan arkeologi – publik, yang kemudian diikuti dengan tindakan untuk memperbaiki hubungan tersebut, dan penelitian lagi, yang diikuti oleh tindakan, dan begitu seterusnya. Penelitian melibatkan pengumpulan dan analisis data yang dapat mengambil bentuk penelitian berdasarkan praktik, tetapi yang penting adalah hal tersebut ditujukan untuk membawa perubahan – beberapa perbaikan – dalam hubungan arkeologi dengan publik. Perlu dicatat bahwa wacana arkeologi publik yang paling baru tidak semata mendeskripsikan berbagai hubungan arkeologi-publik tetapi juga secara aktif merubah hubungan tersebut dan mengembangkannya.
Perubahan dalam hubungan arkeologi-publik tidak secara otomatis muncul dari penelitian: hal tersebut memerlukan tindakan yang akan ditemukan melalui penelitian tersebut. Sebagai contoh, tindakan tersebut dapat diciptakan dalam bentuk praktik yang menawarkan pendidikan dan informasi arkeologi kepada publik yang lebih luas, yang melibatkan anggota-anggota publik dalam penelitian arkeologi, dan menyertakan publik dalam diskusi dan lobi-lobi dan juga “kritik” yang lebih ilmiah (Grima 2009: 54). Kami menganggap bahwa mengambil tindakan seperti itu merupakan elemen penting arkeologi publik. Pada akhirnya, kami dengan demikian melihat arkeologi publik sebagai sebuah komitmen yang dibuat oleh para arkeolog untuk membuat arkeologi lebih relevan pada masyarakat kontemporer.

Pendekatan yang Beragam Untuk Arkeologi Publik

Dengan menerima definisi arkeologi publik yang sifatnya luas dan inklusif, dapat diasumsikan bahwa subjek ini dapat didekati dengan cara yang beragam. Apa kemudian pendekatan-pendekatan tersebut? Dengan menarik pembahasan pada cara-cara ilmu pengetahuan terhubung dengan masyarakat yang lebih luas, Merriman (2004a: 5-8) dan Holtorf (2007: 105-129) masing-masing menawarkan dua dan tiga model untuk menjelaskan bagaimana arkeologi terikat dengan publik umum. Mengulas secara singkat model-model ini akan bermanfaat karena pengaruhnya merepresentasikan pendekatan-pendekatan yang berbeda pada arkeologi publik.

 “Model defisit” Merrimen menyiratkan bahwa arkeolog seharusnya melibatkan diri dengan publik sehingga “lebih banyak masyarakat akan memahami apa yang sedang dicoba untuk dilakukan oleh para arkeolog, dan akan lebih mendukung kerja-kerja mereka” (Merriman 2004a: 5; lihat juga Grima 2009). Dalam model ini, pendidikan publik memainkan sebuah peran penting dalam memberikan informasi kepada publik mengenai cara-cara mereka dapat – dan pada tingkat tertentu harus – memberi apresiasi pada arkeologi. Apa yang disebut oleh Merriman sebagai “model perspektif beragam,” di sisi lain, menyiratkan bahwa arkeolog seharusnya berusaha melibatkan diri dengan publik untuk “mendorong realisasi diri guna memperkaya kehidupan masyarakat dan meransang refleksi dan kreatifitas mereka” yang bertujuan untuk mencapai realisasi yang lebih luas, ketimbang memaksa mereka “mengikuti sebuah agenda tunggal” (Merriman 2004a: 7).
Holtorf mengusulkan “model pendidikan,” “model hubungan-hubungan publik,” dan “model demokratis.” “Model pendidikan” yang diusulkannya menyatakan bahwa para arkeolog harus membuat sebanyak mungkin orang “untuk datang melihat masa lalu dan pekerjaan arkeolog dalam pengertian yang sama seperti para arkeolog profesional itu sendiri.” (Holtorf, 2007: 109) sedangkan “model hubungan-hubungan publiknya” menyatakan bahwa para arkeolog harus berusaha memperbaiki citra arkeologi di mata publik untuk mendorong lebih banyak lagi dukungan politik, ekonomi dan sosial untuk hal tersebut (Holtorf, 2007: 107, 114 – 119). Berkebalikan dengan kedua model ini yang sama-sama melihat publik sebagai subjek pendidikan atau lobi – dengan kata lain sebagai sebuah entitas yang diberikan padanya informasi oleh para arkeolog – “model demoratis” Holtorf menyatakan bahwa para arkeolog harus mengundang, mendorong, dan memungkinan setiap orang untuk secara bebas mengembangkan antusiasmenya sendiri dan kepentingan ‘akar rumput’ pada arkeologi (Holtorf, 2007: 119)

Dengan membandingkan kelima model yang ditunjukkan di atas, dapat dicatat bahwa model defisit Merriman dapat dibagi lagi secara konseptual ke dalam model hubungan-hubungan publik dan model edukasi Holtorf, sedangkan model perspektif beragamnya dapat diperbandingkan dengan model demokratis Holtorf (Gambar 1.1). Ini menyatakan bahwa ketiga model yang dikembangkan oleh Holtorf menampilkan versi dua model Merriman yang telah disaring. Dengan mempertimbangkan bahwa penyaringan model arkeologi-publik seperti itu membuat pemahaman tentang arkeologi publik menjadi lebih bernuansa, kami ingin mengajukan penyaringan tambahan di sini, yang tujuannya adalah untuk membedakan antara pendekatan “multivokal” dan “kritis” dalam perspektif beragam Merriman/model demokratis Holtorf. Meskipun kedua pendekatan ini seringkali dianggap progresif dan “kekiri-kirian” dalam pengertian teoritis, terdapat perbedaan pada keduanya, yang, dalam efeknya, sejajar dengan perbedaan antara epistomologi hermeneutik dan kritis dalam teori arkeologi (Hodder 2002; Preucel 1995).

Pendekatan kritis, sebagaimana tersirat dari namanya, berakar dari sebuah epistomologi kritis dan fokus pada pertanyaan tentang “kepentingan siapa saja yang dilayani oleh sebuah interpretasi tertentu masa lalu” (Hodder 2002: 79; lihat juga Hamilakis 1999a, b; Shackel 2004: 3–6; Shanks and Tilley 1987; Ucko 1990: xiii–xvi). Dengan menggemakan “teori kritis” yang berkembang dalam ilmu-ilmu sosial (Calhoun 1995; Horkheimer 1995 [1937]), pendekatan ini bertujuan untuk menyingkap dan menantang mekanisme sosio-politik yang menopang praktik-praktik dan interpretasi-interpretasi arkeologi tertentu, yang membantu mereproduksi dominasi yang diistimewakan secara sosial terhadap mereka yang takhluk secara sosial. Contoh-contoh pendekatan ini dapat ditemukan pada karya-karya yang dikerjakan di bawah bendera arkeologi kritis dan poskolonial (Leone et al. 1987; McDavid 2004; Shackel and Chambers 2004), “arkeologi dari bawah” (Faulkner 2000), and lainnya (Bender 1998).

Pendekatan multivokal, di sisi lain, berakar dari epistemologi hermeneutik dan bertujuan untuk menggali keragaman dalam pembacaan budaya materi masa lalu. Pada praktiknya, para arkeolog publik yang mengadopsi pendekatan ini berusaha untuk mengidentifikasi dan mengakui berbagai interpretasi materi-materi arkeologis yang disusun oleh individu-individu dan kelompok-kelompok sosial yang berbeda dalam berbagai konteks masyarakat kontemporer (sebagai contoh, Hodder 1998a; Holtorf 2005b: Bab 6). Dengan kata lain, mereka berusaha untuk memperoleh sebuah pemahaman menyeluruh mengenai makna budaya materi masa lalu terhadap masyarakat, yang dapat dibedakan dengan tujuan pendekatan kritis yang bertujuan untuk menyoroti makna tertentu dari masa lalu, terkadang digunakan pada kelompok-kelompok yang teristimewakan secara sosial untuk menghadapi dominasi sosio-politik mereka (Faulkner 2000) dan di waktu yang lain digunakan untuk kelompok-kelompok yang termarginalisasi secara sosial guna membantu mereka mencapai pengakuan sosio-politik. (Bender 1998; McDavid 2004). Pada dasarnya, pemisahan pendekatan kritis dan multivokal yang dinyatakan di sini dapat diperbandingkan dengan perbedaan antara dua posisi dalam sayap “kiri” intelektual: kiri tradisional dan kiri liberal posmodern.

Dengan demikian, dari penggambaran dan penyulingan model-model yang diajukan oleh Merriman dan Holtorf, kita dapat mengidentifikasi adanya empat pendekatan untuk arkeologi publik: (1) pendidikan, (2) hubungan-hubungan publik, (3) kritis, dan (4) multivokal (Gambar 1.1.). Harus ditekankan bahwa semua pendekatan ini ditujukan untuk membuat arkeologi menjadi lebih relevan bagi publik umum. Namun demikian, keputusan tentang pendekatan yang mana yang akan digunakan – atau yang lebih realistis, pendekatan yang mana yang menjadi prioritas ketimbang lainnya – pada akhirnya ditentukan oleh perkembangan bentuk khusus arkeolog publik dalam tiap konteks. Dalam cahaya pemikiran seperti ini, salah satu tugas penting yang harus dilakukan dalam membawa arkeologi publik dari sebuah perspektif global adalah mengidentifikasi pendekatan yang mana yang lebih sesuai di setiap negara/wilayah dan menimbang implikasi-implikasinya. Sebagai contoh, jika pendekatan pendidikan atau hubungan-hubungan publik yang paling ditekankan, maka masuk akal mengasumsikan bahwa arkeologi publik di negara/wilayah itu lebih berorientasi praktis; dan sama halnya jika pendekatan kritis atau multivokal yang diprioritaskan, publik arkeologi akan menjadi lebih beorientasi teoritis: ini merupakan indikator-indikator penting tentang cara-cara arkeologi bekerja dan hal tersebut terletak dalam setiap masyarakat. Dengan demikian, dengan memeriksa ciri-ciri dan wacana-wacana arkeologi publik di negara-negara/wilayah-wilayah yang berbeda dan kemudian membandingkannya dengan yang terjadi di seluruh dunia, kita pada akhirnya akan mampu memahami letak subjek tersebut berdiri hari ini dalam konteks global.

Mengapa Perlu Menguji Arkeologi Publik dari Sebuah Perspektif Global?

Terdapat beberapa publikasi pelopor yang berangkat dari aspek-aspek tertentu sudut pandang internasional tentang arkeologi publik – sebagai contoh, pendidikan arkeologis (Stone and Molyneaux 1994; Stone and Planel 1999), arkeologi komunitas (Marshall 2002), dan CRM (Cleere 1984, 1989; McManamon and Hatton 2000; Messenger and Smith 2010). Namun demikian, subjek ini secara keseluruhan belum teruji secara mendalam dari sebuah perspektif global (tetapi lihat Merriman, 2004b). Karena buku ini ditujukan sebagai sebuah katalis untuk memulai sebuah pengujian komparatif terhadap arkeologi publik di seluruh dunia, akan sangat berharga sekali mempertimbangkan mengapa sebuah perspektif global seperti itu penting untuk diadopsi.

Hal pertama yang perlu diingat kembali adalah bahwa perkembangan arkeologi publik itu tidak beragam dan tidak setara di seluruh dunia. Dengan kejelasan seperti ini, definisinya diterima secara umum, subjek ini telah muncul pada saat-saat yang berbeda di negara-negara dan wilayah-wilayah yang berbeda, seringkali terima kasih dialamatkan kepada usaha-usaha orang-orang tertentu yang telah menjadikan arkeologi menjadi lebih baik dalam masyarakat modern (lihat, sebagai contoh, kasus Kanada dalam Lea dan Smardz, Bab 5). Meskipun, seperti yang telah dikatakan sebelumnya, arkeologi publik pada awalnya diusulkan dalam kaitannya dengan CRM di USA pada tahun 1970-an, subjek ini dengan segera diperkenalkan di Inggris, Australia dan negara-negara berbahasa Inggris lainnya, yang secara bertahap memperluas cakupannya jauh dibalik CRM. Artikel Lea dan Smardz Frost (Bab 5) menawarkan sebuah kritik dan pengujian yang detail terhadap proses ini di Kanada.

Pada sekitar permulaan abad ke-21, arkeologi publik mulai menarik minat para arkeolog di negara-negara bukan berbahasa Inggris, dan usaha-usaha dilakukan untuk menggabungkannya ke dalam arkeologi lokal. Akan lebih baik mengatakan bahwa penyebaran global arkeologi publik masih terus berlangsung, sebagaimana diperlihatkan oleh publikasi-publikasi terkini mengenai subjek ini yang sedang bangkit oleh para arkeolog di berbagai belahan dunia (Bonacchi 2009, Fredrik dan Wahlgren 2008; Funari 2001, 2004; Green et al. 2001; Guo dan Wei 2006 [disebutkan dalam Wang, Bab 4]; Matsuda 2005, 2010a), termasuk bab-bab dalam buku ini.

Dalam pandangan di atas, dapat dinyatakan bahwa nilai penting membawa arkeologi publik dari sebuah perspektif global berasal dari kebutuhan untuk menguji sejauh mana subjek ini dikenal oleh para arkeolog di berbagai negara/wilayah di dunia, sama halnya dengan penerimaan dan adaptasinya di setiap konteks lokal. Untuk menekankan poin ini, akan bermanfaat untuk mengetahui apakah faktor-faktor yang berperan pada perkembangan arkeologi publik di Amerika Utara, Inggris dan Australia dapat diterapkan pada bagian-bagian dunia lainnya.

Dengan mencari dalam literatur yang menganalisis pertumbuhan arkeologi publik di wilayah atau negara-negara tersebut sejak tahun 1970-an (Ascherson 2000; Jameson 2004; Merriman 2002, 2004a; Schadla-Hall 1999, 2006; Shackel 2004), dapat diidentifikasi bahwa terdapat tiga faktor yang dapat menjelaskan hal ini: (1) perkembangan teori-teori arkeologi, khususnya teori-teori posprosesual, yang menekankan bahwa praktik dan interpretasi arkeologi tidak terlepas dari ideologi-ideologi kontemporer dan bahwa terdapat banyak pendekatan untuk memahami tinggalan-tinggalan arkeologis, termasuk pendekatan-pendekatan yang tidak didasarkan pada metode-metode dan metodologi arkeologi; (2) wacana poskolonial mengenai “politik masa lalu” (Gathercole and Lowenthal 1990), yang mana telah banyak arkeologi melibatkan diri dalam wacana ini terkait dengan interpretasi dan manajemen heritage arkeologis; (3) terus meningkatnya ekonomi yang didorong oleh pasar dalam masyarakat modern yang telah menyebabkan berkembangnya industri heritage di satu sisi dan meningkatnya kesadaran tentang perlunya melakukan kerja-kerja arkeologis dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan secara finansial dan pada publik di sisi lain.

Namun demikian, masih dipertanyakan apakah ketiga faktor yang diuraikan di atas dapat diterapkan secara langsung di luar Amerika Utara, Inggris dan Australia. Sebagaimana telah disebutkan, arkeologi posprosesual berpengaruh di ketiga wilayah ini, tetapi kurang demikian di belahan-belahan lainnya di dunia (Hodder 1991; Ucko 1995). Akibatnya, diskusi-diskusi mengenai politik praktis, interpretasi arkeologis, dan keberagaman suara mengenai bukti arkeologis belum secara aktif dikejar oleh para arkeolog di negara-negara bukan berbahasa Inggris tersebut, karena mereka merasa belum harus melihat persoalan-persoalan tersebut sebagai salah satu hal yang harus menjadi fokus kajian arkeologi.

Sejauh mana tingkat wacana poskolonial politik masa lalu telah dibawa ke dalam arkeologi juga beragam di seluruh dunia, yang merefleksikan pengalaman-pengalaman masa lalu kolonial yang berbeda, dan terkadang bahkan tidak hadir, di tiap negara/wilayah. Sebagai contoh, meskipun sekarang ini telah banyak arkeolog yang memusatkan perhatian mereka pada hak-hak penduduk asli di Amerika, Australia dan Afrika untuk menggunakan dan mengakses warisan budaya nenek moyang mereka, hak-hak tersebut kurang dipertimbangkan dan dibahas dalam hubungannya dengan warisan budaya nenek moyang orang-orang Eropa; hal ini masih dapat diperdebatkan karena “penduduk asli” Eropa telah diistimewakan dari “imigran-imigran” yang lebih baru datang ” (Tarlow 2001: 252; lihat juga Kuper 2003: 390; Merriman 2004a: 14). Namun, negara-negara di Asia Barat dan Selatan mengalami variasi kolonialisme yang beragam (Barlow 1997; Bastin and Benda 1968), meskipun begitu negara-negara tersebut jarang disebut dalam pembahasan-pembahasan mengenai arkeologi dan poskolonialisme. Secara umum, para arkeolog di negara-negara tersebut tampaknya malu-malu melibatkan diri dengan masa lalu kolonial mereka (tetapi lihat Mizoguchi 2010; Pai 2010).

Tidak seperti dua faktor dalam perkembangan arkeologi publik di negara-negara berbahasa Inggris yang telah disebutkan sebelumnya, ekspansi ekonomi yang digerakkan oleh pasar merupakan sebuah fenomena global yang masih dapat diperdebatkan. Jauh lebih aman mengatakan bahwa sekarang ini tekanan pada arkeologi jauh lebih besar ketimbang sebelumnya, di seluruh dunia, untuk membenarkan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh kegiatan-kegiatannya. Hal ini merupakan kasus di mana sejumlah besar dana publik dihabiskan pada pekerjaan arkeologis, tetapi bahkan jika pun biaya-biaya tersebut dibebankan pada sponsor-sponsor swasta, sponsor-sponsor tersebut sekarang ini tidak akan membiarkan para arkeolog berkonsentrasi sepenuhnya pada karya-karya ilmiah tetapi akan meminta mereka menunjukkan manfaat dari pekerjaan mereka untuk audiens yang lebih luas. Dalam perkembangan seperti itu, arkeologi menjadi lebih terbuka dieksploitasi oleh industri heritage. Terdapat individu-individu, termasuk para arkeolog, dan korporasi-korporasi, yang jumlahnya terus meningkat, yang menjadi tertarik mengembangkan usaha melalui penjualan “komoditas-komoditas arkeologi” (Moshenska 2009) dengan cara-cara yang beragam. Namun demikian, penting untuk diingat bahwa ekspansi global ekonomi pasar sekali lagi memiliki pengaruh yang berbeda pada bagian-bagian dunia yang berbeda, yang pada akhirnya memberi pengaruh yang berbeda pada arkeologi di seluruh dunia. Sebagai contoh, dapat diduga bahwa publik di negara-negara yang pasarnya lebih terbuka akan mengharapkan arkeologi menghasilkan manfaat yang sifatnya lebih langsung, bahkan dalam pengertian moneter. Ekspektasi seperti itu lebih kecil di negara-negara yang pasarnya diatur dengan cara yang lebih ketat oleh negara.

Dengan demikian, ketiga faktor yang telah berperan pada pertumbuhan arkeologi publik di Amerika Utara, Inggris dan Australia kemungkinan memiliki pengaruh yang berbeda pada perkembangan subjek ini di bagian-bagian dunia yang lain. Pergeseran menuju ekonomi yang digerakkan oleh pasar yang sedang berlangsung di seluruh dunia telah meningkatkan tekanan pada arkeologi di sebagian besar, jika bukan semuanya, negara-negara agar berhenti hanya melayani komunitas intelektual kampus dan agar menunjukkan secara eksplisit nilainya bagi masyarakat kontemporer dan meningkatkan nilai tersebut untuk ke depannya; artikel Shoocongdej (Bab 8), sebagai contoh, menyebutkan adanya penggunaan arkeologi secara ekstensif di Thailand guna pengembangan wisata heritage. Dalam konteks ini, arkeolog publik dianggap bermanfaat oleh arkeolog dan publik umum dengan cara seperti itu karena hal tersebut tampaknya mampu mempengaruhi peningkatan “manfaat publik” arkeologi (Little, 2002). Dengan demikian, kita dapat mengharapkan agar lebih banyak lagi elemen-elemen arkeologi publik disertakan dalam projek-projek arkeologis di seluruh dunia pada tahun-tahun yang akan datang, bukan semata-mata karena hal ini dapat menjadi sebuah cara untuk mengamankan pendanaan untuk arkeologi.

Namun demikian, persoalan yang lebih fundamental adalah hal-hal yang akan terjadi dengan kondisi arkeologi publik yang “terlalu melihat kegunaan” ini – apakah, misalnya, subjek ini akan berubah substansinya ketika menyebar ke seluruh dunia, dan jika demikian bagaimana caranya. Seperti yang telah dinyatakan di atas, arkeologi publik sejauh ini sebagian besar telah berkembang di negara-negara berbahasa Inggris, di mana arkeologi posprosesual dan wacana poskolonial telah mempengaruhinya. Belum terlihat bagaimana subjek ini akan berkembang ketika diterapkan di wilayah-wilayah dunia yang baru, di mana arkeologi disokong oleh teori-teori berbeda dan beroperasi di bawah kondisi-kondisi sosio-politik yang berbeda; poin ini disoroti dengan jelas dalam artikel Wang (Bab 4), Okamura (Bab 6), Kwon dan Kim (Bab 7), Shoocongdej (Bab 8), dan Saucedo-Segami (Bab 19), yang menampilkan kondisi-kondisi arkeologi publik yang berbeda di Cina, Jepan, Korea Selatan, Thailand dan Peru secara berturut-turut.

Yang kemudian memperumit situasinya, beberapa arkeolog melakukan projek-projek arkeologi internasional dan melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan arkeologi publik di luar negeri, seperti yang dicontohkan dalam studi kasus Matsuda (Bab 13). Sebagian besar projek ekskavasi internasional ini dilakukan oleh para arkeologi yang berasal dari negara-negara maju di negara-negara berkembang (lihat Saucedo-Segami, Bab 19: 252; Shoocongdej, 2006), dan warisan arkeologi kolonial yang tampak jelas pada tahun-tahun belakangan ini telah dipertanyakan oleh para arkeolog dengan pikiran yang reflektif dan kritis (Gero, 2006). Dalam merespon situasi seperti ini, beragam jenis kegiatan arkeologi publik yang bersifat tambahan dan “penggantian kerugian” sekarang ini telah diimplementasikan bersama-sama dengan kerja penelitian arkeologi yang utama dalam projek-projek ekskavasi internasional. Aktifitas-aktifitas tersebut mulai dari pencapaian sederhana, kerja kolaboratif yang diselenggarakan bersama-sama dengan komunitas-komunitas lokal, hingga penelitian sosiologis dan etnografis tentang interaksi antara pekerjaan arkeologis dan masyarakat lokal (Bartu, 2002; Matsuda, Bab 13; Shankland, 1996, 2000). Inisiatif-inisiatif arkeologi publik seperti itu diikat untuk merubah hubungan antara arkeologi dan publik di setiap lokalitas dan, jika hasilnya signifikan, dapat juga mempengaruhi cara arkeologi publik berkembang di negara tuan rumah. Bersama kemajuan globalisasi, dapat diharapkan lebih banyak lagi projek-projek ekskavasi skala internasional ke depannya, dan hal ini merupakan alasan lainnya mengapa penting melihat arkeologi publik dari perspektif global.

Bagaimana Mengatasi Masa Lalu yang Berbeda, Terfragmentasi?

Persoalan yang penting untuk diketahui dalam arkeologi publik global adalah apakah pendekatan multivokal dan/atau kritis “demokratis” yang telah dibahas pada bagian awal dapat diterima, mungkin dengan beberapa pengaturan, di luar negara-negara berbahasa Inggris. Dasar teoritis yang menyangga kedua pendekatan tersebut – masa lalu dapat diinterpretasikan dengan cara yang berbeda oleh kelompok-kelompok sosial yang berbeda – belum berakar kuat bahkan dalam arkeologi publik di negara-negara berbahasa Inggris, dan hal ini terutama disebabkan sulitnya menyepakati kriteria yang digunakan dalam menaksir ketepatan setiap interpretasi masa lalu (Lampeter Archaeology Workshop 1997: 172–173). Sederhananya, kriteria tersebut dapat berupa bukti material, akurasi ilmiah, konteks budaya, keterwakilan, keadilan sosial atau campuran dari itu semua; hal ini dengan jelas menyatakan bahwa menginterpretasikan masa lalu bukanlah semata sebuah tindakan keilmuan (ilmiah), tetapi juga tindakan sosial dan budaya. Dengan demikian, berhadapan dengan cerita masa lalu yang berbeda yang dimiliki oleh kelompok-kelompok sosial yang berbeda seringkali berujung pada keterlibatan politik, apakah itu lokal, nasional atau internasional. Penyebaran global arkeologi publik dalam kaitannya dengan hal ini menjadi menarik, karena pada akhirnya memunculkan pertanyaan-pertanyaan di tiap negara/wilayah mengenai sejauh mana arkeologi atau para arkeolog harus terlibat dalam “politik masa lalu.”

Bab-bab dalam buku ini menyiratkan bahwa terdapat dua cara bagi arkeologi publik berhadapan dengan “masa lalu-masa lalu yang berbeda.” Salah satunya adalah berusaha menciptakan sebuah narasi masa lalu yang di dalamnya kelompok-kelompok kepentingan yang beragam dapat mengakuinya, seperti yang dicontohkan melalui studi kasus New Caledonia oleh Sand, Bole dan Ouetcho (Bab 9) dan Pulau Goree di Senegal oleh Thiaw (Bab 10). Mengintegrasikan cerita-cerita masa lalu yang beragam merupakan hal yang penting secara politik karena hal tersebut membantu mengatasi perbedaan dan antagonisme di antara kelompok-kelompok identitas (Archibald 1999: Bab 5) dan menciptakan serangkaian kompromi. Thiaw (Bab 10: 135) mendeskripsikan usahanya menyusun sebuah sejarah bersama dan inklusif dari Pulau Goree sebagai berikut:

(S)ejarah Goree dicirikan oleh kepentingan kelompok-kelompok yang beragam dengan status sosial yang berbeda, juga oleh identitas rasial, budaya dan nasional. Selama bertahun-tahun, tiap identitas yang berbeda tersebut telah mengembangkan sebuah agenda peringatan yang sifatnya selektif, yang pada saat bersamaan menyembunyikan pengalaman-pengalaman dan ingatan-ingatan identitas-identitas yang lain. Pertanyaannya adalah: bagaimana mengapresiasi dan memperingati pengalaman-pengalaman dan kontribusi-kontribusi semua kelompok tanpa melakukan marginalisasi?

Terdapat juga sebuah pertanyaan yang lebih mendasar tentang apakah arkeologi harus aktif mengambil bagian dalam proses politik untuk mengunifikasi masyarakat. Sand, Bole dan Ouetcho (Bab 9: 123) mengartikulasikan “dilema” ini ketika bekerja di New Caledonia yang multietnis dan multikultur dalam bentuk sebuah pertanyaan:

(A)pakah para arkeolog berperan menyediakan masyarakat sipil data historis yang menawarkan sebuah visi yang bersifat membangun secara budaya dan bermanfaat secara sosial, tetapi pada saat yang sama tidak terelakkan lagi“termanipulasi” secara politis?
Terdapat alasan yang masuk akal untuk berhati-hati terhadap penggunaan arkeologi secara politis karena “penyalahgunaannya” dapat memiliki pengaruh yang merusak bagi masyarakat (sebagai contoh, Arnold, 1990; Lal, 2001; Rao dan Reddy, 2001; Sharma, 2001), terkadang bahkan menempatkan mereka dalam bahaya fisik, khususnya ketika nasionalisme dilibatkan di dalamnya (Kohl dan Fawcett, 1995; Kohl dkk., 2007). Namun, jika menerima bahwa arkeologi apa pun itu bekerja di bawah pengaruh sosial dan politik masyarakat modern (lihat Kwon and Kim, Bab 7: 90; Shoocoongdej, Bab 8: 97–99) dan bahwa hal tersebut sebaliknya dapat berkontribusi pada keberlanjutan dan perbaikan, setidaknya sebagian, struktur sosial tersebut, maka persoalannya bukan lagi tentang cara-cara menghindari keterlibatan politik, tetapi lebih pada cara-cara “mengambil posisi” (Hodder, Bab 2), yang mengasumsikan tanggung jawab sosial arkeologi dalam melibatkan diri dengan kelompok-kelompok dan masa lalu-masa lalu berbeda. Mengenai hal ini, Hodder berpendapat (Bab 2: 26):

Tidak cukup dengan mengatakan bahwa arkeolog adalah mediator yang relatif tidak memiliki kekuatan yang kerjaannya hanya mempertemukan para stakeholder. Tidak mungkin menjadi netral di antaranya. Para arkeolog memiliki pengaruh sebagai ahli yang profesional, dan mereka harus mengakui bahwa tidakan-tindakan mereka sebagai ahli berpengaruh pada dunia yang mana mereka turut bertanggung jawab di sana.
Cara lainnya berhadapan dengan masa lalu-masa lalu yang berbeda adalah dengan berusaha menyuarakan masa lalu-masa lalu yang ter(di)abaikan. Hal ini dapat berarti usaha mendukung dan mempromosikan masa lalu-masa lalu yang ditekan secara politis – sejalan dengan pendekatan kritis – atau menggali cerita-cerita masa lalu yang relevan secara sosial yang telah dikeluarkan dari pertimbangan arkeologis karena sifatnya yang tidak ilmiah. Sebagai contoh untuk yang pertama, artikel Badran (Bab 15) menyiratkan bahwa satu dari empat alasan dikeluarkannya masa lalu kuna dalam kurikulum kewarganegaraan utama orang-orang Jordan adalah “penggunaan masa lalu secara ideologis” yang ditujukan untuk memelihara nasionalisme Arab dan mendukung penguasa Hashmite. Dia mendesak agar arkeologi diperkenalkan dalam pendidikan formal di Jordan sehingga para siswa dapat “mengapresiasi sepenuhnya kekayaan masa lalu mereka,” termasuk masa lalu non-Arab dan non-Islam. Dalam sebuah contoh yang sedikit berbeda namun masih analog, Murata (Bab 17) menjejaki lintasan pendidikan sejarah pada kurikulum sekolah orang-orang Jepang dan menunjukkan adanya “peleburan yang aneh nasionalisme dan neo-liberalisme” dalam kebijakan pendidikan jepang di tahun-tahun belakangan ini. Sebagai sebuah strategi untuk melawan kecenderungan nasionalis yang terus meningkat dalam kurikulum tersebut, dia mendesak untuk memperkuat pembelajaran berbasis lokal melalui arkeologi pada pendidikan sekolah.

Contoh-contoh untuk yang kedua diberikan dalam empat artikel dalam buku ini. Burke, Gorman, Mayes, dan Renshaw (Bab 11) memeriksa sejarah oral permukiman-permukiman yang dulunya mengalami serangan udara, bernama Rapat (Rapat air-raid shelters) di Adelaide dan melihat betapa pentingnya “mitos-mitos sosial” tersebut berhubungan dengan permukiman-permukiman komunitas lokal. Hal ini menjadikan ketiganya mempertimbangkan kembali peran arkeologi dalam “tindakan mengingat kolektif masyarakat” tersebut, dan mereka menyimpulkan bahwa investigasi arkeologis untuk mengungkap “kebenaran” permukiman-permukiman tersebut akan menghilangkan mitos-mitos sosial mereka, dan dengan demikian berpotensi memperlemah hubungan masyarakat dengan komunitasnya. Cerita Shepherd (Bab 12) tentang perselisihan mengenai penggalian sisa-sisa jasad manusia Prestwich Street di Cape Town memperlihatkan adanya perbedaan antara sifat ilmiah arkeologi yang ingin “menyingkap” masa lalu yang terkait dengan sisa-sisa jasad tersebut dan keinginan masyarakat untuk tetap mendiamkan, merahasiakan, dan mengubur masa lalu mereka. Argumennya bahwa gaya pencerahan “kehendak untuk mengetahui” tidak selalu sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan komunitas untuk mengingat secara kolektif sejarah mereka – khususnya rasa sakit dan trauma – yang terkait dengan tempat senada dengan argumen Burke, Gorman, Mayes dan Renshaw. Mereka semua berusaha untuk mendamaikan masa lalu arkeologis – atau masa lalu versi para arkeolog – dengan masa lalu versi non-arkeologis, dan juga berusaha mencari masa lalu alternatif dan bermakna secara sosial.

Pendirian yang sama digunakan oleh Colwell-Chanthaphonh, Ferguson dan Gann (Bab 18), yang merangkul konsep multivokal dalam mengejar arkeologi kolaboratif di Lembah San Pedro. Dengan mengatakan bahwa multivokalitas “bukanlah semata pluralitas, tetapi sebuah pelibatan suara-suara yang berbeda yang muncul secara bersama-sama yang menceritakan tentang sebuah kisah yang menyeluruh dan kompleks” (Colwell-Chanthaphonh dkk., Bab 18: 241, garis miring pada naskah asli), mereka bertujuan untuk mengembangkan penelitian arkeologis dan etnohistoris mereka ke dalam sebuah projek pendidikan, yang ditujukan untuk publik nasional, komunitas-komunitas penduduk pribumi Amerika, penduduk yang terbilang relatif baru di lembah tersebut melalui penggunaan internet. Seperti yang dinyatakan oleh mereka, internet dapat menawarkan sebuah panggung yang dapat digunakan oleh kelompok-kelompok yang beragam tersebut untuk mengekspresikan pandangan masa lalu mereka dan berterima kasih pada interaktivitas multimedia (lihat tulisan awal Hodder mengenai hal ini dalam Hodder, 1997: 698-699), dan karena cara-cara seperti ini memiliki potensi untuk membantu para arkeolog publik terlibat dengan masa lalu-masa lalu yang berbeda, bahkan dalam konteksnya yang global.

Karya etnografis Abu-Khafajah (Bab 14) yang menggarap Benteng Amman di Jordan fokus pada “proses penciptaan makna” yang memainkan peran dalam interpretasi masyarakat lokal terhadap benteng tersebut. Karyanya menyoroti keragaman makna yang berasal dari benteng tersebut, dan makna-makna tersebut dapat dianggap sebagai sebuah usaha untuk menyoroti pandangan-pandangan masa lalu yang relevan dengan komunitas lokal tetapi diabaikan karena sifatnya yang tidak ilmiah.

Agar pelibatan diri dengan masa lalu-masa lalu yang berbeda berhasil dilakukan, faktor kuncinya adalah membuat lebih jelas batasan peran yang harus dimainkan oleh para arkeolog dalam diskusi-diskusi publik mengenai interpretasi masa lalu. Dalam diskusi-diskusi seperti itu, para arkeolog, sebagai contoh, dapat menjadi pendidik, instruktur, konsultan, fasilitator, atau kolaborator. Pastinya, peran mereka perlu diperjelas dengan pertimbangan konteks sosial, budaya dan politik tempat diskusi-diskusi tersebut dijalankan, dan dalam keadaan tertentu mereka harus memainkan ganda atau triple pada saat yang bersamaan. Namun demikian, peran apa pun yang mereka mainkan, harus selalu diingat bahwa para arkeolog berbeda dari publik lainnya karena mereka menguasai metode dan metodologi arkeologi dan bahwa pengetahuan tersebut dapat menjadi sebuah sumber otoritas dalam pembahasan interpretasi masa lalu dengan masyarakat yang lain. Pengetahuan adalah kekuasaan (Foucault, 1980) dan pengetahuan dapat bermanfaat dan juga menindas. Meskipun pengetahuan arkeologi tidak, dan seharusnya tidak, memberikan kepada para arkeolog hak untuk mengontrol diskusi publik tentang cara-cara menginterpretasikan masa lalu, pengetahuan tersebut akan, dan harus, membantu mereka dalam mengambil beberapa otoritas dalam diskusi-diskusi tersebut (Hodder 1998b: 217). Jelasnya, sebuah masa lalu yang diinterpretasikan secara arkeologi masih merupakan masa lalu yang satu. Namun, masa lalu tersebut merupakan sebuah masa lalu yang merupakan dasar yang harus dilibatkan dengan masa lalu-masa lalu alternatif lainnya. Jika kita menerima bahwa arkeologi publik adalah sebuah usaha membuat disiplin ilmu arkeologi lebih relevan dengan masyarakat kontemporer, mereka yang mendukung hal ini harus bersifat refleksif, bukannya desktruktif, terhadap metode-metode dan metodologi arkeologi.

Dengan alasan yang sama, dapat dikatakan bahwa kebutuhan untuk mengatasi persoalan masa lalu-masa lalu yang berbeda tidak mengurangi nilai penting menawarkan pendidikan arkeologis yang bersifat publik. Henson (Bab 16) menyiratkan bahwa penekanan yang terlalu besar pada epistemologi dan hermeneutika dalam arkeologi – misalnya, “bagaimana kita melakukan pekerjaan arkeologi” dan “bagaimana menginterpretasikan temuan-temuan kita” – dapat menyebabkan kita mengabaikan “apa yang menjadi alasan utama kita melakukan pekerjaan arkeologi.” Dia juga mengatakan perlunya memberikan penekanan pada efek memberdayakan pendidikan arkeologi dan menekankan bahwa dengan mempelajari keterampilan-keterampilan arkeologis, masyarakat dapat “mengambil bagian untuk diri mereka sendiri” dalam menciptakan makna masa lalu. Muraki (Bab 20) menyatakan pendapat yang serupa dalam ulasannya mengenai program ekskavasi partisipatoris dengan membagi “kenikmatan” ekskavasi dan mengatakan bahwa “para peserta dapat mempelajari keterampilan-keterampilan tersebut untuk belajar sendiri tentang arkeologi, sejarah, dan masa lalu dengan menyenangkan” (Muraki, Bab 20: 273). Meskipun demikian, baik Henson maupun Muraki adalah penentang nyata imposisi pandangan-pandangan “para arkeolog” tentang publik. Seperti yang ditunjukkan Muraki, dalam upaya agar pendidikan arkeologi berhasil, “sebuah hubungan yang dekat” dan “komunikasi dua arah” antara para arkeolog dan partisipan merupakan hal yang sangat penting. Dari sudut pandang ini, pendidikan arkeologis tidak berbeda banyak dari pelibatan masa lalu-masa lalu yang berbeda, keduanya memerlukan dan mendorong dialog antara para arkeolog dan anggota-anggota publik.

Meskipun sejauh ini telah dianjurkan bahwa para arkeolog seharusnya melibatkan diri dengan kelompok-kelompok yang berbeda dan interpretas-interpretasi masa lalu yang beragam, juga penting untuk dicatat sebuah persoalan yang sifatnya inheren dalam posisi ini. Ketika berbicara tentang “kelompok-kelompok yang berbeda,” kita cenderung mengasumsikan bahwa tiap kelompok dapat didefinisikan dengan jelas. Namun, pada kenyataannya, definisi seperti itu seringkali menyulitkan. Seperti pendapat Pyburn (Bab 3:31):

Tiap individu merupakan anggota beragam komunitas yang terikat secara cair, dan menegosiasikan loyalitas personal dan mendistribusikan loyalitas personal itu di antara beragam kelompok merupakan salah satu penggambaran kehidupan sehari-hari.
Terdapat dua alasan mengapa mendefiniskan kelompok-kelompok dengan cara yang lebih ketat itu sulit dilakukan: individu-individu memiliki beragam kelompok pada saat yang bersamaan dan tiap kelompok, termasuk yang dominan dan termarginalisasi secara sosial, seringkali terfragmentasi (lihat, contohnya, Franklin, 2001), khususnya ketika dipandang dalam konteks posmodern sekarang ini. Hal ini menyiratkan bahwa “kelompok-kelompok yang berbeda” tersebut, yang padanya para arkeolog publik melibatkan diri, merupakan konsep yang terus berubah, yang harus ditempatkan dan didefinisikan setiap saat agar memungkinkan untuk melakukan beberapa bentuk keterlibatan dengan masyarakat yang sebenarnya, tetapi yang pada kenyataannya tidak pernah tetap dan saling bertalian.

Pertanyaan kritis yang mengikuti hal ini kemudian adalah bukankah penekanan pada keterlibatan dengan “masa lalu-masa lalu berbeda” ini sebenarnya merupakan sebuah permainan différance (membedakan) (Derrida, 1982; lihat juga Hodder 1999: 156), dengan kata lain, sebuah penangguhan tanpa akhir makna masa lalu yang telah tuntas terbentuk. Sejauh pengejaran terhadap pembedaan terus berlanjut, akan selalu ada kelompok-kelompok lain dengan interpretasi-interpretasi lain. Apakah arkeologi publik harus melibatkan diri dengan semua kelompok itu – dapatkah? Penyebaran global arkeologi publik pada akhirnya memunculkan pertanyaan ini, sebagaimana penyebaran globalnya menunjukkan adanya arkeologi-arkeolog yang lain, publik-publik yang lain, dan masa lalu-masa lalu yang lain. Diletakkan secara sederhana, para arkeolog seharusnya melibatkan diri pada masa lalu(-masa lalu) yang mana, dengan dasar apa, dan berpihak pada siapa?

Kesimpulan

Awalnya muncul pada tahun 1970-an di USA sebagai komitmen para arkeolog untuk memelihara tinggalan-tinggalan arkeologis, arkeologi publik telah berkembang di negara-negara berbahasa Inggris, secara bertahap meluaskan cakupannya dan membawa beragam aspek hubungan antara arkeologi dan masyarakat kontemporer dan sekarang ini diperkenalkan di negara-negara bukan berbahasa Inggris. Kondisi-kondisi sosio-politik yang beragam di bawah mana arkeologi beroperasi di tiap negara/wilayah kemungkinan memiliki kontribusi dalam membentuk bentuk-bentuk arkeologi yang berbeda. Untuk menaksir perkembangan global publik arkeologi, akan bermanfaat apabila memperhatikan keseimbangan dan tatanan prioritas keempat pendekatan untuk subjek ini yang telah muncul di Amerika Utara, Inggris dan Australia, yaitu pendekatan pendidikan, hubungan-hubungan publik, kritis, dan multivokal, karena keempatnya menyediakan petunjuak tentang cara-cara arkeologi diletakkan di tiap masyarakat.

Persebaran global publik arkeologi pada akhirnya menyoroti arkeologi-arkeologi, publik-publik, dan masa lalu-masa lalu yang berbeda, dan para arkeolog publik harus menemukan sebuah cara untuk mengatasi dan melibatkan diri dengannya. Dalam melakukan hal ini, mereka harus mendasarkan argumen dan praktik mereka pada metode-metode dan metodologi arkeologi – ini juga berpengaruh untuk membuat disiplin arkeologi menjadi lebih relevan dalam masyarakat kontemporer. Namun, ini tidak berarti bahwa para arkeolog diijinkan untuk mengimposisikan pandangan-pandangan mereka pada publik. Agar dapat berhasil, penting untuk diingat bahwa dialog dengan anggota publik, yang melibatkan proses dua arah, merupakan hal yang sangat penting.

Arkeolog publik dapat didefinisikan sebagai sebuah gerakan atau sebuah keterlibatan sosial yang dilakukan oleh para arkeolog, dan pertanyaan mengenai “arah yang harus dituju” harus terus dipertanyaakan dengan pengujian yang kritis. Salah satu tujuan buku ini adalah menyediakan sebuah forum untuk diskusi terbuka seperti itu, dan dengan melakukannya juga ditujukan untuk mengafirmasi kembali relevansi arkeologi dalam masyarakat global pada abad ke-21 sekarang ini.

Diterjemahkan oleh Jusman Mahmud dari artikel Akira Matsuda dan Katsuyuki Okamura Introduction: New Perspectives in Global Public Archaeology dalam buku New Perspectives in Global Publik Archaeology. Bab I

Sabtu, 16 Juni 2012

Etika dan Praktek Arkeologi Abad 21

Apakah Masa Lalu Bersama Itu Mungkin? Etika dan Praktik Arkeologi Abad 21

oleh Jusman Mahmud pada 16 Juni 2012 pukul 16:27 ·
Saya mengamini bahwa kepemimpinan arkeologis  seharusnya didasarkan pada dialog antara kelompok-kelompok stakeholder. Sekarang ini, beberapa bentuk kolaborasi dan konsultasi telah diletakkan pada usaha-usaha untuk membahas persoalan-persoalan kepemimpinan seperti ini yang sifatnya jangka panjang, apakah itu konsultasi mengenai pengembangan rencana manajemen Stonehenge ataukah dialog-dialog yang melibatkan arkeolog, pemerintah, dan masyarakat pribumi di seluruh dunia (misalnya, Swidler et al. 1997). Saya juga meyakini bahwa banyak panduan dan prosedur telah dibahas untuk kolaborasi kepemimpinan seperti ini yang berhubungan dengan persoalan-persoalan yang lebih luas, termasuk kebutuhan untuk mengidentifikasi semua stakeholder potensial, menyediakan waktu untuk konsultasi, mengevaluasi beragam nilai-nilai budaya pada warisan budaya, dan menaksir implikasi-implikasi ekonominya (misalnya, de la Torre 1997).

Fokus saya di sini berhubungan dengan dasar etis yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kepemimpinan arkeologis secara bersama-sama. Artikel ini mempertanyakan aturan-aturan dasar untuk pembahasan-pembahasan tersebut. Karena pengalaman pribadi saya pada persoalan ini sebagian besar berasal dari pekerjaan saya sebagai seorang arkeolog di Timur Tengah, saya secara khusus ingin membahas aturan-aturan dasar yang dapat diterapkan ketika orang-orang yang terlibat berasal dari sisi-sisi yang berseberangan di area dan waktu perang, konflik, dan tergerusnya kepercayaan. Apa yang seharusnya menjadi titik berangkatnya? Haruskah kita menyetujui bahwa terdapat hak-hak warisan budaya yang bersifat universal? Apakah dengan kembali pada poin-poin kesepakatan universal tersebut, prinsip-prinsip moral dan etika universal tersebut, kita dapat membuat kemajuan? Atau apakah titik berangkat itu cukup dimulai dengan sebuah dialog? Jika memilih yang terakhir, apakah ada panduan-panduan yang mungkin membawa kita pada hasil yang produktif? Bagaimana dialog tersebut seharusnya dijalankan oleh pihak-pihak yang terlibat?


Etika Sebagai Prinsip Universal
.
Saya ingin memulainya dengan menguji gagasan yang mengatakan bahwa terdapat prinsip-prinsip etis universal sehubungan dengan warisan budaya. Untuk mencapai hal tersebut, saya telah mencarinya melalui gambaran tingkat perusakan warisan budaya di Irak pada tahun-tahun belakangan ini, seperti lensa jurnalis Joanne Farchakh melihatnya. Dia telah mempublikasikan dengan cara yang begitu efektif dan tepat kerusakan dan kerugian yang sangat buruk yang disebabkan oleh perang dan penjarahan di Irak selatan, di Nimrud, Nineveh, dan kuil-kuil Ur.

Saya normalnya menganggap diri saya relatif kebal terhadap emosi kehilangan benda-benda. Tampaknya terdapat begitu banyak penderitaan manusia di dunia ini yang tidak saya ingat sebelum saya melibatkan diri secara emosional pada persoalan kehilangan warisan budaya. Peristiwa-peristiwa seperti perusakan perpustakaan di Alexandria, perusakan budaya di Cina oleh Mao, atau perusakan kuil-kuil Budha Bamiyan selalu dipandang sebagai tindakan kriminal tetapi tidak sampai membuat kita menangisinya. Tentu saja saya juga menyadari betapa banyaknya penjarahan skala besar – seperti penggalian skala besar pada pemakaman-pemakaman di Pulau St. Lawrence untuk memperoleh gading yang akan dijual sebagai bagian dari “penjarahan untuk bertahan hidup” atau penggalian masif terhadap situs-situs Moche di Peru untuk menemukan keramik-keramik kuna yang harganya sangat tinggi di pasar.

Beberapa perusakan di Irak merupakan hasil langsung dari perang melalui pengeboman, penjarahan, dan penggunaan situs-situs sebagai basis-basis militer. Tetapi sekali lagi hal seperti ini sudah pernah terjadi, seperti pengeboman pusat-pusat budaya di Eropa pada Perang Dunia II dan perusakan Jembatan Mostar ketika berlangsungnya Konflik di Bosnia, untuk menyebutkan beberapa kasus.

Tetapi terdapat sesuatu dibalik skala besar penjarahan dan perusakan di Irak; atau apakah hanya karena saya mengetahui lebih banyak mengenai warisan budaya tersebut dan seiring dengan pengetahuan itu saya melihatnya sebagai muasal dari peradaban barat. Tapi saya ingin menggali apakah respon saya terhadap kehilangan dan perusakan seperti itu menyiratkan sebuah universalisme. Apakah kita akan bereaksi sama karena terdapat sesuatu yang menjijikkan secara moral pada perusakan seperti itu? Dapatkah kita katakan bahwa dalam pengertian yang universal “hal ini salah”? Dan dapatkah kita berkata sama pada semua kasus-kasus lainnya seperti yang telah disebutkan di atas?
Dasar dari asumsi mengenai sebuah kejijikan moral universal terletak pada usaha-usaha internasional untuk melindungi warisan budaya yang diabadikan dalam Perjanjian Venice dan dalam sejumlah pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh UNESCO dan ICOMOS, khususnya yang terkait dengan cara-cara memperlakukan warisan budaya selama masa perang. Apakah masa perang atau masa damai, banyak dari kita mengamini bahwa Situs-Situs Warisan Budaya Dunia harus dipelihara demi kepentingan humanitas. Kita menyetujui bahwa terdapat situs-situs yang memiliki signifikansi budaya yang bersifat universal. Dan kita menyetujui bahwa negara-negara harus diperingatkan jika mereka tidak mengambil langkah yang memadai untuk merekam dan melindungi warisan budaya mereka.

Jadi, tampaknya di sini terdapat beberapa gagasan tentang hak-hak universal pada warisan budaya, dan kita mengharapkan lembaga-lembaga nasional dan internasional melakukan upaya-upaya yang dapat mereka lakukan untuk melindungi hak-hak tersebut. Dalam konteks ini, kita dapat dengan mudah mengatakan bahwa perusakan warisan budaya adalah hal yang salah – sebuah kejahatan terhadap humanitas dan kita harus memberikan penilaian etis atau moral universal terhadap hal seperti itu. Jadi, ketika sekelompok stakeholder berkumpul untuk membahas sebuah program warisan budaya tertentu, mereka mungkin mempergunakan tatanan moral khusus ini sebagai bagian dari sebundel pernyataan-pernyataan universal yang dapat disertakan ke dalam praktik dan digunakan untuk menilai contoh-contoh pertikaian tertentu.

Tetapi seiring pengalaman menyaksikan penjarahan dan kehilangan warisan budaya di Irak, saya juga menemukan diri saya bergerak menuju penjelasan tentang penyebab terjadinya penjarahan tersebut. Mungkin, faktor utama adalah permintaan negara-negara maju terhadap barang-barang antik di seluruh dunia dan adanya pedagang perantara yang mencari keuntungan. Tetapi para pengamat juga harus melihat tingkat kelaparan dan kemiskinan serta kurangnya kesempatan kerja di Irak selatan, tempat banyak situs-situs penting terletak. Kebijakan-kebijakan rezim Saddam telah menyebabkan keruntuhan ekonomi melalui embargo dan zona tanpa penerbangan. Setelah tahun-tahun penyia-nyiaan tersebut, sangat mungkin sejumlah besar orang dapat memperoleh penghasilan yang kecil dengan mencari dan menjual prasasti-prasasti dan item-item lainnya kepada perantara yang membawa barang-barang tersebut ke pasar barang-barang antik global. Dalam konteks seperti itu, yang disertai kurang kuatnya hukum dan keamanan, tampaknya sulit bagi penduduk lokal tersebut untuk menolak sumber penghasilan seperti itu. Bukanlah hal yang mengherankan mereka menjarah situs-situs tersebut ketika mereka harus memberi makan kepada anak-anak mereka. Dengan pilihan yang kira-kira sama, apakah saya tidak akan melakukan hal yang serupa? Saya ingat merasakan hal yang sama terhadap para penjarah makam di Pulau St. Lawrence guna bertahan hidup. Dengan kurangnya alternatif, dapatkan seseorang menolaknya demi kelangsungan kehidupannya?

Pada kasus Irak, telah dinyatakan bahwa mereka yang melakukan pencurian menerima penghasilan yang kecil ketika menukarkan objek-objek yang mereka jarah dan bahwa tidak mungkin memperoleh pendapatan yang tetap dari penjarahan seperti itu. Mengikuti skenario seperti ini, penjahat utamanya adalah para perantara dan pembeli dan kurangnya keamanan dan penjagaan yang efektif. Saya tidak tahu apakah tepat berbicara “penjarahan untuk bertahan hidup” pada kasus Irak ini, tetapi saya setuju bahwa pada kasus-kasus lainnya, seperti kasus Pulau St. Lawrence, istilah seperti itu tepat. Pada kasus ini, tampaknya moralitas mendukung masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka melalui penggalian dan penjualan warisan budaya, jika hal tersebut yang ingin mereka lakukan.

Jadi di sini, kita tampaknya memiliki sebuah hak asasi universal alternatif – bahwa masyarakat seharusnya diijinkan membuat keputusan sendiri terhadap masa lalu mereka. Secara keseluruhan kita menyetujuinya, dan hal ini terdapat pada banyak pernyataan UNESCO, bahwa setiap negara memiliki hak untuk berhubungan dengan masa lalu mereka. Tetapi belakangan ini, hak tersebut telah diperluas hingga ke kelompok-kelompok bukan negara. Kelompok-kelompok masyarakat lokal di seluruh dunia telah menggunakan masa lalu mereka sebagai bagian dari politik identitas (Kane 2003). Begitulah kemudian kelompok-kelompok Penduduk Asli Amerika dibawah NAGPRA berhak untuk disertakan dalam pengambilan keputusan tentang hal-hal yang harus dilakukan pada masa lalu mereka; atau Burra Charter mengabadikan gagasan bahwa kita harus mendengarkan suara-suara dan pemaknaan-pemaknaan lokal dalam memutuskan cara-cara mengelola masa lalu mereka (Australia ICOMOS 1981).

Jadi, dua jenis hak-hak asasi manusia tersebut (universal dan lokal) tampaknya saling bertentangan satu sama lainnya. Pertanyaan saya adalah “apakah ada hak-hak asasi warisan budaya universal?” Pandangan saya sendiri adalah bahwa hak-hak seperti itu sebaiknya dibahas sebagai bagian dari proses global historis yang spesifik. Usaha apa pun yang dilakukan untuk menciptakan hak-hak universal yang absolut harus berhubungan dengan fakta-fakta pada setiap kasus, dan usaha seperti ini dapat digunakan pada kepentingan-kepentingan aliansi-aliansi global yang mendominasi. Universalisme apa pun itu, ia harus sensitif pada kebutuhan-kebutuhan lokal. Segala bentuk perhatian yang sifatnya universal, yang menyerahkan masa lalu pada kepentingan-kepentingan nasional atau lokal atau diasporik, menolak potensi penyalahgunaan kepentingan pribadi dan menolak dunia kita yang saling terhubung.

Jadi, bahkan meskipun kita setuju bahwa terdapat hak-hak warisan budaya universal yang dapat diidentifikasi sebagai titik berangkat, sekarang ini beberapa dari hak-hak utama tersebut tampaknya saling bertentangan. Hak-hak universal untuk sebuah warisan budaya umum bertentangan dengan hak universal kelompok-kelompok untuk mengontrol akses dan membuat keputusan tentang masa lalunya. Bahkan meskipun hak-hak universal itu ada, kita masih harus menuntaskan kontradiksi-kontradiksinya, menyelesaikkannya secara spesifik dan pragmatis. Jadi, apakah hak-hak universal itu ada atau tidak, kita masih harus menemukan sebuah cara untuk menghubungkannya dengan hak-hak warisan budaya dalam konteks-konteks yang spesifik. Pengertian etika universal di sini tidak membantu. Pada kenyataannya, pengertian seperti itu akan berbahaya ketika dijadikan titik berangkat untuk sebuah pembahasan yang sifatnya kolaboratif. Akan ada sebuah kecurigaan bahwa salah satu hak atau hak lainnya digunakan oleh satu pihak atau pihak lainnya untuk mencapai tujuan-tujuan mereka (Byme 1991). Dapat dikatakan bahwa klaim-klaim universal mengenai nilai warisan budaya untuk segala yang bersifat humanitas pada kenyataannya merupakan sebuah cara untuk melayani kepentingan-kepentingan aliansi global yang dominan. Atau dapat diraba bahwa hak-hak kelompok-kelompok lokal untuk mengklaim masa lalu mereka merupakan bagian dari politik identitas kepentingan diri. Sepertinya kita memerlukan sebuah model berbeda tentang cara-cara memulai dialog mengenai pengelolaan warisan budaya.


Duduk Bersama di Sebuah Meja

Di mana seharunya beban otoritas moral diletakkan – pada sisi sebuah masa lalu umum atau pada sisi hak-hak yang terpisah? Apakah ini sebuah pertanyaan tentang hak-hak universal yang harus dihormati, dan jika demikian, hak-hak universal mana yang seharusnya mendominasi? Atau apakah lebih pada pertanyaan tentang implementasinya yang dilakukan secara pragmatis dan kolektif? Bagi saya, posisi apa pun yang berusaha menempatkan moral pada landasan yang tinggi tidak dapat dipertahankan lagi. Penyebabnya adalah karena “kebenaran politis” yang bersifat etis akan segera memperlihatkan wajahnya sebagai bagian dari kepentingan kelompok-kelompok tertentu dan karena terdapat banyak sekali kontradiksi dalam penerapan prinsip-prinsip universal. Segala persoalannya harus diselesaikan pada bagian dasarnya.

Jadi, alih-alih mendasarkan pembahasan tentang cara-cara mengelola warisan budaya pada dasar hak-hak asasi manusia universal, saya lebih suka versi demokrasi deliberatif. Saya mengambil versi ini dari Seyla Benhabib (2002), tetapi penekanannya pada prinsip-prinsip universal. Tentu saja segala bentuk dialog berlangsung dalam bingkai kerja normatif yang disepakati. Tetapi untuk alasan-alasan yang telah diketahui di atas, saya melihat bingkai kerja seperti itu tidak terletak pada universalisme dalam pengertian yang absolut, tetapi dalam pengertian pengalaman “praktik terbaik” yang bersifat global.

Saya akan menginterpretasikan demokrasi deliberatif sebagai hal yang tidak didasarkan pada usaha-usaha menciptakan esensi yang bersifat universal tentang “hak-hak asasi manusia.” Tetapi pada seperangkat pertimbangan-pertimbangan yang berada pada tataran lokal dan global. Yang global diperlukan karena kita hidup dalam sebuah dunia yang global, diasporik, dan saling terhubung. Suka atau tidak, kita semua terhubung dan saling bergantung satu sama lainnya, jadi kita turut andil dalam segala sesuatu yang terjadi. Yang global juga dibutuhkan dalam sebuah harapan yang mungkin sia-sia bahwa dalam sebuah kerjasama yang lebih besar akan ada kebijaksanaan yang menyeimbangkan sifat fanatik dan sempit dari yang lokal; tetapi yang lokal juga dibutuhkan sebagai penjaga untuk menangkal upaya-upaya menguniversalkan klaim-klaim kelompok-kelompok dominan dan kepentingan-kepentingan pribadi.

Apa pun bentuk gagasan demokrasi deliberatif, gagasan seperti itu mengasumsikan bahwa, setidaknya untuk sementara dan sebagian, orang-orang datang ke sebuah meja dan berbicara dalam kapasitas yang setara. Gagasan ini menggunakan gagasan Habermas tentang “ideal speech communities.” Jadi di sini, kita kembali berurusan dengan apa yang secara mencurigakan terlihat seperti sebuah prinsip etis universal – bahwa para stakeholder yang ada di meja memiliki suara yang setara. Sepertinya, hal ini diperlukan sebagai upaya untuk menciptakan kemungkinan berlangsungnya dialog dan memperjelas bagian dasarnya sehingga kecurigaan dan luka lama dapat disertakan ke dalam meja, setidaknya untuk sementara. Jadi, kita mungkin dapat mengatakan bahwa semua suara setara. Atau dapatkah kita katakan bahwa beberapa suara memiliki bobot yang lebih berat? Yang terakhir ini mungkin dapat dibenarkan dengan beberapa pertimbangan mendasar, misalnya memberikan bobot yang lebih berat pada pemilik lahan tempat situs terletak atau pada agen-agen pemerintah yang dipercayakan untuk memelihara kelangsungan situs tersebut. Atau pandangan yang berbeda dapat diambil dan mengatakan bahwa kelompok-kelompok di dalam meja yang paling menderita secara historislah yang memiliki bobot khusus untuk pengambilan keputusan (sebagai contoh, kelompok-kelompok masyarakat pribumi yang telah menderita selama periode kolonial atau penindasan lainnya). Jadi, prinsip etis universal yang saling bertentangan kembali muncul – bahwa suara dan bobot yang lebih berat harus diberikan kepada rekan-rekan yang lebih lemah dalam sebuah dialog dan bahwa restitusi seharusnya berasal dari keluhan mereka.

Jadi, sekali lagi usaha-usaha memulai dialog yang didasarkan pada prinsip-prinsip universal tampaknya akan menemui jalan buntu jika tidak dikaitkan dengan pokok-pokok pengalaman historis kelompok-kelompok yang ikut berpartisipasi. Bagi Benhabib, masih ada kode-kode etis umum yang dapat digunakan sebagai titik berangkat pembahasan dalam sebuah meja  – prinsip-prinsip yang harus didengarkan para stakeholder dan menghormati pandangan-pandangan mereka. Agaknya, jika masyarakat telah datang untuk duduk bersama di sebuah meja, maka harapan-harapan mereka seringkali masuk akal. Mungkin dapat disusun panduan-panduan untuk “praktik terbaik” dalam dialog kolaboratif tentang warisan budaya dengan dasar dua prinsip sederhana itu – yaitu mendengarkan dan menghormati. Namun demikian, pada kasus-kasus konflik ekstrem, seperti barbarisme dan kematian, ketika pihak-pihak yang ada di dalamnya tidak merasakan apa pun selain rasa sakit dan kemarahan, bahkan harapan-harapan seperti itu tampaknya terlalu tinggi.
Dari semua itu, dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip etis seharusnya menjadi bagian dari segala jenis pembahasan tentang kepemimpinan pengelolaan warisan budaya, karena persoalan-persoalan etis seringkali menunjukkan kekuatannya dalam melindungi masyarakat, khususnya masyarakat yang dirugikan dan mudah mengalami tekanan-tekanan, atau melindungi masyarakat dari kepentingan-kepentingan khusus atau dari tindakan-tindakan individual yang mengikis kebaikan publik. Jika perihal etis memang memiliki nilai yang memadai, maka perihal ini harus selalu disesuaikan dengan sejarah dan perbedaan-perbedaan dan ketegangan-ketegangan sosial tertentu yang telah muncul. Perihal etis harus selalu digunakan untuk menilai sejarah-sejarah yang salah, rangkaian penyalahgunaannya, marginalisasinya, dan pengabaiannya. Ia harus disesuaikan dengan pemahaman-pemahaman budaya tertentu yang di dalamnya orang-orang membentuk aspirasi mereka, semata untuk dibatasi dari kepentingan-kepentingan yang lain. Jadi, gagasan bahwa yang etis harus menjadi bagian dari segala bentuk dialog kolaboratif menempatkan persoalan-persoalan warisan budaya di dalam sebuah fokus hak-hak asasi dan sensitifitas yang lebih luas. Dengan prinsip-prinsip etis, perhatian diarahkan menuju bagasi historis dan sosial yang lebih besar yang dibawa masyarakat untuk duduk bersama dalam satu meja. Bahkan jika panduan-panduan etis harus disusun dengan cara menghubungkan prinsip-prinsip umum dengan situasi-situasi spesifik, prosesnya akan tetap membawa kita pada pembahasan tentang hak dan keadilan. Perihal etis memiliki sebuah nilai yang merupakan bagian dari proses pembentukannya, bukan obat mujarab bersifat universal yang dapat dilepaskan dari dasarnya dan diterapkan di semua kondisi, tetapi sebuah perihal penting yang harus selalu dipertimbangkan di setiap tahap proses kolaborasi dan dialog.


Konteks yang Tidak Terdapat di Meja

Di banyak bagian dunia, membangun “ideal speech communities” di dalam meja tampaknya merupakan hal yang naif, dan dalam gagasan Benhabib tentang demokrasi deliberatif, efek kekuatan-kekuatan yang berbeda memainkan peran yang terlalu kecil. Di dunia yang nyata, selalu ada perbedaan-perbedaan kekuatan, dan hal tersebut berpengaruh pada diskusi dan dialog terbuka. Meskipun kita dapat mengembangkan aturan-aturan tertentu tentang hal-hal yang akan dilangsungkan di meja, orang-orang yang duduk bersama di meja tersebut tidak mungkin dapat berpartisipasi secara memadai dan etis kecuali persoalan-persoalan di luar meja dibahas. Kita dapat mengupayakan dan mencapai beberapa situasi “ideal speech” yang di dalamnya, mengikuti Habermas, terdapat beberapa derajat kesamaan. Tetapi menyatakan hal seperti ini sama halnya menolak perbedaan-perbedaan nyata diantara para peserta – yang pasti berhubungan dengan persoalan-persoalan di luar meja.

Pertama, para peserta perlu mengambil sebuah posisi, dan hal ini seringkali berarti mereka harus ditempatkan pada sebuah posisi yang memungkinkan mereka memperoleh keuntungan ekonomi. Penting untuk membicarakan cara-cara yang dapat atau telah mengeluarkan kelompok-kelompok marginal dari komunitas yang memperoleh keuntungan ekonomi dari situs-situs warisan budaya, seperti pada kasus negara mengontrol akses, uang hasil pembelian tiket, pelayanan untuk turis dan sejenisnya. Masyarakat mungkin akan menjadi stakeholder yang lebih efektif apabila mereka merasakan manfaat ekonomi dari situs-situs warisan budaya.

Di Çatalhöyük, komunitas-komunitas lokal sering menunjukkan minat yang kecil terhadap situs tersebut, dan mereka tidak merasakan manfaat ekonomi dari situs tersebut di masa lalu. Kami telah berusaha mengarahkan persoalan ini dengan cara mendorong investasi lokal dalam bentuk pendirian sebuah bangunan perbelanjaan, memfasilitasi perbaikan jalan, berkontribusi pada sistem penyediaan air baru, dan mendorong pemerintah lokal berinvestasi pada sebuah sekolah desa. Kami mempekerjakan orang-orang yang berasal dari kota dan desa-desa di sekitar situs tersebut dan merencanakan membangun sebuah museum yang lebih besar di kotanya. Kami juga telah mencoba mengembangkan “brand” Çatalhöyük dan mengupayakan kerjasama untuk produksi kilim (karpet), distribusi, dan penjualannya. Meskipun usaha yang terakhir tidak terlalu berhasil sejauh ini, terdapat banyak situs dan daerah di dunia di mana produksi barang-barang kerajinan tangan yang dihubungkan dengan situs telah mendatangkan manfaat ekonomi.

Pejabat-pejabat daerah dan lokal seringkali gesit menangkap gagasan tentang manfaat ekonomi ini. Mereka mengharapkan sumber keuntungan ekonomi; mereka lebih memilih model Museum Guggenheim di Bilbao, Spain. Penting untuk tidak menyemangati terlalu berlebihan harapan-harapan mereka apabila tidak realistis; perlu ditekankan bahwa sebagian besar proyek-proyek warisan budaya tidak mendatangkan wisatawan dalam jumlah besar dan tidak menghasilkan ledakan ekonomi yang besar. Tetapi pelibatan dalam perencanaan untuk manfaat ekonomi yang realistis merupakan sebuah dasar yang penting bagi partisipasi stakeholder. Keuntungan ekonomi potensial atau yang ril memberikan sebuah tempat yang lebih menjamin dan pengaruh yang lebih besar bagi para stakeholder yang datang untuk duduk bersama di sebuah meja ketika pengambilan keputusan dilakukan.

Aspek penting lainnya adalah pendidikan. Seringkali terdapat perbedaan-perbedaan yang besar pada tingkatan pengetahuan dan pendidikan dari orang-orang yang duduk bersama di meja. Ahli arkeologi dapat membicarakan warisan budaya dan manajemennya dengan otoritas yang besar, tetapi komunitas lokal kadang-kadang hanya mengetahui sedikit dan kurang mampu mengekspresikan kebutuhan-kebutuhannya. Penting bagi semua orang di meja mampu memahami persoalan-persoalannya dan menjelaskan mengapa solusi-solusi warisan budaya tertentu lebih baik.
Di Çatalhöyük, kurangnya minat dan keterlibatan pada awalnya disebabkan oleh tidak memadainya pendidikan yang diperoleh sebagian besar komunitas lokal. Banyak dari mereka yang tidak dapat menulis, dan hanya sedikit yang mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan masa lalu non-Islam. Kami telah mencoba menuntaskan persoalan ini dengan pelbagai cara. Seperti pada banyak proyek-proyek asing di Timur Tengah, kami telah menyediakan beasiswa untuk pelajar (pada kasus kami, kadang dari wilayah lokal) untuk memperoleh pelatihan bahasa, arkeologi, dan konservasi di universitas-universitas besar di Turki atau, yang lebih umum lagi, luar negeri. Di bawah skema pendanaan Temper UE, sejumlah besar materi-materi pendidikan telah dipersiapkan untuk sekolah dasar dan menengah di Turki dan wilayah lokalnya. Dan setiap tahun, sekitar 600 anak masing-masingnya menghabiskan satu hari untuk belajar tentang arkeologi dan warisan budaya di situs tersebut (Doughty dan Hodder 2007). Di desa lokal, kami telah menyediakan slide show dan telah menjelaskan rencana kami tentang situs tersebut ke semua desa yang terdapat di sekitar situs tersebut serta memperoleh umpan balik mereka.

Partisipasi, pengetahuan, dan pendidikan dapat didorong dengan cara melibatkan masyarakat pada semua aspek penelitian dan proses pengelolaan situs. Namun tidak cukup hanya dengan mengatakan seperti ini: penelitian-penelitian ilmiah arkeologis terus dilakukan seperti biasanya, dan baru setelah itu para arkeolog mengkomunikasikan hasil-hasil dan interpretasinya kepada pelbagai kelompok stakeholder. Hal seperti ini akan menciptakan jarak, memisahkan, tidak melibatkan, tidak memberikan keuntungan, dan tidak memberikan peran yang memadai pada kelompok-kelompok stakeholder tersebut. Sebaliknya, kelompok-kelompok tersebut harus dilibatkan pada semua tahap. Sekarang ini, jenis integrasi seperti ini telah menjadi hal umum di banyak proyek arkeologis. Metode yang telah kami upayakan di Çatalhöyük adalah bagian dari metode-metode refleksif. Anggota-anggota pelbagai komunitas dilibatkan dalam proses pasca ekskavasi di laboratorium, dan tim-tim ekskavasi yang berbeda melibatkan anggota-anggota komunitas lokal dengan cara-cara yang berbeda. Salah satu penduduk desa yang telah lama menjadi penjaga situs menulis buku tentang proyek tersebut yang telah dipublikasikan oleh Left Coast Press (Dural 2007), dan suara-suara komunitas lokal disertakan dalam terbitan-terbitan utama proyek tersebut. Di Timur Tengah, sudah terlalu lama suara-suara para pekerja lokal tidak didengarkan.

Pengembangan penting lainnya yang perlu diperjelas di meja adalah kepercayaan. Mereka yang ada di dalam meja harus mempercayai hal-hal yang dikatakan peserta lainnya. Membangun kepercayaan seperti ini harus dilakukan dengan cara membuktikan bahwa segala hal yang telah dikatakan di meja betul-betul dilaksanakan. Di daerah-daerah seperti Timur Tengah, tantangan utama untuk demokrasi deliberatif adalah bagaimana melahirkan kepercayaan dan kerjasama dalam sebuah konteks tergesurnya kepercayaan dan berlangsungnya konflik. Persoalannya terletak pada cara-cara untuk fokus pada sikap menghormati martabat pihak lain ketika pemisahan dan penghancuran karakter mendominasi semua aspek kehidupan sehari-hari. Dalam situasi-situasi pasca konflik, terdapat beberapa kasus yang proses rekonsiliasinya dapat dikatakan luar biasa. Proses rekonsiliasi di Ruanda dan Pengadilan Kepercayaan dan Rekonsiliasi (Truth and Reconciliation Courts) di Afrika Selatan merupakan usaha-usaha yang sangat hebat karena terfokus pada penghormatan dan pemaafan setelah mengalami periode dominasi, genosida, perang dan kematian. Proyek-proyek yang sama telah dijalankan di Israel (seperti proyek TEMPER – Doughty dan Hodder 2007). Saya telah menekankan dalam diskusi-diskusi saya dengan anggota proyek Wye River tentang betapa pentingnya persoalan kepercayaan. Kelompok arkeolog dan ahli warisan budaya Palestina dan Israel telah dilibatkan beberapa kali dalam proyek-proyek kolaborasi (Scham dan Yahya 2003). Para peserta sering mengatakan bahwa proyek ini berhasil karena mereka merasa dapat mempercayai para peserta dari sisi yang berseberangan. Kepercayaan seperti ini selalu dibangung sepanjang waktu dan melalui kegiatan-kegiatan dan keakraban.

Hasil yang diperoleh pada kasus Wye River sangat impresif. Alih-alih menyetujui menyingkirkan masa lalu Ottoman dan yang bernuansa Islam dalam landskapnya, mereka fokus pada materi yang telah lama ditolak – bangunan-bangunan Kristiani dan Ottoman. Mereka bekerja dengan Otoritas Purbakala Israel dalam mengedepankan bangunan-bangunan Old Akko yang memiliki fondasi yang dibangun oleh Para Pejuang Perang Salib dari sisi Kristiani (Crusader) dan superstruktur Ottoman. Mereka melibatkan komunitas-komunitas lokal pada projek-projek tersebut serta menciptakan dan mendukung pusat-pusat komunitas. Proyek-proyek orang Palestina pada situs-situs Biblical bertujuan untuk menjadikan masa lalu dipandang secara inklusif, bukannya eksklusif.

Pada titik inilah kekuatan konsep tentang sebuah masa lalu bersama terletak – bukan dari hak-hak asasi umum manusia atau dari sebuah hak universal terhadap sebuah masa lalu yang umum – tetapi dari sebuah pengakuan bahwa sejarah-sejarah yang spesifik saling terjalin dengan cara-cara yang kompleks, bahwa sejarah itu tumpang tindih, berlapis-lapis, kompleks, cair, tercampur, saling bergantung, lekas berlalu, dan tidak permanen sifatnya. Alih-alih identitas-identitas yang tetap dan batas-batas perbedaan yang tak tertembus, kita memiliki sebuah proses dialog dan konstruksi perbedaan yang saling bergantung. Dalam pengakuan proses yang kompleks inilah gagasan tentang sebuah masa lalu bersama memiliki bentuknya yang paling efektif.

Cara selanjutnya untuk membuat poin yang sama adalah dengan fokus pada pelapisan. Klaim-klaim hegemonik terhadap warisan budaya seringkali menghapus fase-fase, peristiwa-peristiwa, atau sejarah-sejarah yang tidak mendukung kepentingan-kepentingan mereka. Lapisan-lapisan yang kompleks ini, pada mana masa kini dibagun, dilupakan atau ditolak. Tetapi pelapisan dan stratigrafi merupakan komponen arkeologi yang penting. Seperti ketika kita melakukan penggalian, kita menemukan lapisan-lapisan yang terlupakan dan yang dapat merekonstruksi pelapisannya, yang pada pelapisan tersebut dunia kontemporer dan kekuasaan masa kini dibangun. Dalam cara-cara ini, kemapanan diri masa kini, sifat esensialnya, dipersoalkan dan celah-celahnya dibongkar untuk sebuah dialog yang lebih terbuka.

Sekali lagi, kekuatan yang jelas terlihat pada kasus Wye River adalah usaha untuk mengingat pelapisan seperti, seperti yang terjadi juga pada kasus Mesjid Dahar al-Omar, yang juga disebut Al-Mu’aleq, yang diteliti oleh Hanan Halabi Abu Yusef. Di sini, sebuah bangunan peninggalan para Pejuang Perang Salib (bernuansa Kristiani) yang sebelumnya digunakan sebagai sebuah sinagog, dan kemudian menjadi masjid, dikonstruksi kembali. Pembukaan kembali masjid ini setelah perang dengan demikian memiliki nilai penting yang besar, khususnya jika layer-layer yang beragam dari bangunan tersebut dapat diberikan penekanan.

Kesimpulan: Mengambil Posisi

Saya telah mengatakan di sini bahwa meskipun kita perlu membahas prinsip-prinsip etis tentang warisan budaya dan kepemimpinannya, nilai diskusi seperti ini dalam keabsolutan universal prinsip-prinsipnya tidak terlalu signifikan. Nilai ini menjadi lebih signifikan ketika digunakan dalam kebutuhan untuk terus mempertimbangkan hal-hal yang salah dan benar yang telah terbentuk secara historis dalam kombinasi lokal dan global yang spesifik. Ketika dilakukan diskusi-diskusi kolaboratif, pendekatan ganda seperti ini diperlukan untuk persoalan etis dan sosial. Yang pertama fokus pada prosedur-prosedur yang digunakan di dalam meja. Tetapi yang kedua, sebuah respon etis yang memadai, juga perlu membahas konteks yang lebih luas yang tidak terdapat di dalam meja sehingga para pesertanya memiliki kekuatan dalam proses pengelolaan warisan budaya.

Terakhir, penting untuk menekankan bahwa arkeolog perlu mengambil posisi dalam proses ini. Tidak cukup dengan mengatakan bahwa arkeolog merupakan mediator yang relatif tidak memiliki kekuatan yang tugasnya hanya mengupayakan agar pada stakeholder berkumpul untuk duduk bersama. Tidak mungkin menjadi netral dalam prosesnya. Para arkeolog harus memberikan pengaruhnya sebagai ahli yang profesional, dan mereka harus mengakui bahwa tindakan-tindakan mereka sebagai ahli memiliki efek pada dunia, yang mana mereka turut bertanggung jawab dalam proses pembentukannya. Menyatakan diri netral secara ilmiah dan etis berarti melepaskan tanggung jawab terhadap efek-efek yang akan terjadi dengan keterlibatan suatu pihak dalam sebuah warisan budaya publik. Mengambil jalan etis dalam arkeologi berarti membuat pilihan-pilihan personal dan profesional.

Saya ingin memberikan ilustrasi tentang poin ini dengan memberi contoh dari pengalaman saya di Çatalhöyük. Sebagai contoh, politisi-politisi lokal yang nasionalis dan menganut paham Islam tradisional telah mencoba mengkalim hubungan etnis antara masyarakat di Çatalhöyük 9.000 tahun yang lalu dan masyarakat sekarang ini. Dengan menimbang hal etis dari soalan ini, saya menemukan bahwa saya harus mengambil posisi dan mengatakan bahwa bukti arkeologis tidak mendukung pandangan yang mengandung rasisme. Jadi, dalam diskusi-diskusi kolaboratif kami, saya telah menggunakan keahlian profesional dan ilmiah saya untuk mengambil sebuah posisi tertentu karena saya pikir hal tersebut benar, baik secara ilmiah maupun secara etis. Seperti contoh lainnya, dalam konteks Islam tradisional lokal, saya telah diminta oleh para pemuka desa laki-laki di komunitas lokal tersebut untuk tidak mempekerjakan dan membayar perempuan dan tidak diragukan lagi bahwa bekerja telah menguatkan dan merubah kehidupan beberapa orang perempuan di desa. Saya merasa, sebagai anggota dari dunia yang saling terhubung, harus menggunakan posisi saya untuk berkontribusi pada perubahan kehidupan perempuan yang ada di desa tersebut. Hal yang sama juga terjadi ketika pemerintah Turki meminta saya untuk mencegah kelompok-kelompok beragama Hindu-Budha (Goddess) mengunjungi situs tersebut dengan alasan bahwa mereka mungkin akan merusak situs dan berdampak negatif pada komunitas-komunitas lokal. Saya berpikir bahwa dalam dunia global, adalah hal yang salah ketika kita berusaha mencegah kunjungan-kunjungan seperti itu selama tidak ada perusakan terhadap situs dan selama dialog dengan komunitas-komunitas lokal dapat dipelihara. Terakhir, persoalan-persoalan etis yang dimunculkan oleh sponsor. Sekali lagi, saya berdiskusi dengan anggota tim untuk memutuskan kriteria etis dalam menerima sponsor. Seringkali saya menemui diskusi-diskusi yang sulit dan yang berujung saya harus mengambil posisi – bertentangan dengan sponsor-sponsor tertentu, membuat jelas pada yang lainnya bahwa sponsor tidak boleh memiliki pengaruh tak pantas terhadap proses ilmiah dan sosial arkeologi.

Segala jenis intervensi seperti itu berbahaya, dan kita tidak bisa memastikan efeknya. Tetapi saya merasa bahwa kita semua telah terhubung pada skala global. Seberbahaya apa pun intervensi-intervensi tersebut, kita sudah turut campur dan lebih baik mendiskusikan, berdialog dan berpartisipasi dari sebuah posisi sosial dan etis yang spesifik ketimbang mengklaim objektifitas ilmiah atau universalisme moral yang tidak berdampak pada kehidupan masyarakat.

Diterjemahkan oleh Jusman Mahmud dari artikel Ian Hodder Is a Shared Past Possible? The Ethics and Practice of Archaeology in the Twenty-First Century dalam buku New Perspectives in Global Publik Archaeology

sumber: http://www.facebook.com/notes/jusman-mahmud/apakah-masa-lalu-bersama-itu-mungkin-etika-dan-praktik-arkeologi-abad-21/10150947742287707?ref=notif&notif_t=note_tag 

Jumat, 15 Juni 2012

Pemberdayaan masyarakat

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ARKEOLOGI

Oleh:
TJAHJONO PRASODJO

(Makalah ini merupakan updating dari artikel penulis: “Arkeologi dan Pemberdayaan Masyarakat Lokal”, dalam Buletin Cagar Budaya No.2. inpress)
 [Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada]
Disampaikan dalam:
PELATIHAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ARKEOLOGI TINGKAT DASAR
ASISTEN DEPUTI URUSAN ARKEOLOGI NASIONAL
DEPUTI BIDANG SEJARAH DAN PURBAKALA
KEMENTERIAN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
Trowulan, Mojokerto © 2004

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT dalam
PENGELOLAAN SUMBERDAYA ARKEOLOGI1
Tjahjono Prasodjo
[Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada]
Pada tahun 1969 buku Grahame Clark yang berjudul “Archaeology and Society” telah diterbitkan. Buku ini berisi kupasan mengenai analisis data arkeologi untuk mengungkapkan kehidupan kemasyarakatan masa lampau. Sejak dasawarsa 1960-an memang banyak dilakukan penelitian-penelitian tentang rekonstruksi masyarakat masa lampau yang lebih menekankan pada proses-proses budaya yang terjadi pada komunitas-komunitas masa lampau. Hal ini tentu saja sejalan dengan kepopuleran aliran pemikiran arkeologi yang berkembang pada masa itu, yaitu arkeologi prosesual atau disebut juga new archaeology.
Namun, penelitian terhadap keterkaitan arkeologi dengan masyarakat kontemporer tidak banyak dilakukan. Seolah-olah arkeologi merupakan sebuah ilmu eksklusif yang berada di sebuah menara gading, sehingga terdapat jarak atau jurang yang lebar di antara arkeologi dengan kehidupan masyarakat masa kini. Demikian pula para ahli arkeologi pun tidak menaruh perhatian terhadap masyarakat sekitarnya, tidak ada kepedulian terhadap seberapa jauh sebenarnya manfaat ilmu yang digelutinya bagi masyarakat di sekitarnya.
Makalah ini akan mencoba melihat seberapa jauh sebenarnya tanggung jawab kita sebagai arkeolog terhadap kehidupan masyarakat lokal di sekitar situs arkeologis. Apakah kita berhak atau bahkan wajib ikut memberdayakan kelompok komunitas di lokasi sebuah situs arkeologis berada? Dalam aspek apa saja kita dapat ikut serta memberdayakan masyarakat lokal? Dan bagaimanakah caranya atau strateginya?
PERUBAHAN PARADIGMA:
Dari “site-oriented” menuju “community-oriented”
Dalam dua dekade terakhir ini telah banyak terjadi pergeseran pemikiran dalam arkeologi. Pergeseran tersebut terjadi pada tataran teoritis, yang disebabkan oleh adanya pengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung, perubahan yang terjadi di segala bidang ilmu lain dan munculnya aliran pemikiran baru. Seperti misalnya saja munculnya aliran pemikiran pasca modernisme (post modernism) yang walaupun pengaruhnya dirasakan secara tidak langsung, tetapi membawa dampak terhadap perkembangan pemikiran arkeologi (Johnson 1999). Sejak dua puluh tahun terakhir ini terus bermunculan berbagai macam (aliran pemikiran dalam) arkeologi, seperti arkeologi jender, arkeologi feminisme, arkeologi intrepretif, arkeologi kontekstual, arkeologi pasca struktural, dan sebagainya (Hodder 1986; Johnson 1999; Hodder 1995; Trigger 1987; Dark 1995).
Di samping pergeseran pemikiran teoritis yang terjadi dalam arkeologi yang diakibatkan oleh pengaruh aliran pemikiran di luar disiplin arkeologi, terdapat pula perubahan peran dan kedudukan arkeologi yang diakibatkan oleh kondisi dan situasi non-akademis yang terjadi di dunia. Tanudirjo (2000) mengemukakan bahwa sudah saatnya arkeologi melakukan reposisi dirinya dalam memenuhi tuntutan era global yang terjadi saat ini, yaitu dari posisi sebagai legislator menjadi mediator. Peran sebagai mediator tentunya akan membawa perubahan dan pembaharuan yang cukup mendasar bagi bidang arkeologi di Indonesia, seperti yang dikatakannya:
“Mendudukkan arkeologi Indonesia sebagai mediator berarti akan mengikis arogansi sementara pihak dan membongkar sekat-sekat kelembagaan yang seringkali menjerat langkah maju. Posisi arkeologi yang baru akan membawa serta kesadaran tentang perlunya saling keterbukaan, kesetaraan, menghargai keragaman, dan kesanggupan untuk mendengar suara lain (the other)”.
Namun, tuntutan semacam itu nampaknya saat ini memang perlu dikembangkan lebih jauh lagi, yaitu dengan penekanan lebih lanjut terhadap peranserta masyarakat lokal dalam bidang arkeologi di Indonesia. Sudah saatnya arkeologi di Indonesia mulai memikirkan kontribusinya bagi kehidupan masyarakat, terutama dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat lokal.
Masyarakat lokal sebagai pemukim yang bertempat tinggal di sekitar situs memiliki potensi sosial, budaya, politik, maupun ekonomis yang dapat dikembangkan sehingga akan menumbuhkan ketergantungan yang saling menguntungkan antara situs dan masyarakat sekitar. Ketergantungan tersebut menunjukkan adanya relasi atau hubungan timbal balik yang saling menguntungkan di antara kedua belah pihak, yaitu situs arkeologis dan masyarakat lokal. Pertama, masyarakat lokal akan diuntungkan dengan adanya pemanfaatan situs arkeologis, misalnya saja situs arkeologis sebagai objek pariwisata akan mendatangkan pendapat tambahan (atau bahkan pendapatan utama) bagi masyarakat lokal. Kedua, dengan tumbuhnya pemberdayaan dalam bidang sosial, budaya, politik, dan ekonomi masyarakat lokal diharapkan akan muncul rasa memiliki terhadap situs arkeologis. Dampak positif tumbuhnya rasa memiliki semacam itu adalah kehadiran kesadaran untuk “melindungi” dan “menjaga” situs arkeologis. Apabila masyarakat sudah dapat bertindak sebagai “pelindung” dan “penjaga” situs atau benda cagar budaya, maka hal tersebut merupakan bentuk upaya perlindungan dan pelestarian benda cagar budaya yang paling efektif dan efisien (Prasodjo 2003).
Untuk menciptakan hubungan yang saling menguntungkan semacam itu perlu diciptakan dan dilakukan upaya-upaya ke arah terbentuknya kondisi yang kondusif bagi kedua belah pihak. Inisiatif bagi penciptaan kondisi tersebut haruslah mulai dilakukan oleh para arkeolog sendiri yang lebih memiliki potensi sebagai, paling tidak, fasilitator bagi pembentukan upaya-upaya ke arah kondisi tersebut.
Bagi para arkeolog sendiri untuk melaksanakan niat tersebut perlu lebih dahulu dibangun kesadaran bahwa masyarakat lokal memiliki peran dan kedudukan yang penting bagi pelestarian benda cagar budaya. Kesadaran itu menumbuhkan pengertian bahwa masyarakat lokal tidak dapat diabaikan dari segala kegiatan arkeologi, terutama yang berkaitan dengan keberadaan dan keberlangsungan benda cagar budaya. Misalnya, penelitian arkeologis sebagai salah satu sektor kegiatan arkeologi haruslah sudah mulai menaruh perhatian dan melibatkan masyarakat lokal dalam kegiatan penelitiannya. Selama ini terkesan bahwa kegiatan penelitian arkeologis merupakan bagian yang sama sekali tidak memiliki keterkaitan dengan keberadaan masyarakat lokal di lokasi penelitian. Para arkeolog peneliti beranggapan bahwa tugas mereka hanyalah meneliti dan menganalisis data arkeolog (yang biasanya berupa benda mati), sehingga merasa tidak perlu menaruh perhatian pada masyarakat di sekitar situs. Anggapan semacam ini perlu segera ditinggalkan oleh para peneliti karena sangat berbahaya dan dapat menjadi bumerang bagi keberadaan arkeologi di Indonesia. Arkeologi akan menjadi sangat tidak berarti apabila ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya.
Di samping itu, pada saat ini mulai muncul kecenderungan untuk lebih memperhatikan kebermaknaan sosial (social significance) situs bagi masyarakat sekitarnya daripada hanya semata mata berkutat pada masalah konservasi situsnya saja. Pandangan ini memunculkan persepsi dan sikap yang berbeda terhadap posisi sumberdaya arkeologi dalam pengelolaannya, dibandingkan persepsi dan sikap yang dimiliki oleh para pelestari sumberdaya arkeologi yang terdahulu. Fokus pelestarian sumberdaya arkeologi bukan lagi pada upaya konservasi fisik situs (sumberdaya arkeologi) tetapi juga harus memperhatikan bagaimana masyarakat sekitar memaknai situs tersebut dan kebermaknaan sosial situs tersebut terhadap masyarakat di sekitarnya (Byrne t.t.)
Oleh karena itu, nampaknya perlu dikembangkan pendekatan alternatif terhadap pengembangan kegiatan arkeologi di Indonesia. Pendekatan baru tersebut adalah pendekatan yang lebih bersifat community-oriented, sebuah pendekatan yang lebih peduli terhadap keberadaan masyarakat lokal, bahkan masyarakat lokal dijadikan salah satu pusat pertimbangan utama dalam segala kegiatan dan pengambilan keputusan dalam bidang arkeologi. Sudah saatnya kita meninggalkan dan membuang konsep atau pendekatan yang hanya bersifat site-oriented semata-mata karena pendekatan semacam ini sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan kondisi dan situasi masa kini.
Pendekatan yang berorientasi pada komunitas atau masyarakat (community-oriented) dalam aplikasinya dapat diwujudkan melalui dua cara, yaitu dengan pendekatan partisipatori dan pemberdayaan masyarakat. Pendekatan partisipatoris merupakan sebuah pendekatan yang selalu melibatkan masyarakat dalam setiap langkah kerja yang dilaksanakan. Pendekatan semacam ini sudah berhasil dilakukan dalam bidang pertanian, kehutanan, antropologi, dan beberapa bidang ilmu yang lain (Chambers 1996), sedangkan penerapannya dalam bidang arkeologi belum banyak dilaksanakan (Prasodjo 2000). Pendekatan partisipatoris dalam arkeologi mempunyai potensi pengembangan yang cukup besar dan menarik, terutama keuntungan yang akan didapatkan dari penerapan partisipatoris dalam arkeologi, yaitu kegiatan arkeologis akan “dibantu” dan didukung oleh masyarakat dengan keterlibatannya dalam arkeologi dan akhirnya juga akan membuahkan hasil kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat sendiri. Cara yang kedua, yaitu pemberdayaan masyarakat, merupakan upaya membangun landasan sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang kuat bagi masyarakat di sekitar situs arkeologis melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan atau dikaitkan dengan kegiatan arkeologi.
MUNGKINKAH ARKEOLOGI/ARKEOLOG MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT LOKAL?
Konsep pemberdayaan (empowerment) muncul kira-kira berbarengan dengan tumbuhnya aliran pemikiran pasca modernisme (post-modernism) pada sekitar dua puluh tahun yang lalu (Pranarka dan Moeljarto 1996). Gagasan dasar dari konsep ini bermula dari permasalahan power (kekuatan) yang menurut penganut gagasan ini harus diberikan kepada setiap orang atau dengan kata lain setiap orang berhak atas power. Namun, disadari bahwa sebagian masyarakat ada yang sulit memilikinya karena kondisi yang tidak memungkinkannya. Oleh karena itu harus ada upaya oleh orang lain untuk memberikan power tersebut kepada masyarakat yang powerless. Tindakan memampukan masyarakat yang berada dalam kondisi yang tidak berdaya disebut dengan empowerment. Konsep permberdayaan (empowerment) oleh Pranarka dan Moeljarto didefinisikan sebagai “upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional, maupun dalam bidang politik, ekonomi, dan lain-lain”.Tentu saja konsep dasar seperti tersebut di atas masih sangat luas atau bahkan terlalu umum (Pranarka dan Moeljarto 1996).
Dalam prakteknya perhatian pemberdayaan masyarakat menitik beratkan pada adanya kenyataan bahwa individu maupun masyarakat dapat dihadang oleh hambatan dan kendala dalam proses pengaktualisasian keberadaannya. Oleh karena itu perlu dilaksanakan usaha-usaha baik oleh masyarakat sendiri atau melalui bantuan orang lain sebagai fasilitator untuk menghilangkan hambatan dan kendala tersebut. Cara yang ditempuh adalah dengan menciptakan dan membangun kondisi yang kondusif bagi tumbuhnya keberdayaan masyarakat, baik dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi (Pranarka 1996). Pemberdayaan dalam bidang sosial banyak dilaksanakan dengan kegiatan-kegiatan penyadaran tentang potensi-potensi yang dimiliki oleh kelompok masyarakat, sehingga pada akhirnya masyarakat mempunyai kekuatan untuk memperoleh akses sosial (misalnya kesempatan untuk membangun organisasi sosial) dalam upaya menggapai kesejahteraan bagi masyarakat. Dalam bidang politik, pemberdayaan lebih menaruh perhatian pada upaya memampukan masyarakat dalam menegakkan demokrasi, sehingga hak-hak mereka sebagai warganegara akan dapat terpenuhi. Pemberdayaan dalam bidang ekonomi merupakan upaya pemberdayaan yang paling banyak dilaksanakan karena kegiatan ini yang secara langsung berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan primer manusia. Pemberdayaan ekonomis dimaksudkan agar masyarakat dapat memiliki akses terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ekonomis untuk mencari nafkah.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah arkeologi/arkeolog dapat mengaplikasikan konsep pemberdayaan (empowerment) masyarakat lokal dalam kegiatan kerjanya, sehingga masyarakat di sekitar situs dapat berdaya secara sosial, politik, dan ekonomi? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, sebaiknya perlu dipahami lebih dahulu tentang tujuan arkeologi.
Pada awalnya tujuan arkeologi adalah mempelajari masa lampau manusia, terutama berusaha untuk merekonstruksi masa lampau manusia. Dengan kata lain, arkeolog berusaha untuk menciptakan kembali gambaran budaya materi masa lalu. Pada masa selanjutnya, tujuan seperti tersebut di atas diperluas lagi menjadi “rekonstruksi cara hidup manusia di masa lampau”. Dengan demikian, studi arkeologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana manusia purba hidup mengeksploitasi dan berinteraksi dengan lingkungan, mengapa mereka menjalani cara hidup seperti itu, dan masih banyak pertanyaan lain yang berkaitan eksplanasi proses perubahan budaya masa lampau (Renfrew dan Bahn 1991). Namun, pada masa kini ketika aliran pemikiran arkeologi pasca prosesual (post-processual archaeologies) berkembang dalam arkeologi, tujuan arkeologi menjadi sangat bervariasi tergantung pada aliran pemikiran yang dianutnya (Dark 1995).
Dalam aliran pemikiran arkeologi pasca prosesual terdapat beberapa cabang pemikiran yang mempercayai bahwa arkeologi dalam prakteknya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-budaya lingkungannya. Di samping itu, sebaliknya interpretasi arkeologi dipergunakan untuk mempengaruhi kondisi sosial budaya, seperti misalnya interpretasi arkeologi dimanipulasikan (dalam arti negatif maupun positif) untuk membangun citra sebuah etnis. Lebih jauh lagi, Shanks and Tilley bahkan berpendapat bahwa arkeologi mempunyai tujuan yang bersifat politis: “Archaeology, as cultural practice, is always a politics, always a morality” (Shanks and Tilley seperti yang dikutip dalam Johnson 1999). Berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, sampai saat ini belum muncul gagasan konseptual yang menjelaskan kemungkinan aplikasi pemberdayaan masyarakat lokal oleh kalangan arkeologi.
BEBERAPA CONTOH PEMBERDAYAAN MASYARAKAT OLEH ARKEOLOGI
Walaupun gagasan konseptual yang berasal dari kalangan arkeologi dalam pemberdayaan masyarakat belum dirumuskan, tetapi embrio bagi upaya pemberdayaan telah ada. Beberapa contoh yang diberikan Renfrew dan Bahn (1991) mengenai applied archaeology sebenarnya merupakan bentuk lain dari konsep pemberdayaan masyarakat lokal. Salah satu contohnya adalah proyek yang dikerjakan oleh Clark Erickson (seorang arkeolog Amerika) dan Ignacio Garaycochea di Danau Titicaca di Peru dan Bolivia yang berusaha memperkenalkan kembali sistem pertanian kuno pada masyarakat lokal. Proyek ini cukup berhasil meningkatkan hasil pertanian masyarakat setempat, dibandingkan penggunaan sistem pertanian modern yang dipakai sebelumnya. Contoh yang lain adalah Cusichaca Project yang dipimpin oleh Ann Kendall yang mengaplikasikan arkeologi bagi penggunaan kembali sistem kanal kuno di Patallacta, Peru (Renfrew dan Bahn 1991). Kedua proyek di atas memperlihatkan contoh upaya arkeologi/arkeolog dalam memberdayakan masyarakat lokal di sekitar situs dalam bidang ekonomi, terutama peningkatan hasil pertanian melalui pengenalan sistem pertanian kuno. Contoh pemberdayaan masyarakat dalam bidang kultural telah dilakukan oleh kalangan arkeologi Amerika pada masyarakat native american (indian) (antara lain: Lorden 2002).
Di Indonesia, seperti telah dikemukakan di depan, belum banyak kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh para arkeolog. Salah satu contoh yang dapat dikatakan mewakili usaha pemberdayaan masyarakat sekitar situs adalah pembinaan usaha ekonomi masyarakat di sekitar Candi Borobudur, terutama memberdayakan mereka agar dapat ikut mengambil keuntungan ekonomis dari kegiatan pariwisata Candi Borobudur (Mundardjito 1999).
Pada dasarnya pemberdayaan masyarakat lokal sekitar situs arkeologis yang dapat dilakukan oleh arkeologi/arkeolog dapat diwujudkan dalam tiga aspek pemberdayaan, yaitu pemberdayaan sosial-budaya, politik, dan ekonomi, seperti juga yang telah dilakukan oleh disiplin ilmu lain. Pemberdayaan sosial-budaya masyarakat lokal dicapai dengan memberdayakan kemampuan masyarakat untuk mengenali jati dirinya melalui temuan dan interpretasi data arkeolgois yang dikerjakan oleh para arkeolog. Misalnya saja melalui diseminasi penelitian arkeologi kepada masyarakat lokal sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban para peneliti yang telah meneliti wilayah dan benda warisan budaya mereka. Dengan informasi yang didapatkan dari interpretasi arkeologis masyarakat dapat mengenal dirinya sendiri dalam bidang sosial-budaya, seperti revitalisasi budaya dan tradisi lama, dan yang selanjutnya dapat dipergunakan dorongan moral bagi pengaktualisasian eksistensinya (Sutaba 2000). Pemberdayaan politik menekankan perhatiannya pada usaha untuk memampukan masyarakat dalam peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan kebijakan politis yang berkaitan dengan kepentingan kelangsungan hidup komunitas yang bersangkutan. Misalnya dengan temuan arkeologis mengenai sejarah politis etnis atau kelompok masyarakat dapat dipakai sebagai alat kampanye untuk menunjukkan posisi penting kelompok tersebut dalam konstelasi politik di tingkat yang lebih tinggi. Pemberdayaan dalam bidang ekonomis merupakan pemberdayaan yang secara langsung paling cepat dirasakan hasilnya oleh masyarakat lokal di sekitar situs. Kedua usaha pemberdayaan ekonomi-pertanian di Amerika Selatan yang telah dikemukakan sebelumnya adalah contoh yang tepat tentang pemberdayaan ekonomis oleh para arkeolog.
Pemberdayaan perajin batu mulia di Desa Sekar, Donorojo, Pacitan: sebuah contoh faktual pemberdayaan masyarakat oleh kalangan arkeologi.
Pada tahun 2000 yang lalu Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada melaksanakan kegiatan Program Semi-QUE di Pacitan, Jawa Timur. Program tersebut yang berjudul: “Pengembangan Potensi Wisata Budaya di Kawasan Pacitan-Wonogiri-Wonosari dalam Rangka Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Setempat melalui Peningkatan Manajemen Tridharma Perguruan Tinggi” melibatkan staf pengajar Jurusan Arkeologi FS-UGM, mahasiswa, tenaga profesional, instansi terkait, dan masyarakat lokal. Keseluruhan program ini terdiri dari empat kegiatan (projek) hulu-hilir yang saling terkait dan berkesinambungan, yaitu Projek A: pelatihan penelitian lapangan untuk mahasiswa; Projek B: penelitian arkeologis berupa penelusuran dan interpretasi terhadap sumber daya arkeologis di kawasan Pacitan; Projek C: penelitian dan perencanaan strategi manajemen sumber daya arkeologis di kawasan Pacitan, terutama dalam upaya peningkatan wisata budaya kawasan tersebut; dan Projek D: pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengembangan industri pariwisata yang diwujudkan dalam bentuk workshop peningkatan kualitas hasil produksi perajin batu mulia di Desa Sekar, Kecamatan Donorojo, Pacitan (Inajati Adrisijanti, dkk. 2000).
Pelaksanaan program projek D melibatkan dua puluh perajin yang berasal dari desa Sekar. Desa Sekar merupakan salah satu sentra kerajinan batu mulai di kecamatan Donorojo, Pacitan yang juga merupakan salah satu kawasan arkeologis di kabupaten Pacitan yang memiliki temuan arkeologis mulai dari masa paleolitik sampai neolitik. Kerajinan batu mulia dari kecamatan Donorojo merupakan produk (wisata) andalan kabupaten Pacitan. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka tim projek D bekerjasama dengan instansi terkait dan kelompok profesional di kabupaten Pacitan melaksanakan pemberdayaan masyarakat di desa Sekar tersebut.
Dalam workshop tersebut tim arkeologi FS-UGM memberikan materi pelatihan berupa sosialisasi informasi penelitian dan temuan arkeologis yang sudah dilaksanakan oleh projek B dan C di wilayah Donorojo, pengenalan teknologi pembuatan alat batu dari masa prasejarah, pembekalan materi pengelolaan dan pelestarian sumber daya arkeologis, dan kunjungan ke Museum Punung. Pemberian materi-materi tersebut di atas ternyata sangat membantu memberdayakan perajin batu mulia desa Sekar dalam hal memacu semangat produktivitas yang benar dan tepat. Para perajin akhirnya menyadari bahwa nenek moyang mereka pada masa lampau telah menekuni kerajinan batu, seperti yang dibuktikan dengan temuan alat batu di wilayah mereka sendiri. Kesadaran akan adanya “warisan” ketrampilan kerajinan batu dari nenek moyang memacu motivasi para perajin untuk terus bertekun dalam produksi kerajinan batu mulia disertai dengan keinginan untuk terus meningkatkan kualitas hasil kerajinannya. Di samping itu, perajin juga disadarkan pada kewajiban untuk melindungi dan melestarikan tinggalan budaya arkeologis yang berada daerah mereka sendiri, seperti menghindari penggunaan temuan arkeologis sebagai bahan dasar pembuatan kerajinan batu (Ibid.).
Untuk meningkatkan kualitas produksi dan pemasaran kerajinan batu mulia, maka diberikan pula pelatihan dalam bidang teknik produksi (seleksi bahan, desain, dan diversifikasi produk) dan strategi pemasaran (pemasaran kerajinan batu dalam industri pariwisata dan pemberdayaan kelembagaan perajin). Beberapa hasil yang dapat dilihat segera setelah pelatihan selesai dalam meningkatnya ketrampilan perajin batu dalam memproduksi kerajinan batu mulia, seperti diversifikasi bentuk produk kerajinan yang berupa replika alat-alat batu masa prasejarah dan produk-produk batu mulia lain yang diminati oleh pasar (Ibid.).
Pada akhir kegiatan workshop para perajin merasa bahwa kegiatan ini sangat bermanfaat bagi mereka sehingga diharapkan akan sangat membantu mereka dalam memberdayakan ekonomi mereka. Dari sudut pandang arkeologi, kegiatan workshop ini menyadarkan kalangan arkeologi bahwa sebenarnya para arkeolog melakukan sesuatu hal yang berguna dan bermanfaat bagi masyarakat lokal secara langsung. Sudah saatnya kegiatan arkeologi tidak hanya dibatasi pada penelitian yang bersifat arkeologis murni, tetapi mengembangkan bentuk-bentuk kegiatan yang lebih bermanfaat bagi masyarakat di sekelilingnya.
Berdasarkan pengalaman yang telah diperoleh dengan kegiatan pemberdayaan perajin batu mulia di desa Sekar bahwa kegiatan tersebut secara faktual sangat bermanfaat bagi masyarakat di sekitar situs arkeologis dan berdasarkan pertimbangan bahwa dampak krisis ekonomi di Indonesia sangat dirasakan oleh sebagian masyarakat, maka sudah sewajarnya kegiatan pemberdayaan masyarakat lokal perlu terus dikerjakan. Perajin batu mulia desa Sekar bukan lah satu-satunya masyarakat lokal yang memerlukan pemberdayaan, masih terdapat banyak kelompok masyarakat di sekitar situs-situs arkeologis di Indonesia yang membutuhkan fasilitasi semacam itu. Demikian pula aspek pemberdayaan tidak lah harus dari sektor ekonomis semata, dapat juga dilakukan pemberdayaan dalam bidang sosial-budaya dan politik.
STRATEGI DAN PROSPEK DI MASA MENDATANG
Pada dasarnya pemberdayaan masyarakat lokal sekitar situs arkeologis yang dapat dilakukan oleh arkeologi/arkeolog dapat diwujudkan dalam tiga aspek pemberdayaan, yaitu: (1) pemberdayaan sosial-budaya; (2) pemberdayaan politik, dan (3) pemberdayaan ekonomi, seperti juga yang telah dilakukan oleh disiplin ilmu lain. Pemberdayaan sosial-budaya masyarakat lokal dicapai dengan memberdayakan kemampuan masyarakat untuk mengenali jati dirinya melalui temuan dan interpretasi data arkeolgois yang dikerjakan oleh para arkeolog. Misalnya saja melalui diseminasi penelitian arkeologi kepada masyarakat lokal sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban para peneliti yang telah meneliti wilayah dan benda warisan budaya mereka. Dengan informasi yang didapatkan dari interpretasi arkeologis masyarakat dapat mengenal dirinya sendiri dalam bidang sosial-budaya, seperti revitalisasi budaya dan tradisi lama, dan yang selanjutnya dapat dipergunakan dorongan moral bagi pengaktualisasian eksistensinya (Sutaba 2000). Pemberdayaan politik menekankan perhatiannya pada usaha untuk memampukan masyarakat dalam peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan kebijakan politis yang berkaitan dengan kepentingan kelangsungan hidup komunitas yang bersangkutan. Misalnya dengan temuan arkeologis mengenai sejarah politis etnis atau kelompok masyarakat dapat dipakai sebagai alat kampanye untuk menunjukkan posisi penting kelompok tersebut dalam konstelasi politik di tingkat yang lebih tinggi. Pemberdayaan dalam bidang ekonomis merupakan pemberdayaan yang secara langsung paling cepat dirasakan hasilnya oleh masyarakat lokal di sekitar situs. Kedua usaha pemberdayaan ekonomi-pertanian di Amerika Selatan yang telah dikemukakan sebelumnya adalah contoh yang tepat tentang pemberdayaan ekonomis oleh para arkeolog.
Strategi atau pendekatan yang akan dan dapat digunakan dalam pemberdayaan masyarakat melalui arkeologi di masa mendatang diperkirakan terfokus pada peningkatan kemampuan dan keterlibatan masyarakat sendiri. Para arkeolog hanya akan berfungsi sebatas fasilitator saja. Tiga pendekatan yang cenderung akan dipergunakan di masa mendatang adalah:
1. Community Organizing
Istilah ini cukup populer akhir-akhir ini di kalangan pemberdaya masyarakat lokal. Gerakan community organizing merupakan pembaharuan atas gerakan yang mendahuluinya yaitu community development. Community organizing lebih ditujukan pada penguatan masyarakat dalam mengorganisasikan dirinya dalam upaya pemberdayaannya.
2. Pendekatan Partisipatori
Penelitian dan pemberdayaan masyarakat yang berbasis partisipatori selalu mengedepankan ketrlibatan masyarakat dalam kegiatannya. Dalam pendekatan partisipatori ini dikenal adanya pendekatan PRA (Participatory Rural Appraisal) dan PAR (Participatory Action Research). PRA merupakan pendekatan dalam memahami keadaan suatu masyarakat oleh masyarakat itu sendiri. Dengan demikian masyarakat dilibatkan dalam keseluruhan kegiatan penelitian karena diyakini bahwa masyarakat itu sendiri lah yag lebih mengetahui keadaannya (Chamber 1986; Prasodjo 2000). Dalam PAR, pelibatan masyarakat jauh lebih dalam lagi; masyarakat terlibat dipandang mempunyai kedudukan sejajar dengan para peneliti atau bahkan meneliti masyarakatnya sendiri (Canave-Anung 1996). Canave-Anung dalam tulisannya yang lain (1994: 4) menyatakan tentang PAR :
“The basic premise of PAR is that oppressed and disadvantaged persons can empower themselves by examining their own situations, developing an understanding of political, economic, social (and environmental) determinants of these situations, researching alternative scenarios, taking action that grows out of their own culture and values, and thus adding to the knowledge base for the enhancement of the quality of life.”
Pendekatan PAR dalam arkeologi ini pernah ditawarkan untuk dicoba di Canada (Robinson 1996). Di Indonesia, penerapan PAR nampaknya belum pernah dilakukan dan kemungkinan akan menjumpai beberapa kendala untuk penerapannya.
3. Pendekatan multidisiplin
Pemberdayaan masyarakat memiliki aspek multidimensional, sehingga untuk melakukannya perlu didekati dengan multidisipliner agar upaya pemberdayaan tersebut dapat tercapai secara utuh dan efektif. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat melalui arkeologi pun harus didukung oleh disiplin ilmu yang lain, seperti antara lain geografi, antropologi, sosiologi, dan ekonomi.
Hambatan yang akan dihadapi dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat oleh kalangan arkeologi berada pada keterbatasan dana yang ada. Penyediaan dana pemerintah yang berkaitan dengan kegiatan arkeologi di Indonesia semakin berkurang. Oleh karena dana rutin yang disediakan untuk penelitian dan perlindungan sumber daya arkeologis saja tidak mencukupi, maka tentu saja hampir tidak tersedia dana yang dapat dipergunakan untuk pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat yang oleh beberapa kalangan arkeologi mungkin dianggap bukan menjadi tugas dan wewenangnya. Namun, hal ini dapat diatasi dengan melakukan kerjasama dengan mitra kerja yang memiliki dana atau mencari penyandang dana di luar sektor pemerintahan.
Akhirnya, hal yang justru paling penting harus dilakukan terlebih dahulu adalah penumbuhan kesadaran di kalangan arkeologi bahwa sudah menjadi “kewajiban” bagi kalangan arkeologi untuk menaruh kepedulian terhadap masyarakat lokal di sekitar situs arkeologi. Keperdulian itu diwujudkan dengan melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat lokal. Keberdayaan kelompok masyarakat di sekitar situs arkeologis secara sosial-budaya, politik, dan ekonomi justru menjadi pondasi yang kokoh bagi upaya perlindungan dan pelestarian tinggalan arkeologis di kawasan itu.

REFERENSI
Byrne, Denis, Helen Brayshaw, Tracy Ireland.
t.t. Social Significance. A Discussion Paper. NSW National Parks & Wildlife Service, Research Unit, Cultural Heritage Devision.
Canave-Anung, Luz
1994 “Participatory Action Research: A Celebration of People’s Knowledge for Social Change”, dalam: Jim Freedman (ed.). Development from Within. Essays on Organizing Communities for Self-Sufficiency. Institute of Primary Health Care Davao Medical School Foundation.
________________
1996 Training Package on Community Organizing-Participatory Action Reseach. Mindanao Training Resources Center - Institute of Primary Health Care Davao Medical School Foundation.
Chambers, Robert
1996 PRA Participatory Rural Appraisal, Memahami Desa Secara Partisipasi. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Clark, Grahame
1969 Archaeology and Society. New York: Barnes and Noble Books.
Dark, K.R.
1995 Theoritical Archaeology. Ithaca: Cornell University Press.
Hodder, Ian
1986 Reading the Past: Current Approaches to Interpretation in Archaeology. Cambridge: Cambridge University Press.
Hodder, Ian
1995 Interpreting Archaeology. London and New York: Routledge.
Inajati Adrisijanti, dkk.
2000 The Development of Cultural Tourism Potential at the Pacitan-Wonogiri-Wonosari Region in order to Empower the Local Communities’ Economy through Enhancement of the Management of the University’s Tridharma. Laporan Kegiatan Semi-QUE. Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Johnson, Matthew
1999 Archaeological Theory. An Introduction. Oxford: Blackwell Publishers Ltd.
Lorden, Teresa M.
2002 “Archaeology for Cultural Empowerment”. Http://americanindian.ucr.edu/partnership/cultural-empowerment.html, tanggal 20-08-2004
Mundardjito
1999 “Archaeology: Empowerment and Ethics”, dalam: Wiendu Nuryanti (ed.). Heritage, Tourism, and Local Communities. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pranarka, A.M.W.
1996 “Globalisasi, Pemberdayaan dan Demokratisasi”, dalam: Onny S. Prijono dan A.M.W. Pranarka. Pemberdayaan. Konsep, Kebijakan, dan Implementasi. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.
Pranarka, A.M.W. dan Vidhyandika Moeljarto
1996 “Pemberdayaan (Empowerment)”, dalam: Onny S. Prijono dan A.M.W. Pranarka. Pemberdayaan. Konsep, Kebijakan, dan Implementasi. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.
Prasodjo, Tjahjono
2003 “Konflik Dalam Pemanfaatan Dan Pengelolaan Gua Arkeologis Di Kawasan Kars Gunungkidul”, Disampaikan dalam Sarasehan Pengembangan Peranserta Masyarakat dalam Pelestarian dan Pemanfaatan Gua-gua Bersejarah, pada tanggal 6-9 September 2003, di Ponjong Gunungkidul.
_______________
2000 “Pendekatan Partisipatoris dalam Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi dan Kemungkinan Penerapannya di Kawasan Arkeologis Gunungkidul”, Berkala Arkeologi Tahun XX Edidi No. 1/Mei 2000.
Renfrew, Colin and Paul Bahn
1991 Archaeology. Theories, Methods, and Practice. London: Thames and Hudson Ltd.
Robinson, Michael P.
1996 “Shampoo Archaeology: Towards a Participatory Action Research Approach in Civil Society”. The Canadian Journal of Native Studies XVI, 1(1996): 125-138.
Sutaba, I Made
2000 “Manfaat Arkeologi dalam Pemberdayaan Masyarakat pada Milinium Ketiga”, Seri Penerbitan Forum Arkeologi, No. II/November 2000.
Tanudirjo, Daud Aris
2000 “Reposisi Arkeologi dalam Era Global”. Buletin Cagar Budaya Vol. 1 No. 2. Juli 2000.
Trigger, Bruce G.
1989 A History of Archaeological Thought. Cambridge: Cambridge University Press.