Sabtu, 16 Juni 2012

Etika dan Praktek Arkeologi Abad 21

Apakah Masa Lalu Bersama Itu Mungkin? Etika dan Praktik Arkeologi Abad 21

oleh Jusman Mahmud pada 16 Juni 2012 pukul 16:27 ·
Saya mengamini bahwa kepemimpinan arkeologis  seharusnya didasarkan pada dialog antara kelompok-kelompok stakeholder. Sekarang ini, beberapa bentuk kolaborasi dan konsultasi telah diletakkan pada usaha-usaha untuk membahas persoalan-persoalan kepemimpinan seperti ini yang sifatnya jangka panjang, apakah itu konsultasi mengenai pengembangan rencana manajemen Stonehenge ataukah dialog-dialog yang melibatkan arkeolog, pemerintah, dan masyarakat pribumi di seluruh dunia (misalnya, Swidler et al. 1997). Saya juga meyakini bahwa banyak panduan dan prosedur telah dibahas untuk kolaborasi kepemimpinan seperti ini yang berhubungan dengan persoalan-persoalan yang lebih luas, termasuk kebutuhan untuk mengidentifikasi semua stakeholder potensial, menyediakan waktu untuk konsultasi, mengevaluasi beragam nilai-nilai budaya pada warisan budaya, dan menaksir implikasi-implikasi ekonominya (misalnya, de la Torre 1997).

Fokus saya di sini berhubungan dengan dasar etis yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kepemimpinan arkeologis secara bersama-sama. Artikel ini mempertanyakan aturan-aturan dasar untuk pembahasan-pembahasan tersebut. Karena pengalaman pribadi saya pada persoalan ini sebagian besar berasal dari pekerjaan saya sebagai seorang arkeolog di Timur Tengah, saya secara khusus ingin membahas aturan-aturan dasar yang dapat diterapkan ketika orang-orang yang terlibat berasal dari sisi-sisi yang berseberangan di area dan waktu perang, konflik, dan tergerusnya kepercayaan. Apa yang seharusnya menjadi titik berangkatnya? Haruskah kita menyetujui bahwa terdapat hak-hak warisan budaya yang bersifat universal? Apakah dengan kembali pada poin-poin kesepakatan universal tersebut, prinsip-prinsip moral dan etika universal tersebut, kita dapat membuat kemajuan? Atau apakah titik berangkat itu cukup dimulai dengan sebuah dialog? Jika memilih yang terakhir, apakah ada panduan-panduan yang mungkin membawa kita pada hasil yang produktif? Bagaimana dialog tersebut seharusnya dijalankan oleh pihak-pihak yang terlibat?


Etika Sebagai Prinsip Universal
.
Saya ingin memulainya dengan menguji gagasan yang mengatakan bahwa terdapat prinsip-prinsip etis universal sehubungan dengan warisan budaya. Untuk mencapai hal tersebut, saya telah mencarinya melalui gambaran tingkat perusakan warisan budaya di Irak pada tahun-tahun belakangan ini, seperti lensa jurnalis Joanne Farchakh melihatnya. Dia telah mempublikasikan dengan cara yang begitu efektif dan tepat kerusakan dan kerugian yang sangat buruk yang disebabkan oleh perang dan penjarahan di Irak selatan, di Nimrud, Nineveh, dan kuil-kuil Ur.

Saya normalnya menganggap diri saya relatif kebal terhadap emosi kehilangan benda-benda. Tampaknya terdapat begitu banyak penderitaan manusia di dunia ini yang tidak saya ingat sebelum saya melibatkan diri secara emosional pada persoalan kehilangan warisan budaya. Peristiwa-peristiwa seperti perusakan perpustakaan di Alexandria, perusakan budaya di Cina oleh Mao, atau perusakan kuil-kuil Budha Bamiyan selalu dipandang sebagai tindakan kriminal tetapi tidak sampai membuat kita menangisinya. Tentu saja saya juga menyadari betapa banyaknya penjarahan skala besar – seperti penggalian skala besar pada pemakaman-pemakaman di Pulau St. Lawrence untuk memperoleh gading yang akan dijual sebagai bagian dari “penjarahan untuk bertahan hidup” atau penggalian masif terhadap situs-situs Moche di Peru untuk menemukan keramik-keramik kuna yang harganya sangat tinggi di pasar.

Beberapa perusakan di Irak merupakan hasil langsung dari perang melalui pengeboman, penjarahan, dan penggunaan situs-situs sebagai basis-basis militer. Tetapi sekali lagi hal seperti ini sudah pernah terjadi, seperti pengeboman pusat-pusat budaya di Eropa pada Perang Dunia II dan perusakan Jembatan Mostar ketika berlangsungnya Konflik di Bosnia, untuk menyebutkan beberapa kasus.

Tetapi terdapat sesuatu dibalik skala besar penjarahan dan perusakan di Irak; atau apakah hanya karena saya mengetahui lebih banyak mengenai warisan budaya tersebut dan seiring dengan pengetahuan itu saya melihatnya sebagai muasal dari peradaban barat. Tapi saya ingin menggali apakah respon saya terhadap kehilangan dan perusakan seperti itu menyiratkan sebuah universalisme. Apakah kita akan bereaksi sama karena terdapat sesuatu yang menjijikkan secara moral pada perusakan seperti itu? Dapatkah kita katakan bahwa dalam pengertian yang universal “hal ini salah”? Dan dapatkah kita berkata sama pada semua kasus-kasus lainnya seperti yang telah disebutkan di atas?
Dasar dari asumsi mengenai sebuah kejijikan moral universal terletak pada usaha-usaha internasional untuk melindungi warisan budaya yang diabadikan dalam Perjanjian Venice dan dalam sejumlah pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh UNESCO dan ICOMOS, khususnya yang terkait dengan cara-cara memperlakukan warisan budaya selama masa perang. Apakah masa perang atau masa damai, banyak dari kita mengamini bahwa Situs-Situs Warisan Budaya Dunia harus dipelihara demi kepentingan humanitas. Kita menyetujui bahwa terdapat situs-situs yang memiliki signifikansi budaya yang bersifat universal. Dan kita menyetujui bahwa negara-negara harus diperingatkan jika mereka tidak mengambil langkah yang memadai untuk merekam dan melindungi warisan budaya mereka.

Jadi, tampaknya di sini terdapat beberapa gagasan tentang hak-hak universal pada warisan budaya, dan kita mengharapkan lembaga-lembaga nasional dan internasional melakukan upaya-upaya yang dapat mereka lakukan untuk melindungi hak-hak tersebut. Dalam konteks ini, kita dapat dengan mudah mengatakan bahwa perusakan warisan budaya adalah hal yang salah – sebuah kejahatan terhadap humanitas dan kita harus memberikan penilaian etis atau moral universal terhadap hal seperti itu. Jadi, ketika sekelompok stakeholder berkumpul untuk membahas sebuah program warisan budaya tertentu, mereka mungkin mempergunakan tatanan moral khusus ini sebagai bagian dari sebundel pernyataan-pernyataan universal yang dapat disertakan ke dalam praktik dan digunakan untuk menilai contoh-contoh pertikaian tertentu.

Tetapi seiring pengalaman menyaksikan penjarahan dan kehilangan warisan budaya di Irak, saya juga menemukan diri saya bergerak menuju penjelasan tentang penyebab terjadinya penjarahan tersebut. Mungkin, faktor utama adalah permintaan negara-negara maju terhadap barang-barang antik di seluruh dunia dan adanya pedagang perantara yang mencari keuntungan. Tetapi para pengamat juga harus melihat tingkat kelaparan dan kemiskinan serta kurangnya kesempatan kerja di Irak selatan, tempat banyak situs-situs penting terletak. Kebijakan-kebijakan rezim Saddam telah menyebabkan keruntuhan ekonomi melalui embargo dan zona tanpa penerbangan. Setelah tahun-tahun penyia-nyiaan tersebut, sangat mungkin sejumlah besar orang dapat memperoleh penghasilan yang kecil dengan mencari dan menjual prasasti-prasasti dan item-item lainnya kepada perantara yang membawa barang-barang tersebut ke pasar barang-barang antik global. Dalam konteks seperti itu, yang disertai kurang kuatnya hukum dan keamanan, tampaknya sulit bagi penduduk lokal tersebut untuk menolak sumber penghasilan seperti itu. Bukanlah hal yang mengherankan mereka menjarah situs-situs tersebut ketika mereka harus memberi makan kepada anak-anak mereka. Dengan pilihan yang kira-kira sama, apakah saya tidak akan melakukan hal yang serupa? Saya ingat merasakan hal yang sama terhadap para penjarah makam di Pulau St. Lawrence guna bertahan hidup. Dengan kurangnya alternatif, dapatkan seseorang menolaknya demi kelangsungan kehidupannya?

Pada kasus Irak, telah dinyatakan bahwa mereka yang melakukan pencurian menerima penghasilan yang kecil ketika menukarkan objek-objek yang mereka jarah dan bahwa tidak mungkin memperoleh pendapatan yang tetap dari penjarahan seperti itu. Mengikuti skenario seperti ini, penjahat utamanya adalah para perantara dan pembeli dan kurangnya keamanan dan penjagaan yang efektif. Saya tidak tahu apakah tepat berbicara “penjarahan untuk bertahan hidup” pada kasus Irak ini, tetapi saya setuju bahwa pada kasus-kasus lainnya, seperti kasus Pulau St. Lawrence, istilah seperti itu tepat. Pada kasus ini, tampaknya moralitas mendukung masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka melalui penggalian dan penjualan warisan budaya, jika hal tersebut yang ingin mereka lakukan.

Jadi di sini, kita tampaknya memiliki sebuah hak asasi universal alternatif – bahwa masyarakat seharusnya diijinkan membuat keputusan sendiri terhadap masa lalu mereka. Secara keseluruhan kita menyetujuinya, dan hal ini terdapat pada banyak pernyataan UNESCO, bahwa setiap negara memiliki hak untuk berhubungan dengan masa lalu mereka. Tetapi belakangan ini, hak tersebut telah diperluas hingga ke kelompok-kelompok bukan negara. Kelompok-kelompok masyarakat lokal di seluruh dunia telah menggunakan masa lalu mereka sebagai bagian dari politik identitas (Kane 2003). Begitulah kemudian kelompok-kelompok Penduduk Asli Amerika dibawah NAGPRA berhak untuk disertakan dalam pengambilan keputusan tentang hal-hal yang harus dilakukan pada masa lalu mereka; atau Burra Charter mengabadikan gagasan bahwa kita harus mendengarkan suara-suara dan pemaknaan-pemaknaan lokal dalam memutuskan cara-cara mengelola masa lalu mereka (Australia ICOMOS 1981).

Jadi, dua jenis hak-hak asasi manusia tersebut (universal dan lokal) tampaknya saling bertentangan satu sama lainnya. Pertanyaan saya adalah “apakah ada hak-hak asasi warisan budaya universal?” Pandangan saya sendiri adalah bahwa hak-hak seperti itu sebaiknya dibahas sebagai bagian dari proses global historis yang spesifik. Usaha apa pun yang dilakukan untuk menciptakan hak-hak universal yang absolut harus berhubungan dengan fakta-fakta pada setiap kasus, dan usaha seperti ini dapat digunakan pada kepentingan-kepentingan aliansi-aliansi global yang mendominasi. Universalisme apa pun itu, ia harus sensitif pada kebutuhan-kebutuhan lokal. Segala bentuk perhatian yang sifatnya universal, yang menyerahkan masa lalu pada kepentingan-kepentingan nasional atau lokal atau diasporik, menolak potensi penyalahgunaan kepentingan pribadi dan menolak dunia kita yang saling terhubung.

Jadi, bahkan meskipun kita setuju bahwa terdapat hak-hak warisan budaya universal yang dapat diidentifikasi sebagai titik berangkat, sekarang ini beberapa dari hak-hak utama tersebut tampaknya saling bertentangan. Hak-hak universal untuk sebuah warisan budaya umum bertentangan dengan hak universal kelompok-kelompok untuk mengontrol akses dan membuat keputusan tentang masa lalunya. Bahkan meskipun hak-hak universal itu ada, kita masih harus menuntaskan kontradiksi-kontradiksinya, menyelesaikkannya secara spesifik dan pragmatis. Jadi, apakah hak-hak universal itu ada atau tidak, kita masih harus menemukan sebuah cara untuk menghubungkannya dengan hak-hak warisan budaya dalam konteks-konteks yang spesifik. Pengertian etika universal di sini tidak membantu. Pada kenyataannya, pengertian seperti itu akan berbahaya ketika dijadikan titik berangkat untuk sebuah pembahasan yang sifatnya kolaboratif. Akan ada sebuah kecurigaan bahwa salah satu hak atau hak lainnya digunakan oleh satu pihak atau pihak lainnya untuk mencapai tujuan-tujuan mereka (Byme 1991). Dapat dikatakan bahwa klaim-klaim universal mengenai nilai warisan budaya untuk segala yang bersifat humanitas pada kenyataannya merupakan sebuah cara untuk melayani kepentingan-kepentingan aliansi global yang dominan. Atau dapat diraba bahwa hak-hak kelompok-kelompok lokal untuk mengklaim masa lalu mereka merupakan bagian dari politik identitas kepentingan diri. Sepertinya kita memerlukan sebuah model berbeda tentang cara-cara memulai dialog mengenai pengelolaan warisan budaya.


Duduk Bersama di Sebuah Meja

Di mana seharunya beban otoritas moral diletakkan – pada sisi sebuah masa lalu umum atau pada sisi hak-hak yang terpisah? Apakah ini sebuah pertanyaan tentang hak-hak universal yang harus dihormati, dan jika demikian, hak-hak universal mana yang seharusnya mendominasi? Atau apakah lebih pada pertanyaan tentang implementasinya yang dilakukan secara pragmatis dan kolektif? Bagi saya, posisi apa pun yang berusaha menempatkan moral pada landasan yang tinggi tidak dapat dipertahankan lagi. Penyebabnya adalah karena “kebenaran politis” yang bersifat etis akan segera memperlihatkan wajahnya sebagai bagian dari kepentingan kelompok-kelompok tertentu dan karena terdapat banyak sekali kontradiksi dalam penerapan prinsip-prinsip universal. Segala persoalannya harus diselesaikan pada bagian dasarnya.

Jadi, alih-alih mendasarkan pembahasan tentang cara-cara mengelola warisan budaya pada dasar hak-hak asasi manusia universal, saya lebih suka versi demokrasi deliberatif. Saya mengambil versi ini dari Seyla Benhabib (2002), tetapi penekanannya pada prinsip-prinsip universal. Tentu saja segala bentuk dialog berlangsung dalam bingkai kerja normatif yang disepakati. Tetapi untuk alasan-alasan yang telah diketahui di atas, saya melihat bingkai kerja seperti itu tidak terletak pada universalisme dalam pengertian yang absolut, tetapi dalam pengertian pengalaman “praktik terbaik” yang bersifat global.

Saya akan menginterpretasikan demokrasi deliberatif sebagai hal yang tidak didasarkan pada usaha-usaha menciptakan esensi yang bersifat universal tentang “hak-hak asasi manusia.” Tetapi pada seperangkat pertimbangan-pertimbangan yang berada pada tataran lokal dan global. Yang global diperlukan karena kita hidup dalam sebuah dunia yang global, diasporik, dan saling terhubung. Suka atau tidak, kita semua terhubung dan saling bergantung satu sama lainnya, jadi kita turut andil dalam segala sesuatu yang terjadi. Yang global juga dibutuhkan dalam sebuah harapan yang mungkin sia-sia bahwa dalam sebuah kerjasama yang lebih besar akan ada kebijaksanaan yang menyeimbangkan sifat fanatik dan sempit dari yang lokal; tetapi yang lokal juga dibutuhkan sebagai penjaga untuk menangkal upaya-upaya menguniversalkan klaim-klaim kelompok-kelompok dominan dan kepentingan-kepentingan pribadi.

Apa pun bentuk gagasan demokrasi deliberatif, gagasan seperti itu mengasumsikan bahwa, setidaknya untuk sementara dan sebagian, orang-orang datang ke sebuah meja dan berbicara dalam kapasitas yang setara. Gagasan ini menggunakan gagasan Habermas tentang “ideal speech communities.” Jadi di sini, kita kembali berurusan dengan apa yang secara mencurigakan terlihat seperti sebuah prinsip etis universal – bahwa para stakeholder yang ada di meja memiliki suara yang setara. Sepertinya, hal ini diperlukan sebagai upaya untuk menciptakan kemungkinan berlangsungnya dialog dan memperjelas bagian dasarnya sehingga kecurigaan dan luka lama dapat disertakan ke dalam meja, setidaknya untuk sementara. Jadi, kita mungkin dapat mengatakan bahwa semua suara setara. Atau dapatkah kita katakan bahwa beberapa suara memiliki bobot yang lebih berat? Yang terakhir ini mungkin dapat dibenarkan dengan beberapa pertimbangan mendasar, misalnya memberikan bobot yang lebih berat pada pemilik lahan tempat situs terletak atau pada agen-agen pemerintah yang dipercayakan untuk memelihara kelangsungan situs tersebut. Atau pandangan yang berbeda dapat diambil dan mengatakan bahwa kelompok-kelompok di dalam meja yang paling menderita secara historislah yang memiliki bobot khusus untuk pengambilan keputusan (sebagai contoh, kelompok-kelompok masyarakat pribumi yang telah menderita selama periode kolonial atau penindasan lainnya). Jadi, prinsip etis universal yang saling bertentangan kembali muncul – bahwa suara dan bobot yang lebih berat harus diberikan kepada rekan-rekan yang lebih lemah dalam sebuah dialog dan bahwa restitusi seharusnya berasal dari keluhan mereka.

Jadi, sekali lagi usaha-usaha memulai dialog yang didasarkan pada prinsip-prinsip universal tampaknya akan menemui jalan buntu jika tidak dikaitkan dengan pokok-pokok pengalaman historis kelompok-kelompok yang ikut berpartisipasi. Bagi Benhabib, masih ada kode-kode etis umum yang dapat digunakan sebagai titik berangkat pembahasan dalam sebuah meja  – prinsip-prinsip yang harus didengarkan para stakeholder dan menghormati pandangan-pandangan mereka. Agaknya, jika masyarakat telah datang untuk duduk bersama di sebuah meja, maka harapan-harapan mereka seringkali masuk akal. Mungkin dapat disusun panduan-panduan untuk “praktik terbaik” dalam dialog kolaboratif tentang warisan budaya dengan dasar dua prinsip sederhana itu – yaitu mendengarkan dan menghormati. Namun demikian, pada kasus-kasus konflik ekstrem, seperti barbarisme dan kematian, ketika pihak-pihak yang ada di dalamnya tidak merasakan apa pun selain rasa sakit dan kemarahan, bahkan harapan-harapan seperti itu tampaknya terlalu tinggi.
Dari semua itu, dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip etis seharusnya menjadi bagian dari segala jenis pembahasan tentang kepemimpinan pengelolaan warisan budaya, karena persoalan-persoalan etis seringkali menunjukkan kekuatannya dalam melindungi masyarakat, khususnya masyarakat yang dirugikan dan mudah mengalami tekanan-tekanan, atau melindungi masyarakat dari kepentingan-kepentingan khusus atau dari tindakan-tindakan individual yang mengikis kebaikan publik. Jika perihal etis memang memiliki nilai yang memadai, maka perihal ini harus selalu disesuaikan dengan sejarah dan perbedaan-perbedaan dan ketegangan-ketegangan sosial tertentu yang telah muncul. Perihal etis harus selalu digunakan untuk menilai sejarah-sejarah yang salah, rangkaian penyalahgunaannya, marginalisasinya, dan pengabaiannya. Ia harus disesuaikan dengan pemahaman-pemahaman budaya tertentu yang di dalamnya orang-orang membentuk aspirasi mereka, semata untuk dibatasi dari kepentingan-kepentingan yang lain. Jadi, gagasan bahwa yang etis harus menjadi bagian dari segala bentuk dialog kolaboratif menempatkan persoalan-persoalan warisan budaya di dalam sebuah fokus hak-hak asasi dan sensitifitas yang lebih luas. Dengan prinsip-prinsip etis, perhatian diarahkan menuju bagasi historis dan sosial yang lebih besar yang dibawa masyarakat untuk duduk bersama dalam satu meja. Bahkan jika panduan-panduan etis harus disusun dengan cara menghubungkan prinsip-prinsip umum dengan situasi-situasi spesifik, prosesnya akan tetap membawa kita pada pembahasan tentang hak dan keadilan. Perihal etis memiliki sebuah nilai yang merupakan bagian dari proses pembentukannya, bukan obat mujarab bersifat universal yang dapat dilepaskan dari dasarnya dan diterapkan di semua kondisi, tetapi sebuah perihal penting yang harus selalu dipertimbangkan di setiap tahap proses kolaborasi dan dialog.


Konteks yang Tidak Terdapat di Meja

Di banyak bagian dunia, membangun “ideal speech communities” di dalam meja tampaknya merupakan hal yang naif, dan dalam gagasan Benhabib tentang demokrasi deliberatif, efek kekuatan-kekuatan yang berbeda memainkan peran yang terlalu kecil. Di dunia yang nyata, selalu ada perbedaan-perbedaan kekuatan, dan hal tersebut berpengaruh pada diskusi dan dialog terbuka. Meskipun kita dapat mengembangkan aturan-aturan tertentu tentang hal-hal yang akan dilangsungkan di meja, orang-orang yang duduk bersama di meja tersebut tidak mungkin dapat berpartisipasi secara memadai dan etis kecuali persoalan-persoalan di luar meja dibahas. Kita dapat mengupayakan dan mencapai beberapa situasi “ideal speech” yang di dalamnya, mengikuti Habermas, terdapat beberapa derajat kesamaan. Tetapi menyatakan hal seperti ini sama halnya menolak perbedaan-perbedaan nyata diantara para peserta – yang pasti berhubungan dengan persoalan-persoalan di luar meja.

Pertama, para peserta perlu mengambil sebuah posisi, dan hal ini seringkali berarti mereka harus ditempatkan pada sebuah posisi yang memungkinkan mereka memperoleh keuntungan ekonomi. Penting untuk membicarakan cara-cara yang dapat atau telah mengeluarkan kelompok-kelompok marginal dari komunitas yang memperoleh keuntungan ekonomi dari situs-situs warisan budaya, seperti pada kasus negara mengontrol akses, uang hasil pembelian tiket, pelayanan untuk turis dan sejenisnya. Masyarakat mungkin akan menjadi stakeholder yang lebih efektif apabila mereka merasakan manfaat ekonomi dari situs-situs warisan budaya.

Di Çatalhöyük, komunitas-komunitas lokal sering menunjukkan minat yang kecil terhadap situs tersebut, dan mereka tidak merasakan manfaat ekonomi dari situs tersebut di masa lalu. Kami telah berusaha mengarahkan persoalan ini dengan cara mendorong investasi lokal dalam bentuk pendirian sebuah bangunan perbelanjaan, memfasilitasi perbaikan jalan, berkontribusi pada sistem penyediaan air baru, dan mendorong pemerintah lokal berinvestasi pada sebuah sekolah desa. Kami mempekerjakan orang-orang yang berasal dari kota dan desa-desa di sekitar situs tersebut dan merencanakan membangun sebuah museum yang lebih besar di kotanya. Kami juga telah mencoba mengembangkan “brand” Çatalhöyük dan mengupayakan kerjasama untuk produksi kilim (karpet), distribusi, dan penjualannya. Meskipun usaha yang terakhir tidak terlalu berhasil sejauh ini, terdapat banyak situs dan daerah di dunia di mana produksi barang-barang kerajinan tangan yang dihubungkan dengan situs telah mendatangkan manfaat ekonomi.

Pejabat-pejabat daerah dan lokal seringkali gesit menangkap gagasan tentang manfaat ekonomi ini. Mereka mengharapkan sumber keuntungan ekonomi; mereka lebih memilih model Museum Guggenheim di Bilbao, Spain. Penting untuk tidak menyemangati terlalu berlebihan harapan-harapan mereka apabila tidak realistis; perlu ditekankan bahwa sebagian besar proyek-proyek warisan budaya tidak mendatangkan wisatawan dalam jumlah besar dan tidak menghasilkan ledakan ekonomi yang besar. Tetapi pelibatan dalam perencanaan untuk manfaat ekonomi yang realistis merupakan sebuah dasar yang penting bagi partisipasi stakeholder. Keuntungan ekonomi potensial atau yang ril memberikan sebuah tempat yang lebih menjamin dan pengaruh yang lebih besar bagi para stakeholder yang datang untuk duduk bersama di sebuah meja ketika pengambilan keputusan dilakukan.

Aspek penting lainnya adalah pendidikan. Seringkali terdapat perbedaan-perbedaan yang besar pada tingkatan pengetahuan dan pendidikan dari orang-orang yang duduk bersama di meja. Ahli arkeologi dapat membicarakan warisan budaya dan manajemennya dengan otoritas yang besar, tetapi komunitas lokal kadang-kadang hanya mengetahui sedikit dan kurang mampu mengekspresikan kebutuhan-kebutuhannya. Penting bagi semua orang di meja mampu memahami persoalan-persoalannya dan menjelaskan mengapa solusi-solusi warisan budaya tertentu lebih baik.
Di Çatalhöyük, kurangnya minat dan keterlibatan pada awalnya disebabkan oleh tidak memadainya pendidikan yang diperoleh sebagian besar komunitas lokal. Banyak dari mereka yang tidak dapat menulis, dan hanya sedikit yang mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan masa lalu non-Islam. Kami telah mencoba menuntaskan persoalan ini dengan pelbagai cara. Seperti pada banyak proyek-proyek asing di Timur Tengah, kami telah menyediakan beasiswa untuk pelajar (pada kasus kami, kadang dari wilayah lokal) untuk memperoleh pelatihan bahasa, arkeologi, dan konservasi di universitas-universitas besar di Turki atau, yang lebih umum lagi, luar negeri. Di bawah skema pendanaan Temper UE, sejumlah besar materi-materi pendidikan telah dipersiapkan untuk sekolah dasar dan menengah di Turki dan wilayah lokalnya. Dan setiap tahun, sekitar 600 anak masing-masingnya menghabiskan satu hari untuk belajar tentang arkeologi dan warisan budaya di situs tersebut (Doughty dan Hodder 2007). Di desa lokal, kami telah menyediakan slide show dan telah menjelaskan rencana kami tentang situs tersebut ke semua desa yang terdapat di sekitar situs tersebut serta memperoleh umpan balik mereka.

Partisipasi, pengetahuan, dan pendidikan dapat didorong dengan cara melibatkan masyarakat pada semua aspek penelitian dan proses pengelolaan situs. Namun tidak cukup hanya dengan mengatakan seperti ini: penelitian-penelitian ilmiah arkeologis terus dilakukan seperti biasanya, dan baru setelah itu para arkeolog mengkomunikasikan hasil-hasil dan interpretasinya kepada pelbagai kelompok stakeholder. Hal seperti ini akan menciptakan jarak, memisahkan, tidak melibatkan, tidak memberikan keuntungan, dan tidak memberikan peran yang memadai pada kelompok-kelompok stakeholder tersebut. Sebaliknya, kelompok-kelompok tersebut harus dilibatkan pada semua tahap. Sekarang ini, jenis integrasi seperti ini telah menjadi hal umum di banyak proyek arkeologis. Metode yang telah kami upayakan di Çatalhöyük adalah bagian dari metode-metode refleksif. Anggota-anggota pelbagai komunitas dilibatkan dalam proses pasca ekskavasi di laboratorium, dan tim-tim ekskavasi yang berbeda melibatkan anggota-anggota komunitas lokal dengan cara-cara yang berbeda. Salah satu penduduk desa yang telah lama menjadi penjaga situs menulis buku tentang proyek tersebut yang telah dipublikasikan oleh Left Coast Press (Dural 2007), dan suara-suara komunitas lokal disertakan dalam terbitan-terbitan utama proyek tersebut. Di Timur Tengah, sudah terlalu lama suara-suara para pekerja lokal tidak didengarkan.

Pengembangan penting lainnya yang perlu diperjelas di meja adalah kepercayaan. Mereka yang ada di dalam meja harus mempercayai hal-hal yang dikatakan peserta lainnya. Membangun kepercayaan seperti ini harus dilakukan dengan cara membuktikan bahwa segala hal yang telah dikatakan di meja betul-betul dilaksanakan. Di daerah-daerah seperti Timur Tengah, tantangan utama untuk demokrasi deliberatif adalah bagaimana melahirkan kepercayaan dan kerjasama dalam sebuah konteks tergesurnya kepercayaan dan berlangsungnya konflik. Persoalannya terletak pada cara-cara untuk fokus pada sikap menghormati martabat pihak lain ketika pemisahan dan penghancuran karakter mendominasi semua aspek kehidupan sehari-hari. Dalam situasi-situasi pasca konflik, terdapat beberapa kasus yang proses rekonsiliasinya dapat dikatakan luar biasa. Proses rekonsiliasi di Ruanda dan Pengadilan Kepercayaan dan Rekonsiliasi (Truth and Reconciliation Courts) di Afrika Selatan merupakan usaha-usaha yang sangat hebat karena terfokus pada penghormatan dan pemaafan setelah mengalami periode dominasi, genosida, perang dan kematian. Proyek-proyek yang sama telah dijalankan di Israel (seperti proyek TEMPER – Doughty dan Hodder 2007). Saya telah menekankan dalam diskusi-diskusi saya dengan anggota proyek Wye River tentang betapa pentingnya persoalan kepercayaan. Kelompok arkeolog dan ahli warisan budaya Palestina dan Israel telah dilibatkan beberapa kali dalam proyek-proyek kolaborasi (Scham dan Yahya 2003). Para peserta sering mengatakan bahwa proyek ini berhasil karena mereka merasa dapat mempercayai para peserta dari sisi yang berseberangan. Kepercayaan seperti ini selalu dibangung sepanjang waktu dan melalui kegiatan-kegiatan dan keakraban.

Hasil yang diperoleh pada kasus Wye River sangat impresif. Alih-alih menyetujui menyingkirkan masa lalu Ottoman dan yang bernuansa Islam dalam landskapnya, mereka fokus pada materi yang telah lama ditolak – bangunan-bangunan Kristiani dan Ottoman. Mereka bekerja dengan Otoritas Purbakala Israel dalam mengedepankan bangunan-bangunan Old Akko yang memiliki fondasi yang dibangun oleh Para Pejuang Perang Salib dari sisi Kristiani (Crusader) dan superstruktur Ottoman. Mereka melibatkan komunitas-komunitas lokal pada projek-projek tersebut serta menciptakan dan mendukung pusat-pusat komunitas. Proyek-proyek orang Palestina pada situs-situs Biblical bertujuan untuk menjadikan masa lalu dipandang secara inklusif, bukannya eksklusif.

Pada titik inilah kekuatan konsep tentang sebuah masa lalu bersama terletak – bukan dari hak-hak asasi umum manusia atau dari sebuah hak universal terhadap sebuah masa lalu yang umum – tetapi dari sebuah pengakuan bahwa sejarah-sejarah yang spesifik saling terjalin dengan cara-cara yang kompleks, bahwa sejarah itu tumpang tindih, berlapis-lapis, kompleks, cair, tercampur, saling bergantung, lekas berlalu, dan tidak permanen sifatnya. Alih-alih identitas-identitas yang tetap dan batas-batas perbedaan yang tak tertembus, kita memiliki sebuah proses dialog dan konstruksi perbedaan yang saling bergantung. Dalam pengakuan proses yang kompleks inilah gagasan tentang sebuah masa lalu bersama memiliki bentuknya yang paling efektif.

Cara selanjutnya untuk membuat poin yang sama adalah dengan fokus pada pelapisan. Klaim-klaim hegemonik terhadap warisan budaya seringkali menghapus fase-fase, peristiwa-peristiwa, atau sejarah-sejarah yang tidak mendukung kepentingan-kepentingan mereka. Lapisan-lapisan yang kompleks ini, pada mana masa kini dibagun, dilupakan atau ditolak. Tetapi pelapisan dan stratigrafi merupakan komponen arkeologi yang penting. Seperti ketika kita melakukan penggalian, kita menemukan lapisan-lapisan yang terlupakan dan yang dapat merekonstruksi pelapisannya, yang pada pelapisan tersebut dunia kontemporer dan kekuasaan masa kini dibangun. Dalam cara-cara ini, kemapanan diri masa kini, sifat esensialnya, dipersoalkan dan celah-celahnya dibongkar untuk sebuah dialog yang lebih terbuka.

Sekali lagi, kekuatan yang jelas terlihat pada kasus Wye River adalah usaha untuk mengingat pelapisan seperti, seperti yang terjadi juga pada kasus Mesjid Dahar al-Omar, yang juga disebut Al-Mu’aleq, yang diteliti oleh Hanan Halabi Abu Yusef. Di sini, sebuah bangunan peninggalan para Pejuang Perang Salib (bernuansa Kristiani) yang sebelumnya digunakan sebagai sebuah sinagog, dan kemudian menjadi masjid, dikonstruksi kembali. Pembukaan kembali masjid ini setelah perang dengan demikian memiliki nilai penting yang besar, khususnya jika layer-layer yang beragam dari bangunan tersebut dapat diberikan penekanan.

Kesimpulan: Mengambil Posisi

Saya telah mengatakan di sini bahwa meskipun kita perlu membahas prinsip-prinsip etis tentang warisan budaya dan kepemimpinannya, nilai diskusi seperti ini dalam keabsolutan universal prinsip-prinsipnya tidak terlalu signifikan. Nilai ini menjadi lebih signifikan ketika digunakan dalam kebutuhan untuk terus mempertimbangkan hal-hal yang salah dan benar yang telah terbentuk secara historis dalam kombinasi lokal dan global yang spesifik. Ketika dilakukan diskusi-diskusi kolaboratif, pendekatan ganda seperti ini diperlukan untuk persoalan etis dan sosial. Yang pertama fokus pada prosedur-prosedur yang digunakan di dalam meja. Tetapi yang kedua, sebuah respon etis yang memadai, juga perlu membahas konteks yang lebih luas yang tidak terdapat di dalam meja sehingga para pesertanya memiliki kekuatan dalam proses pengelolaan warisan budaya.

Terakhir, penting untuk menekankan bahwa arkeolog perlu mengambil posisi dalam proses ini. Tidak cukup dengan mengatakan bahwa arkeolog merupakan mediator yang relatif tidak memiliki kekuatan yang tugasnya hanya mengupayakan agar pada stakeholder berkumpul untuk duduk bersama. Tidak mungkin menjadi netral dalam prosesnya. Para arkeolog harus memberikan pengaruhnya sebagai ahli yang profesional, dan mereka harus mengakui bahwa tindakan-tindakan mereka sebagai ahli memiliki efek pada dunia, yang mana mereka turut bertanggung jawab dalam proses pembentukannya. Menyatakan diri netral secara ilmiah dan etis berarti melepaskan tanggung jawab terhadap efek-efek yang akan terjadi dengan keterlibatan suatu pihak dalam sebuah warisan budaya publik. Mengambil jalan etis dalam arkeologi berarti membuat pilihan-pilihan personal dan profesional.

Saya ingin memberikan ilustrasi tentang poin ini dengan memberi contoh dari pengalaman saya di Çatalhöyük. Sebagai contoh, politisi-politisi lokal yang nasionalis dan menganut paham Islam tradisional telah mencoba mengkalim hubungan etnis antara masyarakat di Çatalhöyük 9.000 tahun yang lalu dan masyarakat sekarang ini. Dengan menimbang hal etis dari soalan ini, saya menemukan bahwa saya harus mengambil posisi dan mengatakan bahwa bukti arkeologis tidak mendukung pandangan yang mengandung rasisme. Jadi, dalam diskusi-diskusi kolaboratif kami, saya telah menggunakan keahlian profesional dan ilmiah saya untuk mengambil sebuah posisi tertentu karena saya pikir hal tersebut benar, baik secara ilmiah maupun secara etis. Seperti contoh lainnya, dalam konteks Islam tradisional lokal, saya telah diminta oleh para pemuka desa laki-laki di komunitas lokal tersebut untuk tidak mempekerjakan dan membayar perempuan dan tidak diragukan lagi bahwa bekerja telah menguatkan dan merubah kehidupan beberapa orang perempuan di desa. Saya merasa, sebagai anggota dari dunia yang saling terhubung, harus menggunakan posisi saya untuk berkontribusi pada perubahan kehidupan perempuan yang ada di desa tersebut. Hal yang sama juga terjadi ketika pemerintah Turki meminta saya untuk mencegah kelompok-kelompok beragama Hindu-Budha (Goddess) mengunjungi situs tersebut dengan alasan bahwa mereka mungkin akan merusak situs dan berdampak negatif pada komunitas-komunitas lokal. Saya berpikir bahwa dalam dunia global, adalah hal yang salah ketika kita berusaha mencegah kunjungan-kunjungan seperti itu selama tidak ada perusakan terhadap situs dan selama dialog dengan komunitas-komunitas lokal dapat dipelihara. Terakhir, persoalan-persoalan etis yang dimunculkan oleh sponsor. Sekali lagi, saya berdiskusi dengan anggota tim untuk memutuskan kriteria etis dalam menerima sponsor. Seringkali saya menemui diskusi-diskusi yang sulit dan yang berujung saya harus mengambil posisi – bertentangan dengan sponsor-sponsor tertentu, membuat jelas pada yang lainnya bahwa sponsor tidak boleh memiliki pengaruh tak pantas terhadap proses ilmiah dan sosial arkeologi.

Segala jenis intervensi seperti itu berbahaya, dan kita tidak bisa memastikan efeknya. Tetapi saya merasa bahwa kita semua telah terhubung pada skala global. Seberbahaya apa pun intervensi-intervensi tersebut, kita sudah turut campur dan lebih baik mendiskusikan, berdialog dan berpartisipasi dari sebuah posisi sosial dan etis yang spesifik ketimbang mengklaim objektifitas ilmiah atau universalisme moral yang tidak berdampak pada kehidupan masyarakat.

Diterjemahkan oleh Jusman Mahmud dari artikel Ian Hodder Is a Shared Past Possible? The Ethics and Practice of Archaeology in the Twenty-First Century dalam buku New Perspectives in Global Publik Archaeology

sumber: http://www.facebook.com/notes/jusman-mahmud/apakah-masa-lalu-bersama-itu-mungkin-etika-dan-praktik-arkeologi-abad-21/10150947742287707?ref=notif&notif_t=note_tag 

Jumat, 15 Juni 2012

Pemberdayaan masyarakat

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ARKEOLOGI

Oleh:
TJAHJONO PRASODJO

(Makalah ini merupakan updating dari artikel penulis: “Arkeologi dan Pemberdayaan Masyarakat Lokal”, dalam Buletin Cagar Budaya No.2. inpress)
 [Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada]
Disampaikan dalam:
PELATIHAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ARKEOLOGI TINGKAT DASAR
ASISTEN DEPUTI URUSAN ARKEOLOGI NASIONAL
DEPUTI BIDANG SEJARAH DAN PURBAKALA
KEMENTERIAN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
Trowulan, Mojokerto © 2004

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT dalam
PENGELOLAAN SUMBERDAYA ARKEOLOGI1
Tjahjono Prasodjo
[Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada]
Pada tahun 1969 buku Grahame Clark yang berjudul “Archaeology and Society” telah diterbitkan. Buku ini berisi kupasan mengenai analisis data arkeologi untuk mengungkapkan kehidupan kemasyarakatan masa lampau. Sejak dasawarsa 1960-an memang banyak dilakukan penelitian-penelitian tentang rekonstruksi masyarakat masa lampau yang lebih menekankan pada proses-proses budaya yang terjadi pada komunitas-komunitas masa lampau. Hal ini tentu saja sejalan dengan kepopuleran aliran pemikiran arkeologi yang berkembang pada masa itu, yaitu arkeologi prosesual atau disebut juga new archaeology.
Namun, penelitian terhadap keterkaitan arkeologi dengan masyarakat kontemporer tidak banyak dilakukan. Seolah-olah arkeologi merupakan sebuah ilmu eksklusif yang berada di sebuah menara gading, sehingga terdapat jarak atau jurang yang lebar di antara arkeologi dengan kehidupan masyarakat masa kini. Demikian pula para ahli arkeologi pun tidak menaruh perhatian terhadap masyarakat sekitarnya, tidak ada kepedulian terhadap seberapa jauh sebenarnya manfaat ilmu yang digelutinya bagi masyarakat di sekitarnya.
Makalah ini akan mencoba melihat seberapa jauh sebenarnya tanggung jawab kita sebagai arkeolog terhadap kehidupan masyarakat lokal di sekitar situs arkeologis. Apakah kita berhak atau bahkan wajib ikut memberdayakan kelompok komunitas di lokasi sebuah situs arkeologis berada? Dalam aspek apa saja kita dapat ikut serta memberdayakan masyarakat lokal? Dan bagaimanakah caranya atau strateginya?
PERUBAHAN PARADIGMA:
Dari “site-oriented” menuju “community-oriented”
Dalam dua dekade terakhir ini telah banyak terjadi pergeseran pemikiran dalam arkeologi. Pergeseran tersebut terjadi pada tataran teoritis, yang disebabkan oleh adanya pengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung, perubahan yang terjadi di segala bidang ilmu lain dan munculnya aliran pemikiran baru. Seperti misalnya saja munculnya aliran pemikiran pasca modernisme (post modernism) yang walaupun pengaruhnya dirasakan secara tidak langsung, tetapi membawa dampak terhadap perkembangan pemikiran arkeologi (Johnson 1999). Sejak dua puluh tahun terakhir ini terus bermunculan berbagai macam (aliran pemikiran dalam) arkeologi, seperti arkeologi jender, arkeologi feminisme, arkeologi intrepretif, arkeologi kontekstual, arkeologi pasca struktural, dan sebagainya (Hodder 1986; Johnson 1999; Hodder 1995; Trigger 1987; Dark 1995).
Di samping pergeseran pemikiran teoritis yang terjadi dalam arkeologi yang diakibatkan oleh pengaruh aliran pemikiran di luar disiplin arkeologi, terdapat pula perubahan peran dan kedudukan arkeologi yang diakibatkan oleh kondisi dan situasi non-akademis yang terjadi di dunia. Tanudirjo (2000) mengemukakan bahwa sudah saatnya arkeologi melakukan reposisi dirinya dalam memenuhi tuntutan era global yang terjadi saat ini, yaitu dari posisi sebagai legislator menjadi mediator. Peran sebagai mediator tentunya akan membawa perubahan dan pembaharuan yang cukup mendasar bagi bidang arkeologi di Indonesia, seperti yang dikatakannya:
“Mendudukkan arkeologi Indonesia sebagai mediator berarti akan mengikis arogansi sementara pihak dan membongkar sekat-sekat kelembagaan yang seringkali menjerat langkah maju. Posisi arkeologi yang baru akan membawa serta kesadaran tentang perlunya saling keterbukaan, kesetaraan, menghargai keragaman, dan kesanggupan untuk mendengar suara lain (the other)”.
Namun, tuntutan semacam itu nampaknya saat ini memang perlu dikembangkan lebih jauh lagi, yaitu dengan penekanan lebih lanjut terhadap peranserta masyarakat lokal dalam bidang arkeologi di Indonesia. Sudah saatnya arkeologi di Indonesia mulai memikirkan kontribusinya bagi kehidupan masyarakat, terutama dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat lokal.
Masyarakat lokal sebagai pemukim yang bertempat tinggal di sekitar situs memiliki potensi sosial, budaya, politik, maupun ekonomis yang dapat dikembangkan sehingga akan menumbuhkan ketergantungan yang saling menguntungkan antara situs dan masyarakat sekitar. Ketergantungan tersebut menunjukkan adanya relasi atau hubungan timbal balik yang saling menguntungkan di antara kedua belah pihak, yaitu situs arkeologis dan masyarakat lokal. Pertama, masyarakat lokal akan diuntungkan dengan adanya pemanfaatan situs arkeologis, misalnya saja situs arkeologis sebagai objek pariwisata akan mendatangkan pendapat tambahan (atau bahkan pendapatan utama) bagi masyarakat lokal. Kedua, dengan tumbuhnya pemberdayaan dalam bidang sosial, budaya, politik, dan ekonomi masyarakat lokal diharapkan akan muncul rasa memiliki terhadap situs arkeologis. Dampak positif tumbuhnya rasa memiliki semacam itu adalah kehadiran kesadaran untuk “melindungi” dan “menjaga” situs arkeologis. Apabila masyarakat sudah dapat bertindak sebagai “pelindung” dan “penjaga” situs atau benda cagar budaya, maka hal tersebut merupakan bentuk upaya perlindungan dan pelestarian benda cagar budaya yang paling efektif dan efisien (Prasodjo 2003).
Untuk menciptakan hubungan yang saling menguntungkan semacam itu perlu diciptakan dan dilakukan upaya-upaya ke arah terbentuknya kondisi yang kondusif bagi kedua belah pihak. Inisiatif bagi penciptaan kondisi tersebut haruslah mulai dilakukan oleh para arkeolog sendiri yang lebih memiliki potensi sebagai, paling tidak, fasilitator bagi pembentukan upaya-upaya ke arah kondisi tersebut.
Bagi para arkeolog sendiri untuk melaksanakan niat tersebut perlu lebih dahulu dibangun kesadaran bahwa masyarakat lokal memiliki peran dan kedudukan yang penting bagi pelestarian benda cagar budaya. Kesadaran itu menumbuhkan pengertian bahwa masyarakat lokal tidak dapat diabaikan dari segala kegiatan arkeologi, terutama yang berkaitan dengan keberadaan dan keberlangsungan benda cagar budaya. Misalnya, penelitian arkeologis sebagai salah satu sektor kegiatan arkeologi haruslah sudah mulai menaruh perhatian dan melibatkan masyarakat lokal dalam kegiatan penelitiannya. Selama ini terkesan bahwa kegiatan penelitian arkeologis merupakan bagian yang sama sekali tidak memiliki keterkaitan dengan keberadaan masyarakat lokal di lokasi penelitian. Para arkeolog peneliti beranggapan bahwa tugas mereka hanyalah meneliti dan menganalisis data arkeolog (yang biasanya berupa benda mati), sehingga merasa tidak perlu menaruh perhatian pada masyarakat di sekitar situs. Anggapan semacam ini perlu segera ditinggalkan oleh para peneliti karena sangat berbahaya dan dapat menjadi bumerang bagi keberadaan arkeologi di Indonesia. Arkeologi akan menjadi sangat tidak berarti apabila ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya.
Di samping itu, pada saat ini mulai muncul kecenderungan untuk lebih memperhatikan kebermaknaan sosial (social significance) situs bagi masyarakat sekitarnya daripada hanya semata mata berkutat pada masalah konservasi situsnya saja. Pandangan ini memunculkan persepsi dan sikap yang berbeda terhadap posisi sumberdaya arkeologi dalam pengelolaannya, dibandingkan persepsi dan sikap yang dimiliki oleh para pelestari sumberdaya arkeologi yang terdahulu. Fokus pelestarian sumberdaya arkeologi bukan lagi pada upaya konservasi fisik situs (sumberdaya arkeologi) tetapi juga harus memperhatikan bagaimana masyarakat sekitar memaknai situs tersebut dan kebermaknaan sosial situs tersebut terhadap masyarakat di sekitarnya (Byrne t.t.)
Oleh karena itu, nampaknya perlu dikembangkan pendekatan alternatif terhadap pengembangan kegiatan arkeologi di Indonesia. Pendekatan baru tersebut adalah pendekatan yang lebih bersifat community-oriented, sebuah pendekatan yang lebih peduli terhadap keberadaan masyarakat lokal, bahkan masyarakat lokal dijadikan salah satu pusat pertimbangan utama dalam segala kegiatan dan pengambilan keputusan dalam bidang arkeologi. Sudah saatnya kita meninggalkan dan membuang konsep atau pendekatan yang hanya bersifat site-oriented semata-mata karena pendekatan semacam ini sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan kondisi dan situasi masa kini.
Pendekatan yang berorientasi pada komunitas atau masyarakat (community-oriented) dalam aplikasinya dapat diwujudkan melalui dua cara, yaitu dengan pendekatan partisipatori dan pemberdayaan masyarakat. Pendekatan partisipatoris merupakan sebuah pendekatan yang selalu melibatkan masyarakat dalam setiap langkah kerja yang dilaksanakan. Pendekatan semacam ini sudah berhasil dilakukan dalam bidang pertanian, kehutanan, antropologi, dan beberapa bidang ilmu yang lain (Chambers 1996), sedangkan penerapannya dalam bidang arkeologi belum banyak dilaksanakan (Prasodjo 2000). Pendekatan partisipatoris dalam arkeologi mempunyai potensi pengembangan yang cukup besar dan menarik, terutama keuntungan yang akan didapatkan dari penerapan partisipatoris dalam arkeologi, yaitu kegiatan arkeologis akan “dibantu” dan didukung oleh masyarakat dengan keterlibatannya dalam arkeologi dan akhirnya juga akan membuahkan hasil kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat sendiri. Cara yang kedua, yaitu pemberdayaan masyarakat, merupakan upaya membangun landasan sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang kuat bagi masyarakat di sekitar situs arkeologis melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan atau dikaitkan dengan kegiatan arkeologi.
MUNGKINKAH ARKEOLOGI/ARKEOLOG MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT LOKAL?
Konsep pemberdayaan (empowerment) muncul kira-kira berbarengan dengan tumbuhnya aliran pemikiran pasca modernisme (post-modernism) pada sekitar dua puluh tahun yang lalu (Pranarka dan Moeljarto 1996). Gagasan dasar dari konsep ini bermula dari permasalahan power (kekuatan) yang menurut penganut gagasan ini harus diberikan kepada setiap orang atau dengan kata lain setiap orang berhak atas power. Namun, disadari bahwa sebagian masyarakat ada yang sulit memilikinya karena kondisi yang tidak memungkinkannya. Oleh karena itu harus ada upaya oleh orang lain untuk memberikan power tersebut kepada masyarakat yang powerless. Tindakan memampukan masyarakat yang berada dalam kondisi yang tidak berdaya disebut dengan empowerment. Konsep permberdayaan (empowerment) oleh Pranarka dan Moeljarto didefinisikan sebagai “upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional, maupun dalam bidang politik, ekonomi, dan lain-lain”.Tentu saja konsep dasar seperti tersebut di atas masih sangat luas atau bahkan terlalu umum (Pranarka dan Moeljarto 1996).
Dalam prakteknya perhatian pemberdayaan masyarakat menitik beratkan pada adanya kenyataan bahwa individu maupun masyarakat dapat dihadang oleh hambatan dan kendala dalam proses pengaktualisasian keberadaannya. Oleh karena itu perlu dilaksanakan usaha-usaha baik oleh masyarakat sendiri atau melalui bantuan orang lain sebagai fasilitator untuk menghilangkan hambatan dan kendala tersebut. Cara yang ditempuh adalah dengan menciptakan dan membangun kondisi yang kondusif bagi tumbuhnya keberdayaan masyarakat, baik dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi (Pranarka 1996). Pemberdayaan dalam bidang sosial banyak dilaksanakan dengan kegiatan-kegiatan penyadaran tentang potensi-potensi yang dimiliki oleh kelompok masyarakat, sehingga pada akhirnya masyarakat mempunyai kekuatan untuk memperoleh akses sosial (misalnya kesempatan untuk membangun organisasi sosial) dalam upaya menggapai kesejahteraan bagi masyarakat. Dalam bidang politik, pemberdayaan lebih menaruh perhatian pada upaya memampukan masyarakat dalam menegakkan demokrasi, sehingga hak-hak mereka sebagai warganegara akan dapat terpenuhi. Pemberdayaan dalam bidang ekonomi merupakan upaya pemberdayaan yang paling banyak dilaksanakan karena kegiatan ini yang secara langsung berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan primer manusia. Pemberdayaan ekonomis dimaksudkan agar masyarakat dapat memiliki akses terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ekonomis untuk mencari nafkah.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah arkeologi/arkeolog dapat mengaplikasikan konsep pemberdayaan (empowerment) masyarakat lokal dalam kegiatan kerjanya, sehingga masyarakat di sekitar situs dapat berdaya secara sosial, politik, dan ekonomi? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, sebaiknya perlu dipahami lebih dahulu tentang tujuan arkeologi.
Pada awalnya tujuan arkeologi adalah mempelajari masa lampau manusia, terutama berusaha untuk merekonstruksi masa lampau manusia. Dengan kata lain, arkeolog berusaha untuk menciptakan kembali gambaran budaya materi masa lalu. Pada masa selanjutnya, tujuan seperti tersebut di atas diperluas lagi menjadi “rekonstruksi cara hidup manusia di masa lampau”. Dengan demikian, studi arkeologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana manusia purba hidup mengeksploitasi dan berinteraksi dengan lingkungan, mengapa mereka menjalani cara hidup seperti itu, dan masih banyak pertanyaan lain yang berkaitan eksplanasi proses perubahan budaya masa lampau (Renfrew dan Bahn 1991). Namun, pada masa kini ketika aliran pemikiran arkeologi pasca prosesual (post-processual archaeologies) berkembang dalam arkeologi, tujuan arkeologi menjadi sangat bervariasi tergantung pada aliran pemikiran yang dianutnya (Dark 1995).
Dalam aliran pemikiran arkeologi pasca prosesual terdapat beberapa cabang pemikiran yang mempercayai bahwa arkeologi dalam prakteknya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-budaya lingkungannya. Di samping itu, sebaliknya interpretasi arkeologi dipergunakan untuk mempengaruhi kondisi sosial budaya, seperti misalnya interpretasi arkeologi dimanipulasikan (dalam arti negatif maupun positif) untuk membangun citra sebuah etnis. Lebih jauh lagi, Shanks and Tilley bahkan berpendapat bahwa arkeologi mempunyai tujuan yang bersifat politis: “Archaeology, as cultural practice, is always a politics, always a morality” (Shanks and Tilley seperti yang dikutip dalam Johnson 1999). Berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, sampai saat ini belum muncul gagasan konseptual yang menjelaskan kemungkinan aplikasi pemberdayaan masyarakat lokal oleh kalangan arkeologi.
BEBERAPA CONTOH PEMBERDAYAAN MASYARAKAT OLEH ARKEOLOGI
Walaupun gagasan konseptual yang berasal dari kalangan arkeologi dalam pemberdayaan masyarakat belum dirumuskan, tetapi embrio bagi upaya pemberdayaan telah ada. Beberapa contoh yang diberikan Renfrew dan Bahn (1991) mengenai applied archaeology sebenarnya merupakan bentuk lain dari konsep pemberdayaan masyarakat lokal. Salah satu contohnya adalah proyek yang dikerjakan oleh Clark Erickson (seorang arkeolog Amerika) dan Ignacio Garaycochea di Danau Titicaca di Peru dan Bolivia yang berusaha memperkenalkan kembali sistem pertanian kuno pada masyarakat lokal. Proyek ini cukup berhasil meningkatkan hasil pertanian masyarakat setempat, dibandingkan penggunaan sistem pertanian modern yang dipakai sebelumnya. Contoh yang lain adalah Cusichaca Project yang dipimpin oleh Ann Kendall yang mengaplikasikan arkeologi bagi penggunaan kembali sistem kanal kuno di Patallacta, Peru (Renfrew dan Bahn 1991). Kedua proyek di atas memperlihatkan contoh upaya arkeologi/arkeolog dalam memberdayakan masyarakat lokal di sekitar situs dalam bidang ekonomi, terutama peningkatan hasil pertanian melalui pengenalan sistem pertanian kuno. Contoh pemberdayaan masyarakat dalam bidang kultural telah dilakukan oleh kalangan arkeologi Amerika pada masyarakat native american (indian) (antara lain: Lorden 2002).
Di Indonesia, seperti telah dikemukakan di depan, belum banyak kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh para arkeolog. Salah satu contoh yang dapat dikatakan mewakili usaha pemberdayaan masyarakat sekitar situs adalah pembinaan usaha ekonomi masyarakat di sekitar Candi Borobudur, terutama memberdayakan mereka agar dapat ikut mengambil keuntungan ekonomis dari kegiatan pariwisata Candi Borobudur (Mundardjito 1999).
Pada dasarnya pemberdayaan masyarakat lokal sekitar situs arkeologis yang dapat dilakukan oleh arkeologi/arkeolog dapat diwujudkan dalam tiga aspek pemberdayaan, yaitu pemberdayaan sosial-budaya, politik, dan ekonomi, seperti juga yang telah dilakukan oleh disiplin ilmu lain. Pemberdayaan sosial-budaya masyarakat lokal dicapai dengan memberdayakan kemampuan masyarakat untuk mengenali jati dirinya melalui temuan dan interpretasi data arkeolgois yang dikerjakan oleh para arkeolog. Misalnya saja melalui diseminasi penelitian arkeologi kepada masyarakat lokal sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban para peneliti yang telah meneliti wilayah dan benda warisan budaya mereka. Dengan informasi yang didapatkan dari interpretasi arkeologis masyarakat dapat mengenal dirinya sendiri dalam bidang sosial-budaya, seperti revitalisasi budaya dan tradisi lama, dan yang selanjutnya dapat dipergunakan dorongan moral bagi pengaktualisasian eksistensinya (Sutaba 2000). Pemberdayaan politik menekankan perhatiannya pada usaha untuk memampukan masyarakat dalam peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan kebijakan politis yang berkaitan dengan kepentingan kelangsungan hidup komunitas yang bersangkutan. Misalnya dengan temuan arkeologis mengenai sejarah politis etnis atau kelompok masyarakat dapat dipakai sebagai alat kampanye untuk menunjukkan posisi penting kelompok tersebut dalam konstelasi politik di tingkat yang lebih tinggi. Pemberdayaan dalam bidang ekonomis merupakan pemberdayaan yang secara langsung paling cepat dirasakan hasilnya oleh masyarakat lokal di sekitar situs. Kedua usaha pemberdayaan ekonomi-pertanian di Amerika Selatan yang telah dikemukakan sebelumnya adalah contoh yang tepat tentang pemberdayaan ekonomis oleh para arkeolog.
Pemberdayaan perajin batu mulia di Desa Sekar, Donorojo, Pacitan: sebuah contoh faktual pemberdayaan masyarakat oleh kalangan arkeologi.
Pada tahun 2000 yang lalu Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada melaksanakan kegiatan Program Semi-QUE di Pacitan, Jawa Timur. Program tersebut yang berjudul: “Pengembangan Potensi Wisata Budaya di Kawasan Pacitan-Wonogiri-Wonosari dalam Rangka Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Setempat melalui Peningkatan Manajemen Tridharma Perguruan Tinggi” melibatkan staf pengajar Jurusan Arkeologi FS-UGM, mahasiswa, tenaga profesional, instansi terkait, dan masyarakat lokal. Keseluruhan program ini terdiri dari empat kegiatan (projek) hulu-hilir yang saling terkait dan berkesinambungan, yaitu Projek A: pelatihan penelitian lapangan untuk mahasiswa; Projek B: penelitian arkeologis berupa penelusuran dan interpretasi terhadap sumber daya arkeologis di kawasan Pacitan; Projek C: penelitian dan perencanaan strategi manajemen sumber daya arkeologis di kawasan Pacitan, terutama dalam upaya peningkatan wisata budaya kawasan tersebut; dan Projek D: pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengembangan industri pariwisata yang diwujudkan dalam bentuk workshop peningkatan kualitas hasil produksi perajin batu mulia di Desa Sekar, Kecamatan Donorojo, Pacitan (Inajati Adrisijanti, dkk. 2000).
Pelaksanaan program projek D melibatkan dua puluh perajin yang berasal dari desa Sekar. Desa Sekar merupakan salah satu sentra kerajinan batu mulai di kecamatan Donorojo, Pacitan yang juga merupakan salah satu kawasan arkeologis di kabupaten Pacitan yang memiliki temuan arkeologis mulai dari masa paleolitik sampai neolitik. Kerajinan batu mulia dari kecamatan Donorojo merupakan produk (wisata) andalan kabupaten Pacitan. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka tim projek D bekerjasama dengan instansi terkait dan kelompok profesional di kabupaten Pacitan melaksanakan pemberdayaan masyarakat di desa Sekar tersebut.
Dalam workshop tersebut tim arkeologi FS-UGM memberikan materi pelatihan berupa sosialisasi informasi penelitian dan temuan arkeologis yang sudah dilaksanakan oleh projek B dan C di wilayah Donorojo, pengenalan teknologi pembuatan alat batu dari masa prasejarah, pembekalan materi pengelolaan dan pelestarian sumber daya arkeologis, dan kunjungan ke Museum Punung. Pemberian materi-materi tersebut di atas ternyata sangat membantu memberdayakan perajin batu mulia desa Sekar dalam hal memacu semangat produktivitas yang benar dan tepat. Para perajin akhirnya menyadari bahwa nenek moyang mereka pada masa lampau telah menekuni kerajinan batu, seperti yang dibuktikan dengan temuan alat batu di wilayah mereka sendiri. Kesadaran akan adanya “warisan” ketrampilan kerajinan batu dari nenek moyang memacu motivasi para perajin untuk terus bertekun dalam produksi kerajinan batu mulia disertai dengan keinginan untuk terus meningkatkan kualitas hasil kerajinannya. Di samping itu, perajin juga disadarkan pada kewajiban untuk melindungi dan melestarikan tinggalan budaya arkeologis yang berada daerah mereka sendiri, seperti menghindari penggunaan temuan arkeologis sebagai bahan dasar pembuatan kerajinan batu (Ibid.).
Untuk meningkatkan kualitas produksi dan pemasaran kerajinan batu mulia, maka diberikan pula pelatihan dalam bidang teknik produksi (seleksi bahan, desain, dan diversifikasi produk) dan strategi pemasaran (pemasaran kerajinan batu dalam industri pariwisata dan pemberdayaan kelembagaan perajin). Beberapa hasil yang dapat dilihat segera setelah pelatihan selesai dalam meningkatnya ketrampilan perajin batu dalam memproduksi kerajinan batu mulia, seperti diversifikasi bentuk produk kerajinan yang berupa replika alat-alat batu masa prasejarah dan produk-produk batu mulia lain yang diminati oleh pasar (Ibid.).
Pada akhir kegiatan workshop para perajin merasa bahwa kegiatan ini sangat bermanfaat bagi mereka sehingga diharapkan akan sangat membantu mereka dalam memberdayakan ekonomi mereka. Dari sudut pandang arkeologi, kegiatan workshop ini menyadarkan kalangan arkeologi bahwa sebenarnya para arkeolog melakukan sesuatu hal yang berguna dan bermanfaat bagi masyarakat lokal secara langsung. Sudah saatnya kegiatan arkeologi tidak hanya dibatasi pada penelitian yang bersifat arkeologis murni, tetapi mengembangkan bentuk-bentuk kegiatan yang lebih bermanfaat bagi masyarakat di sekelilingnya.
Berdasarkan pengalaman yang telah diperoleh dengan kegiatan pemberdayaan perajin batu mulia di desa Sekar bahwa kegiatan tersebut secara faktual sangat bermanfaat bagi masyarakat di sekitar situs arkeologis dan berdasarkan pertimbangan bahwa dampak krisis ekonomi di Indonesia sangat dirasakan oleh sebagian masyarakat, maka sudah sewajarnya kegiatan pemberdayaan masyarakat lokal perlu terus dikerjakan. Perajin batu mulia desa Sekar bukan lah satu-satunya masyarakat lokal yang memerlukan pemberdayaan, masih terdapat banyak kelompok masyarakat di sekitar situs-situs arkeologis di Indonesia yang membutuhkan fasilitasi semacam itu. Demikian pula aspek pemberdayaan tidak lah harus dari sektor ekonomis semata, dapat juga dilakukan pemberdayaan dalam bidang sosial-budaya dan politik.
STRATEGI DAN PROSPEK DI MASA MENDATANG
Pada dasarnya pemberdayaan masyarakat lokal sekitar situs arkeologis yang dapat dilakukan oleh arkeologi/arkeolog dapat diwujudkan dalam tiga aspek pemberdayaan, yaitu: (1) pemberdayaan sosial-budaya; (2) pemberdayaan politik, dan (3) pemberdayaan ekonomi, seperti juga yang telah dilakukan oleh disiplin ilmu lain. Pemberdayaan sosial-budaya masyarakat lokal dicapai dengan memberdayakan kemampuan masyarakat untuk mengenali jati dirinya melalui temuan dan interpretasi data arkeolgois yang dikerjakan oleh para arkeolog. Misalnya saja melalui diseminasi penelitian arkeologi kepada masyarakat lokal sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban para peneliti yang telah meneliti wilayah dan benda warisan budaya mereka. Dengan informasi yang didapatkan dari interpretasi arkeologis masyarakat dapat mengenal dirinya sendiri dalam bidang sosial-budaya, seperti revitalisasi budaya dan tradisi lama, dan yang selanjutnya dapat dipergunakan dorongan moral bagi pengaktualisasian eksistensinya (Sutaba 2000). Pemberdayaan politik menekankan perhatiannya pada usaha untuk memampukan masyarakat dalam peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan kebijakan politis yang berkaitan dengan kepentingan kelangsungan hidup komunitas yang bersangkutan. Misalnya dengan temuan arkeologis mengenai sejarah politis etnis atau kelompok masyarakat dapat dipakai sebagai alat kampanye untuk menunjukkan posisi penting kelompok tersebut dalam konstelasi politik di tingkat yang lebih tinggi. Pemberdayaan dalam bidang ekonomis merupakan pemberdayaan yang secara langsung paling cepat dirasakan hasilnya oleh masyarakat lokal di sekitar situs. Kedua usaha pemberdayaan ekonomi-pertanian di Amerika Selatan yang telah dikemukakan sebelumnya adalah contoh yang tepat tentang pemberdayaan ekonomis oleh para arkeolog.
Strategi atau pendekatan yang akan dan dapat digunakan dalam pemberdayaan masyarakat melalui arkeologi di masa mendatang diperkirakan terfokus pada peningkatan kemampuan dan keterlibatan masyarakat sendiri. Para arkeolog hanya akan berfungsi sebatas fasilitator saja. Tiga pendekatan yang cenderung akan dipergunakan di masa mendatang adalah:
1. Community Organizing
Istilah ini cukup populer akhir-akhir ini di kalangan pemberdaya masyarakat lokal. Gerakan community organizing merupakan pembaharuan atas gerakan yang mendahuluinya yaitu community development. Community organizing lebih ditujukan pada penguatan masyarakat dalam mengorganisasikan dirinya dalam upaya pemberdayaannya.
2. Pendekatan Partisipatori
Penelitian dan pemberdayaan masyarakat yang berbasis partisipatori selalu mengedepankan ketrlibatan masyarakat dalam kegiatannya. Dalam pendekatan partisipatori ini dikenal adanya pendekatan PRA (Participatory Rural Appraisal) dan PAR (Participatory Action Research). PRA merupakan pendekatan dalam memahami keadaan suatu masyarakat oleh masyarakat itu sendiri. Dengan demikian masyarakat dilibatkan dalam keseluruhan kegiatan penelitian karena diyakini bahwa masyarakat itu sendiri lah yag lebih mengetahui keadaannya (Chamber 1986; Prasodjo 2000). Dalam PAR, pelibatan masyarakat jauh lebih dalam lagi; masyarakat terlibat dipandang mempunyai kedudukan sejajar dengan para peneliti atau bahkan meneliti masyarakatnya sendiri (Canave-Anung 1996). Canave-Anung dalam tulisannya yang lain (1994: 4) menyatakan tentang PAR :
“The basic premise of PAR is that oppressed and disadvantaged persons can empower themselves by examining their own situations, developing an understanding of political, economic, social (and environmental) determinants of these situations, researching alternative scenarios, taking action that grows out of their own culture and values, and thus adding to the knowledge base for the enhancement of the quality of life.”
Pendekatan PAR dalam arkeologi ini pernah ditawarkan untuk dicoba di Canada (Robinson 1996). Di Indonesia, penerapan PAR nampaknya belum pernah dilakukan dan kemungkinan akan menjumpai beberapa kendala untuk penerapannya.
3. Pendekatan multidisiplin
Pemberdayaan masyarakat memiliki aspek multidimensional, sehingga untuk melakukannya perlu didekati dengan multidisipliner agar upaya pemberdayaan tersebut dapat tercapai secara utuh dan efektif. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat melalui arkeologi pun harus didukung oleh disiplin ilmu yang lain, seperti antara lain geografi, antropologi, sosiologi, dan ekonomi.
Hambatan yang akan dihadapi dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat oleh kalangan arkeologi berada pada keterbatasan dana yang ada. Penyediaan dana pemerintah yang berkaitan dengan kegiatan arkeologi di Indonesia semakin berkurang. Oleh karena dana rutin yang disediakan untuk penelitian dan perlindungan sumber daya arkeologis saja tidak mencukupi, maka tentu saja hampir tidak tersedia dana yang dapat dipergunakan untuk pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat yang oleh beberapa kalangan arkeologi mungkin dianggap bukan menjadi tugas dan wewenangnya. Namun, hal ini dapat diatasi dengan melakukan kerjasama dengan mitra kerja yang memiliki dana atau mencari penyandang dana di luar sektor pemerintahan.
Akhirnya, hal yang justru paling penting harus dilakukan terlebih dahulu adalah penumbuhan kesadaran di kalangan arkeologi bahwa sudah menjadi “kewajiban” bagi kalangan arkeologi untuk menaruh kepedulian terhadap masyarakat lokal di sekitar situs arkeologi. Keperdulian itu diwujudkan dengan melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat lokal. Keberdayaan kelompok masyarakat di sekitar situs arkeologis secara sosial-budaya, politik, dan ekonomi justru menjadi pondasi yang kokoh bagi upaya perlindungan dan pelestarian tinggalan arkeologis di kawasan itu.

REFERENSI
Byrne, Denis, Helen Brayshaw, Tracy Ireland.
t.t. Social Significance. A Discussion Paper. NSW National Parks & Wildlife Service, Research Unit, Cultural Heritage Devision.
Canave-Anung, Luz
1994 “Participatory Action Research: A Celebration of People’s Knowledge for Social Change”, dalam: Jim Freedman (ed.). Development from Within. Essays on Organizing Communities for Self-Sufficiency. Institute of Primary Health Care Davao Medical School Foundation.
________________
1996 Training Package on Community Organizing-Participatory Action Reseach. Mindanao Training Resources Center - Institute of Primary Health Care Davao Medical School Foundation.
Chambers, Robert
1996 PRA Participatory Rural Appraisal, Memahami Desa Secara Partisipasi. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Clark, Grahame
1969 Archaeology and Society. New York: Barnes and Noble Books.
Dark, K.R.
1995 Theoritical Archaeology. Ithaca: Cornell University Press.
Hodder, Ian
1986 Reading the Past: Current Approaches to Interpretation in Archaeology. Cambridge: Cambridge University Press.
Hodder, Ian
1995 Interpreting Archaeology. London and New York: Routledge.
Inajati Adrisijanti, dkk.
2000 The Development of Cultural Tourism Potential at the Pacitan-Wonogiri-Wonosari Region in order to Empower the Local Communities’ Economy through Enhancement of the Management of the University’s Tridharma. Laporan Kegiatan Semi-QUE. Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Johnson, Matthew
1999 Archaeological Theory. An Introduction. Oxford: Blackwell Publishers Ltd.
Lorden, Teresa M.
2002 “Archaeology for Cultural Empowerment”. Http://americanindian.ucr.edu/partnership/cultural-empowerment.html, tanggal 20-08-2004
Mundardjito
1999 “Archaeology: Empowerment and Ethics”, dalam: Wiendu Nuryanti (ed.). Heritage, Tourism, and Local Communities. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pranarka, A.M.W.
1996 “Globalisasi, Pemberdayaan dan Demokratisasi”, dalam: Onny S. Prijono dan A.M.W. Pranarka. Pemberdayaan. Konsep, Kebijakan, dan Implementasi. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.
Pranarka, A.M.W. dan Vidhyandika Moeljarto
1996 “Pemberdayaan (Empowerment)”, dalam: Onny S. Prijono dan A.M.W. Pranarka. Pemberdayaan. Konsep, Kebijakan, dan Implementasi. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.
Prasodjo, Tjahjono
2003 “Konflik Dalam Pemanfaatan Dan Pengelolaan Gua Arkeologis Di Kawasan Kars Gunungkidul”, Disampaikan dalam Sarasehan Pengembangan Peranserta Masyarakat dalam Pelestarian dan Pemanfaatan Gua-gua Bersejarah, pada tanggal 6-9 September 2003, di Ponjong Gunungkidul.
_______________
2000 “Pendekatan Partisipatoris dalam Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi dan Kemungkinan Penerapannya di Kawasan Arkeologis Gunungkidul”, Berkala Arkeologi Tahun XX Edidi No. 1/Mei 2000.
Renfrew, Colin and Paul Bahn
1991 Archaeology. Theories, Methods, and Practice. London: Thames and Hudson Ltd.
Robinson, Michael P.
1996 “Shampoo Archaeology: Towards a Participatory Action Research Approach in Civil Society”. The Canadian Journal of Native Studies XVI, 1(1996): 125-138.
Sutaba, I Made
2000 “Manfaat Arkeologi dalam Pemberdayaan Masyarakat pada Milinium Ketiga”, Seri Penerbitan Forum Arkeologi, No. II/November 2000.
Tanudirjo, Daud Aris
2000 “Reposisi Arkeologi dalam Era Global”. Buletin Cagar Budaya Vol. 1 No. 2. Juli 2000.
Trigger, Bruce G.
1989 A History of Archaeological Thought. Cambridge: Cambridge University Press.

Rabu, 13 Juni 2012

Doing Archaeology Publicly

Doing Archaeology Publicly:
The Bayshore Homes Project, Florida
Robert J. Austin*
What is Public Archaeology and Why Should
We Do It?
It can be argued that all archaeology is public archaeology
and that public archaeology therefore has always been
with us. The term itself was introduced initially by Charles
McGimsey (1972) to refer to (primarily) public funding
and support for archaeological research and preservation
legislation. Since then the term has come to encompass a
much wider array of definitions and goals. Just a brief review
of the public archaeology literature reveals the variety
of meanings that have come to be attached to the term:
sharing of archaeological findings; engaging the public;
promoting stewardship; making archaeology relevant; increasing
public awareness; archaeology in service to the
present; sharing control of resources and knowledge; heritage
tourism; the commoditization of the past; and the
empowerment of disenfranchised peoples (e.g., Bense,
1990; Colwell-Chanthaphonh and Ferguson, 2008; Hoffman
et al., 2002; Layton,1994; Lipe, 2002; Little, 2002,
2009; Moshenska, 2009; Rowan and Baram, 2004; Slick,
2002; see also http://archaeologyincommunity.com/ and
http://www.flpublicarchaeology.org/).
For me, the simplest definition is the best: public archaeology
is archaeology for all (Flatman, 2009:51). By
making archaeology accessible to non-archaeologists and
allowing the public to participate in a hands-on experience,
we break down the barrier of elitism that tends to
separate professional archaeologists from the public
whose support we covet. By interacting with the public
outside of lecture halls, classrooms, and museums, we demythologize
the profession and make the past relevant.
This paper summarizes an archaeological excavation and
research project that I and several of my colleagues have
been conducting for over a decade in an environment
where interaction with the public is not a choice, but a
necessity: the front and back yards of a residential subdivision
on the Gulf coast of Florida. Involving the residents as
partners in the process of discovery about the neighborhood’s
ancient past has been an essential component of
the project since its inception, and it has reaped rewards
that have benefited the residents as well as archaeologists.
Archaeology in the Public Eye: Bayshore Homes
1879-1999
The Bayshore Homes site is a large precolumbian (ca. A.D.
250-1250) mound and midden complex located in the
Parque Narváez subdivision and an adjacent public park
on Boca Ciega Bay in Pinellas County, Florida (Figure 1).
Because it is near the intersection of two major roads in
one of Florida’s most densely populated counties (Figure
2), the Bayshore Homes site has been in the public eye for
over a century. The site was visited by archaeologists in
the late nineteenth and early twentieth centuries (Bushnell,
1926; Moore, 1900; Wainright, 1916; Walker, 1880a,
b), was well known to early residents (Fuller, 1972:21-22),
and was occasionally the subject of outlandish newspaper
articles (St. Petersburg Times, August 13, 1914)1. Its accessibility
also made it an easy target for looters, and both
Walker and Moore noted evidence of previous digging
when they visited the site in 1879 and 1900, respectively.
Looting continued right through the 1950s when construction
of the subdivision began.
This construction was the impetus for the only major
professional excavation at Bayshore Homes prior to 1999.
A local developer and historian, Walter Fuller, who knew
that the site was going to be developed, contacted William
Sears at the Florida State Museum and put him in
touch with Richard Key, whose company, Bayshore Homes
Development, was the origin for the site’s official name.
Key gave Sears permission to excavate at the site while development
was going on around him (Sears, 1960). Sears
dug mostly in the large burial mound, Mound B, where he
uncovered over 100 burials, most of which were part of
a single mass interment. He also dug a 10-x-10 foot test
unit in the large shell midden that borders Boca Ciega Bay.
Present Pasts Vol. 3, 2011, 35-41 doi: 10.5334/pp.39
* Southeastern Archaeological Research, Inc.
The Bayshore Homes site is a precolumbian mound and midden complex located in the Parque
Narváez neighborhood of Pinellas County, Florida. Over the past decade, archaeological excavation
and research have been conducted in a very public environment: the front and back yards of
the subdivision’s residents. Involving the residents as partners in the process of discovery about
the neighborhood’s ancient past has been an essential component of the project since its inception.
This paper discusses the results of such involvement, from the use of volunteers to educating
residents about the importance of preserving the neighborhood’s Native American heritage.
Austin: Doing Archaeology Publicly 36
The site also contained a large platform mound (Mound A)
and a smaller burial mound (Mound C). Sears did no excavation
in these mounds, but he was shown pottery sherds
by local collectors who had dug in Mound C, and when
Key was clearing the area his bulldozers leveled a portion
of the mound exposing burials and more pottery. Mound
C continued to be dug into by collectors until eventually
the property was completely developed.
Sears spent two seasons excavating Mound B. The excavation
received a lot of publicity in the local press
and visitors to the site were common, particularly as the
neighborhood grew up around the mound. Before he
started excavating Sears attempted to convince Key to sell
the property containing Mound B to the County in order
to preserve it (St. Petersburg Times, December 19, 1955;
March 30, 1956). Although Key was amenable to the idea,
the County chose not to pursue the land purchase (St. Petersburg
Times, April 3, 1956). Sears also discussed with
Key the possibility of creating a museum with a covered
walk-in exhibit so that visitors to the site could view the
mound’s contents (Sears to Key, January 6, 1958). This
idea also failed to materialize. After Sears’s work was completed
in 1958, no professional archaeology took place at
Bayshore Homes until 1999.
The Bayshore Homes Project, 1999-2010
As is often the case in the public’s imagination, most
neighborhood residents thought there was nothing left of
any importance since the site had been excavated “by the
state.” In reality, Sears excavated only a small fraction of the
site and although the Parque Narváez2 subdivision covered
much of the archaeological site, large portions remained
undisturbed in the yards of the local residents (Figure 3). I
and my colleagues began work at the site in 1999 and over
the past 11 years we have done an extensive survey of the
entire subdivision as well as the neighboring public park.
The survey not only expanded the boundaries of the site
substantially, it identified a number of intrasite features of
which Sears was unaware. We have also conducted test excavations,
obtained a dozen radiocarbon dates, and refined
the site’s chronology, as well as gathering subsistence and
environmental data from the shell midden. The results of
this work have been presented at several conferences (e.g.,
Austin and Mitchem 2008; Austin et al. 2007) as well as in
a summary report (Austin et al., 2008) which is available
for downloading (http://www.cgcas.org/bayshore/). Here
I want to focus on how we involved the Parque Narváez
neighborhood in our project, how they have reacted to our
work, and how we overcame wariness about our motives
and the issue of private property rights.
Fig. 1: Bayshore Homes archaeological site in Pinellas County, Florida, USA.
Austin: Doing Archaeology Publicly 37
There are 112 individual home owners in the Parque
Narváez subdivision and gaining access to these private
properties was essential to our goal of better understanding
the site. We were fortunate in this regard because we
were able to enlist several local residents to intervene on
our behalf. A member of the Central Gulf Coast Archaeological
Society (CGCAS), an organization with which I
worked closely and which provided much of the volunteer
labor for this project, introduced me to the owners of a
large shell mound that lies just south of Sears’s midden
test. A meeting was arranged and I discussed what I had
in mind and reassured them that our work would not destroy
their yard.
I also assured them that any artifacts that we recovered
would be returned to them after we completed our
analysis. In Florida there is no law that vests ownership
of artifacts with the state if they are recovered from private
property; archaeological sites and their contents are
the property of the landowner. We felt it was important
to gain landowner trust by informing them of their legal
right to keep any artifacts from their property. We made
this agreement with every homeowner on whose property
we excavated. We did suggest that they donate their
artifacts to a local museum, the Weedon Island Preserve
Cultural and Natural History Center. Most homeowners
willingly donated the artifacts; only a few asked to have
them returned. In my opinion, it was a fair tradeoff for
being allowed to excavate on their property.
We also contacted another well known neighborhood
resident whose home is situated on an elevated part of the
midden and who was responsible for erecting several signs
promoting the neighborhood’s prehistory, including one
in his front yard. He and the owners of the shell mound
signed a letter introducing us to the neighborhood which
was hand delivered to all 112 households along with a
form that requested permission to dig shovel tests in their
yards, indicated whether the land owners wanted to be
home when we were excavating, asked for information
about where we should not excavate, as well as whether
any artifacts we recovered should be returned or donated.
Out of 112 landowners, 71 gave their permission; only
nine said no, and the rest did not respond.
Following our 1999 test excavation, we surveyed the
public park in 2001, and the summer of 2006 was spent
digging shovel tests in the front and back yards of the 71
residents from whom we received permission. Several residents
volunteered to help, which gave us an opportunity
to talk to them about the site, what we were trying to accomplish,
and build a relationship for any future work
we wanted to do. Most of the residents knew about the
Fig. 2: Aerial photograph showing the urban character of the Bayshore Homes project in Pinellas County, Florida.
Austin: Doing Archaeology Publicly 38
mounds and the shell midden, and several told us about
shell and sometimes artifacts that they had dug up in their
yards. We photographed many of these and made notes
on all of the information. We also contacted collectors
who had dug at the site during the 1950s and documented
their artifacts.
Based on the results of the survey, we selected four locations
for more formal test excavations and received signed
permission from all four landowners to proceed (Figure
4). We publicized the project through a newsletter that
was distributed to the homeowners. We received favorable
press coverage and gave several public presentations,
including two meetings held specifically for the Parque
Narváez residents. We developed a 14-page summary
with plenty of graphics that was geared to the public and
was made available on the CGCAS web site. In 2007 we
received a grant from the Florida Division of Historical Resources
which helped pay for radiocarbon dates and soil
coring in the midden. In 2009, we returned to conduct additional
test excavations and gather data on the site’s earliest
component. In addition to help from local residents,
we also had several students on our crew from the University
of South Florida and Eckerd College. Currently, we are
processing the large volume of artifacts, fauna, and environmental
data that we collected during the 2009 season.
Engaging the Public: Lessons Learned
A lot of what we have learned about working in a residential
neighborhood is just good anthropology. Making
contact with respected members of the community
is key to getting access to land, people, and collections.
So is respecting people’s private property. We used tarps
to collect screened sediment, carefully replaced sod, watered
the cut sod so it wouldn’t die, and in a few cases,
even bought new sod. These small acts did wonders for
our reputation in the neighborhood and have made the
homeowners comfortable with our presence.
We also spend a lot of time communicating our finds to
the neighborhood. All of our regular volunteers are capable
of conversing in detail about the site, about what we
are doing and why, as well as about archaeological methods.
The typical question we hear is “Did you find anything
interesting?” Which means “did you find any cool
artifacts?” I try to keep a stash of cool artifacts (projectile
points, worked bone, decorated ceramics) that we have
found on hand to show visitors and then use these as a
way to lead into a more nuanced discussion of chronology,
subsistence, climate and sea level changes, and other topics
that we are interested in pursuing with our research.
The newsletters, web site, and formal talks are also appreciated
by the community. While not everyone attends
the talks or accesses the web site, the fact that we make
the attempt to inform the community about what we are
doing has been well received. The time it takes to chat with
visitors or write up a brief description for a newsletter or
web site, repays itself many times over when you want access
to someone’s yard or when they bring you a curious
find that they dug up while planting that rose bush.
Because Bayshore Homes is a precolumbian Native
American site, the people who live in the neighborhood
today have no direct historical relationship to the people
who lived there 1000-2000 years ago. Consequently,
their relationship to the site is multifaceted. For example,
I think that the cooperation and interest in our work
displayed by the site’s current residents can be explained
partly by the fact that they view the archaeological site as
part of their community, providing it with a unique identity.
On the other hand, this does not necessarily translate
into respectful stewardship, as most residents do not appear
to consider the effects of their home maintenance
and improvement projects on the archaeological resource.
It has also been difficult to convince the County that archaeology
needs to be done in advance of improvement
projects, despite the fact that the County does have an archaeological
preservation ordinance. These contradictory
views reflect in microcosm the contradictory attitudes
that many Americans have about archaeological sites, particularly
those of precolumbian Native Americans. Inherent
curiosity is contrasted with a view of archaeological
sites as resources to be exploited (e.g., through looting,
as “value-added” promotion for development or tourism),
and is shot through with a healthy dose of private property
rights.
Neither is there an archaeologically documented direct
historical relationship between the ancient residents of
Bayshore Homes and the contemporary, federally recognized
tribes in Florida3. Because the site is on private
property and did not involve disturbance of human bur-
Fig. 3: Wall profile of a test unit excavated in the front
yard of a Parque Narváez homeowner showing nearly
two meters of intact midden.
Austin: Doing Archaeology Publicly 39
ial remains, there are no legal consultation requirements
that provide a mechanism for formal connections with
tribal governments. Although we continue to encourage
participation and involvement from individuals of Native
American ancestry, we recognize that formal relationships
with tribal governments might not be appropriate or even
sought by them.
Conclusion
Although I honestly cannot say that our project has
changed conflicting attitudes among the residents of
Parque Narváez, I do believe that many now have a greater
appreciation for what lies beneath their flower beds and
manicured lawns. I also believe that involving people in
the excitement of doing archaeology, even peripherally,
provides an opportunity to indoctrinate; to explain the
value (in non-economic terms) of the past, and ignite a
spark of understanding and respect for archaeological
sites as both information repositories and as tangible expressions
of our human past. It is an opportunity that we
cannot afford to pass up.
Notes
1 The article in question, titled “Race of Giants Once Inhabited
the Peninsula,” was but one of several early local
newspaper accounts that portrayed Native Americans
as “giant” savages. See Harris (1927) for another with a
nearly identical title.
2 Historical documents (Cabeza de Vaca, 1993) indicate
that Spanish explorer Pánfilo de Narváez probably
landed on the Pinellas peninsula near Boca Ciega Bay in
1528, and local developers have eagerly employed the
Narváez name to promote their building efforts. In the
1920s, developer Walter Fuller erected a large sign commemorating
Narváez’s landing that still stands near a
large mound about 1.5 km south of the Parque Narváez
subdivision. Fuller used the sign to promote his many
housing developments in this part of the County. On
the other side of the Pinellas peninsula, E. M. Elliot’s
proposed development on Weedon Island was called
Narváez Park for the same reason. Elliott also claimed
Hernando de Soto stopped there and was not averse to
promoting the Smithsonian Institution’s 1923 excavations
at the famous Weedon Island archaeological site to
entice visits by tourists and prospective investors (E. M.
Elliott and Associates, c. 1923).
3 Florida’s two federally recognized tribes are the Seminole
Indian Tribe of Florida and the Miccosukee Tribe of Indians
of Florida. Both tribes are active in asserting their rights
and concerns regarding archaeological sites that they
consider part of their native heritage (e.g., Cypress, 1997;
Cypress et al., 2002; Dayhoff and Terry, 2002). The tribes,
in concert with the Florida Governor’s Council on Indian
Affairs, were instrumental in amending Chapter 872 of
the Florida Statutes (Offenses Concerning Dead Bodies and
Graves) to make it a felony to “willfully and knowingly”
damage or destroy Native American cemeteries and burial
Fig. 4: Volunteers excavating in the back yard of one of the Parque Narváez homes.
Austin: Doing Archaeology Publicly 40
mounds (Quetone, 1987; Tesar, 1987). Unlike the federal
Native American Graves Protection and Repatriation Act
(NAGPRA), which applies only to federal and tribal lands,
the Florida law extends protection to archaeological sites
that contain human remains on private land.
Acknowledgments
The Bayshore Homes project has been funded in part by
Historic Preservation Survey and Planning Grant SO819
provided by the Florida Department of State, Division of
Historical Resources. Additional funds were provided by
the IBM Corporation and an anonymous donor. Brent
Weisman, Uzi Baram, and an anonymous reviewer provided
comments on earlier drafts of this paper that substantially
improved the final product. I would like to thank the
Central Gulf Coast Archaeological Society for the many
hours of volunteer labor they have contributed to the
project; the Weedon Island Preserve Cultural and Natural
History Center for providing laboratory space; and last,
but certainly not least, the residents of Parque Narváez for
their cooperation and interest.
References
Austin, R J, and J M Mitchem 2008 Site Formation and
Chronology at Bayshore Homes: A Late Weeden Island
Mound Complex on the Gulf Coast of Florida. Paper
presented at the 65th annual meeting of the Southeastern
Archaeological Conference, Charlotte, NC.
Austin, R J, J M Mitchem, and A Fradkin 2007 Recent
Research at Bayshore Homes (8PI41), St. Petersburg,
Florida. Paper presented at the 71st annual meeting of
the Florida Academy of Sciences, St. Petersburg, FL.
Austin, R J, J M Mitchem, A Fradkin, J E Foss, S Drwiega,
and L Allred 2008 Bayshore Homes Archaeological
Survey and National Register Evaluation. Report
prepared for the Bureau of Historic Preservation,
Florida Department of State. On file, Florida Division
of Historical Resources, Tallahassee, FL.
Bense, J A 1990 The Search for the Lost Rectors: A Public
Archaeology Project – Overview and Project Description.
The Florida Anthropologist 43(2):127-130.
Bushnell, D I, Jr. 1926 Investigations of Shell and Sand
Mounds on Pinellas Peninsula. Smithsonian Miscellaneous
Collection 78:125-132.
Cabeza de Vaca, Á N 1993 The Account: Álvar Núñez Cabeza
de Vaca’s Relación. An annotated translation by
Martin A. Favata and José B. Fernández. Houston, TX:
Arte Público Press.
Colwell-Chanthaphonh, C, and T J Ferguson 2008 Collaboration
in Archaeological Practice: Engaging Descendent
Communities. Walnut Creek: Alta Mira Press.
Cypress, B L 1997 The Role of Archaeology in the Seminole
Tribe of Florida. In Native Americans and Archaeologists:
Stepping Stones to Common Ground, edited by Nina
Swindler, Kurt E. Dongoske, Roger Anyon, and Alan S.
Downer, pp. 156-160. Walnut Creek, CA: Alta Mira Press.
Cypress, B, T Underwood, and E Doonkeen 2002 Native
American Views on Significance. In Thinking about Significance,
edited by Robert J. Austin, Kathleen S. Hoffman,
and George R. Ballo, pp. 113-119. Riverview, FL:
Florida Archaeological Council, Inc.
Dayhoff, F E and W S Terry 2002 Miccosukee Tribal
Beliefs Concerning Archaeological Significance. In
Thinking about Significance, edited by Robert J. Austin,
Kathleen S. Hoffman, and George R. Ballo, pp. 105-112.
Riverview, FL: Florida Archaeological Council, Inc.
E M Elliott and Associates c. 1923 Tourists! You are Invited
to Visit the Smithsonian Excavations. Copy of
promotional flyer on file, Weedon Island Preserve Cultural
and Natural History Center, St. Petersburg, FL.
Flatman, J 2009 The Economics of Public Archaeology –
A Reply to “What is Public Archaeology?” Present Pasts
1:50-52, doi:10.5334/pp.9.
Fuller, W P 1972 St. Petersburg and Its People. St. Petersburg,
FL: Great Outdoors Publishing.
Harris, T 1927 Giant Savages Once Inhabited This Peninsula.
St. Petersburg Times, Pinellas County Section, p. 1,
September 25, 1927.
Hoffman, K S, G R Ballo and R J Austin 2002 The Past
in Service to the Present: Some Concluding Thoughts.
In Thinking about Significance, edited by Robert J. Austin,
Kathleen S. Hoffman, and George R. Ballo, pp. 215-
225. Riverview, FL: Florida Archaeological Council, Inc.
Layton, R 1994 Introduction: Who Needs the Past? In
Who Needs the Past? Indigenous Values and Archaeology,
edited by Robert Layton, pp. 1-20. London and
New York: Routledge.
Lipe, W D 2002 Public Benefits of Archaeological Research.
In Public Benefits of Archaeology, edited by
Barbara J. Little, pp. 20-28. Gainesville, FL: University
Press of Florida.
Little, B J 2002 Archaeology as a Shared Vision. In Public
Benefits of Archaeology, edited by Barbara J. Little, pp.
1-19. Gainesville, FL: University Press of Florida.
Little, B J 2009 What Can Archaeology Do for Justice,
Peace, Community and the Earth? Historical Archaeology
43(4): 115-119.
McGimsey, C R III 1972 Public Archeology. New York,
Seminar Press.
Moore, C B 1900 Certain Antiquities of the Florida West
Coast. Philadelphia Academy of Natural Sciences Journal
11:349-394.
Moshenska, G 2009. What is Public Archaeology? Present
Pasts 1:46-48, doi:10.5334/pp.7.
Quetone, J A 1987. Chapter 872, Florida Statutes (“Offenses
Concerning Dead Bodies and Graves”): A Native
American’s Perspective. The Florida Anthropologist
40(4):328-329.
Rowan, Y and U Baram (eds.) 2004 Marketing Heritage:
Archaeology and the Consumption of the Past. Walnut
Creek: AltaMira.
St. Petersburg Times 1914 Race of Giants Once Inhabited
this Peninsula. August 13, 1914.
St. Petersburg Times 1955 Indian Mound May be Historical
Park, Museum. December 19, 1955.
St. Petersburg Times 1956 Indian Site Wanted for Park
Area. March 30, 1956.
Austin: Doing Archaeology Publicly 41
St. Petersburg Times 1956 Indian Mound Proposal Draws
Cold Shoulder. April 3, 1956.
Sears, W H 1958 Letter from William Sears to Richard
Key, January 6, 1958. Papers of William H. Sears, Bayshore
Homes, 8PI0041. Collections of the Anthropology
Division of the Florida Museum of Natural History,
Gainesville, FL.
Sears, W H 1960 The Bayshore Homes Site, St. Petersburg,
Florida. Contributions of the Florida State Museum,
Social Sciences Number 6, Gainesville, FL.
Slick, K 2002 Archaeology and the Tourism Train. In Public
Benefits of Archaeology, edited by Barbara J. Little,
pp. 219-227. Gainesville, FL: University Press of Florida.
Tesar, L D 1987 Chapter 872, Florida Statutes (“Offenses
Concerning Dead Bodies and Graves”) Amended: the
Law and Its Significance. The Florida Anthropologist
40(3):221-223.
Wainright, R D 1916 Two Months Research in the Sand
and Shell Mounds of Florida. Archaeological Bulletin
7:139-144.
Walker, S T 1880a Preliminary Explorations among the
Indian Mounds in Southern Florida. Smithsonian Institution
Annual Report 1879:392-413.
Walker, S T 1880b Report on the Shell Heaps of Tampa
Bay, Florida. Smithsonian Institution Annual Report
1879:413-422.

Bahan Kuliah Proses Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi, UGM 2012.

Jumat, 08 Juni 2012

Arkeologi Yang Terlibat: Komunitas Seperti Apa? Publik Yang Mana?

oleh Jusman Mahmud pada 8 Juni 2012 pukul 12:00 ·
Konsep dualisme ... tradisional dan non-tradisional
... menyediakan sebuah kerangka kerja yang dapat digunakan
untuk memahami persoalan yang dihadapi Arkeologi
... apa yang dianggap sebagai adat kebiasaan mungkin lebih
merupakan sebuah konsekuensi dari dikotomi konseptual ini
ketimbang konsekuensi dari segala bentuk kemiripan
pada masyarakat pra kolonial yang sesungguhnya 
– Daniel Miller 1980

Dalam pembahasan ini, saya memperlakukan Arkeologi Komunitas sebagai sebuah sub bagian dari Arkeologi Publik dan menganggap persoalan-persoalan Arkeologi Komunitas sebagai sebuah pembuka untuk membahas persoalan-persoalan yang lebih luas yang dimunculkan oleh para arkeolog yang berupaya mengarahkan usaha-usaha mereka pada wilayah publik. Aspek dalam Arkeologi Komunitas yang paling jauh dari usaha-usaha teoritisasi adalah gagasan tentang komunitas itu sendiri. Meskipun para arkeolog telah sering membahas persoalan-persoalan pelbagai kelompok kepentingan berbeda yang saling bersaing, yang dianggap sebagai sub kelompok dari sebuah komunitas tunggal atau sebagai komunitas-komunitas yang saling bersaing, tetapi istilah komunitas didefinisikan begitu saja sebagai sekelompok orang-orang tertentu atau dibiarkan tidak terdefinisikan. Di sini, saya membahas konsep komunitas pada tiga sektor: (1) individu mana pun yang menjadi bagian dari beragam komunitas; (2) arkeologi komunitas seringkali melukiskan komunitas-komunitas bayangan, yang telah diciptakan sendiri oleh para arkeolog; dan (3) arkeologi komunitas perlu mempertimbangkan tidak hanya komunitas-komunitas lokal atau penerus budaya masyarakat tertentu, tetapi juga komunitas-komunitas yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik.

Mendefinisikan Komunitas Dalam Arkeologi Berbasis Komunitas

Asal usul kemunculan Arkeologi Komunitas di Amerika Serikat berbeda dengan asal usul kemunculannya di Inggris. Di Inggris, di mana rumah intelektual Arkeologi berada dalam wilayah Sejarah, minat masyarakat pada tinggalan-tinggalan materi yang mereka temukan di tanah mereka selalu dianggap legal. Setiap orang mengaitkan tinggalan-tinggalan Arkeologis pada sejarah lokal dan nasional dan seringkali pada budaya, jika bukan, nenek moyang biologis mereka. Masyarakat ilmiah amatur dan museum-museum komunitas merupakan hal umum dan telah ada sejak lama di negeri ini. Bukanlah sebuah kebetulan bahwa acara televisi Time Team muncul di Inggris, yang mana, disamping penampilannya yang kuna dan temuan-temuan sederhananya yang otentik, acara tersebut sangat populer dan telah menginspirasi lahirnya beberapa program televisi yang sejenis dan terkait.

Meskipun terdapat pemisahan yang tegas antara arkeolog kampus (akademisi) dan Publik Inggris, Arkeologi Publik, yang dikaitkan dengan manajemen sumber daya budaya, dipraktikkan terutama di luar universitas dan menekankan keahlian-keahlian teknis yang diterapkan untuk menemukan rancangan penelitian dan orientasi teoritis. Arkeolog Publik digambarkan di media sebagai pekerja lapangan seperti halnya professor di universitas dan mereka tidak menciptakan jarak dengan publik melalui jargon atau interpretasi-interpretasi yang kompleks. Di Inggris, terdapat hubungan alamiah antara Arkeologi Publik dan Arkeologi Komunitas karena kelompok-kelompok lokal yang memiliki minat yang besar terhadap Arkeologi merupakan sub bagian dari publik sejenis yang lebih besar. Tentu saja, terdapat kontroversi-kontroversi yang bersifat nasional dan komunitas mengenai cara-cara sumber daya arkeologi dikelola, tetapi pengembalian dan pemeliharaan situs-situs di Inggris bukanlah wilayah rasial yang dramatis atau pertarungan budaya, karena kurator-kurator museum dan pengelola situs saling berbagi warisan budaya dengan masyarakat yang kepemilikan tinggalan-tinggalan arkeologisnya dikontrol oleh mereka.

Di Amerika Serikat, perkembangan Arkeologi dimulai dengan investigasi terhadap budaya kuno masyarakat pribumi; meskipun Arkeologi Kesejarahan tumbuh di sini, sebagian besar arkeolog Amerika Serikat memfokuskan kajiannya pada masyarakat yang tidak memiliki ikatan sejarah yang kuat dengan mereka dan yang anak cucunya terus-menerus menjadi minoritas yang mengalami tekanan ekonomi dan politik. Akibatnya, rumah Arkeologi berada pada wilayah Antropologi, yang secara tradisional merupakan kajian tentang “budaya-budaya lain” yang letaknya berada di luar konteks sejarah barat. Arkeolog beraliran Amerika lebih mengasah diri mereka pada keahlian ilmiah ketimbang rasa keterikatan, karena klaim mereka tentang masa lalu bersifat akademis ketimbang personal. Benda-benda yang ditemukan masyarakat di tanah mereka memang dianggap sebagai milik pribadi, tetapi lebih dinilai sebagai harta benda ketimbang warisan budaya. Sejarah masyarakat pribumi hanya dianggap sebagai sebuah preambul minor atau sub bagian yang kecil dari sejarah nasional. Baru-baru ini saja komunitas-komunitas masyarakat Indian di Amerika Serikat dimasukkan ke dalam konsep tentang publik oleh para arkeolog.

Ascherson mencatat bahwa Arkeologi di Amerika memandang tanggung jawab terhadap publik sebagai salah satu dari sekian banyak tanggung jawab seorang arkeolog, sedangkan minat pubik telah lama menjadi bagian dasar pada pelbagai kerja arkeologis di Inggris, yang mana arkeologi secara terbuka telah berpikir “mengenai ‘sekarang ini’ ketimbang ‘kemudian’” (2007: 51). Tetapi, perbedaan tersebut sekarang ini jauh lebih besar pada kasus kerja-kerja Arkeologi yang dilakukan oleh arkeolog-arkeolog Inggris di luar Inggris, yang mana sebagian besar penelitian mereka adalah kajian kolonial. Dan baik cara pandang positivis prosesual di Amerika Serikat maupun cara pandang relativis posprosesual dari Arkeologi Inggris tidak banyak mengangkat konsep komunitas menjadi persoalan yang perlu dijawab secara tuntas. Kedua pendirian ini juga tidak memperjelas tentang siapa yang membentuk Arkeologi Publik. Efeknya, asumsi-asumsi mengenai sifat dan relevansi “komunitas-komunitas” pada manajemen dan konservasi warisan budaya disusun secara serupa baik di Amerika Serikat, Inggris Raya dan juga di seluruh Eropa, sekalipun penyusunan asumsi-asumsi tersebut karena alasan-alasan yang berbeda. Gagasan-gagasan mengenai keberlanjutan sejarah sebuah populasi yang memiliki ciri-ciri tersendiri, upaya untuk melestarikan budaya tradisional, konservatisme ekonomi dan ideologis, dan resistensi untuk berubah tidak selalu diteliti secara hati-hati sebelum digunakan untuk mendefinisikan autentisitas dan keanggotaan komunitas.

Sebagaimana dinyatakan oleh Marshall (2002: 216): “komunitas-komunitas jarang, jika dapat dikatakan tidak, bersifat monokultur dan tidak pernah satu pikiran. Mereka adalah sekumpulan orang yang datang secara bersama-sama dengan segala jenis alasan-alasannya yang terencana dan saling bergantung. Oleh karena itu, ada banyak jalan yang memungkinkan munculnya komunitas yang relevan dengan proyek arkeologis tertentu. Tidak ada yang tidak problematis dan pada banyak kasus, komunitas dengan kepentingan-kepentingan tertentu tersebut berubah seiring dengan perjalanan sebuah proyek.

Dalam dunia nyata, setiap orang merupakan anggota dari beragam komunitas yang tidak terikat secara ketat, dan menegosiasikan loyalitas personal dan mendistribusikan sumber daya-sumber daya personal di antara pelbagai kelompok merupakan gambaran kehidupan sehari-hari. Mendefinisikan secara implisit sebuah komunitas sebagai sebuah organisme yang terintegrasi dengan strukturnya yang koheren dan batas-batasnya yang memiliki ciri-ciri tersendiri merupakan sebuah gaung intelektual yang berasal dari fase awal Arkeologi ketika paradigma yang berlaku pada saat itu adalah evolusionisme budaya. Sejauh generalisasi dilakukan, mungkin jauh lebih tepat mengatakan bahwa komunitas-komunitas yang tradisinya tidak berubah dan batas-batasnya tertutup rapat adalah hal yang tidak biasa dan mungkin kondisi tersebut merupakan respon terhadap penindasan yang menimpa komunitas tersebut.

Fakta bahwa individu-individu umumnya adalah anggota dari pelbagai komunitas merupakan sebuah poin kunci, karena pengalaman-pengalaman dan loyalitas-loyalitas yang saling bersilangan seperti itu dapat membuat negosiasi menjadi lebih mudah dan membawa kembali kecenderungan kompetitif menuju ke sebuah penekanan mengenai kesamaan-kesamaan dan kerja sama. Pegawai-pegawai pemerintah yang lahir di desa di mana arkeolog hendak melakukan pekerjaannya, arkeolog profesional dengan warisan budaya masyarakat pribumi, keluarga-keluarga yang saling berkerabat yang tinggal di beberapa kota kecil dan desa, dan pemandu wisata internasional yang memiliki usaha lokal, semuanya dapat saja memainkan peran kunci dalam membentuk struktur sebuah kerangka kerja positif untuk penelitian, pemeliharaan, dan interpretasi sumber daya arkeologis.

Sejarah dari banyak negara maju merupakan sejarah kolonisasi, penindasan, eksploitasi, dan marginalisasi kelompok-kelompok masyarakat pribumi yang didefinisikan oleh orang luar atau bahkan menekannya menjadi “komunitas-komunitas.” Pada tahun 1978, orang-orang Aguacata, Belize, yang berbicara bahasa Kekchi tidak menanggap diri mereka sebagai suku Maya (R. Wilk, wawancara personal, 2000); ini adalah sebuah “komunitas” yang diciptakan oleh kolonialisme. Pada komunitas-komunitas di negara-negara maju, kesempatan untuk memperbaiki kehidupan ekonomi dan bahkan untuk sekedar bertahan hidup seringkali lebih baik bagi mereka yang memisahkan diri dari komunitas dan masa lalu mereka untuk kemudian berpartisipasi dalam “pembangunan” kolonial. Dalam situasi ini, masa lalu tersebut seperti tidak berguna dan memalukan, dan melanjutkannya berarti menerima kemiskinan dan eksploitasi. Karena tekanan-tekanan globalisasi telah mendorong batas-batas modernitas dengan cara mereduksi tradisi, tekanan-tekanan tersebut juga mencampuradukkan marginalisasi, ketidaktahuan atau kebodohan dan kemiskinan dengan tradisi dan etnisitas (Warren 1998). Para orang tua dalam komunitas-komunitas yang termarginalisasi secara ekonomi menjadi terpisah dengan anak-anak mereka yang menerima pekerjaan-pekerjaan di wilayah-wilayah urban dan anak-anak menjadi malu dengan orang tua mereka yang miskin dan tradisional. Baik kebanggaan terhadap warisan budaya dan penciptaan pekerjaan-pekerjaan lokal dapat meredakan situasi ini, bukan sebagai sebuah usaha untuk menguburkan kembali masa lalu mereka tetapi sebuah cara untuk bergerak maju.

Ketika arkeolog menyamakan autentisitas dengan berlanjutnya sebuah budaya, mereka berperan dalam terciptanya bangunan tradisi dan komunitas yang sifatnya opresif, yang di dalamnya klaim-klaim lokal atau masyarakat pribumi mengenai hak-hak untuk mengelola dan menginterpretasikan masa lalu mereka memerlukan beberapa jenis penubuhan etnis di masa sekarang. Hal ini tidak ditujukan untuk mengatakan bahwa etnisitas didorong dari luar, tetapi bahwa kekuatan-kekuatan dari luar dianggap sebagai pengaruh buruk pada bentuk yang dapat dibangun oleh etnisitas tersebut agar dianggap autentik, dan masyarakat dibatasi dalam hal cara-cara mereka memilih untuk mengakui dan menyebarluaskan tradisi-tradisi mereka.

Keyakinan bahwa globalisasi memiliki pengaruh menghomogenkan, bersama dengan keyakinan yang belum teruji mengenai kehidupan komunitas di masa lalu, telah menjadikan arkeologi sebagai tempat perlindungan terakhir dari autentisitas. Dalam jasa pariwisata, preservasi budaya, dan kebanggaan etnis, para arkeolog telah menyediakan aliran yang mapan untuk rekonstruksi masa lalu dengan acuan-acuan masa kini, meyakininya sebagai sebuah jalan lain. Esensialisme strategis telah memberikan kuasa pada beberapa kelompok tetapi beberapa rekonstruksi arkeologis yang menekankan persoalan keberlanjutan budaya justru menindas kehidupan mereka. Pemerintah Belize yang baru-baru ini menentang kepemilikan hak-hak tanah sebuah kelompok Maya Q’eqchi dengan alasan bahwa dasar dari jenis pertanian yang mereka praktikkan tidak bersifat tradisional melainkan paradoksal juga sebagian disebabkan oleh usaha para arkeolog yang meyakinkan publik bahwa strategi pertanian Maya tradisional menyebabkan peradaban mereka runtuh. Kegagalan mempraktikkan jenis pertanian yang telah diidentifikasi oleh para arkeolog sebagai jenis pertanian yang diduga autentik membantah klaim mereka sebagai orang Maya, sementara pertanian Maya tradisional membatalkan hak mereka sebagai pengelola tanah. Tidak masalah bahwa baik rekonstruksi arkeologis maupun karakterisasi etnografis pertanian Maya kedua-duanya salah (Wilk 1985, 1991). Tetapi jelasnya, masa lalu dan tradisi-tradisinya lebih baik dianggap sebagai sesuatu yang dapat berubah, baik untuk akurasi maupun untuk kepentingan komunitas-komunitas yang merupakan pewaris dari tradisi-tradisi tersebut.

Pelbagai peneliti telah menunjukkan bahwa reaksi lokal terhadap tekanan global jarang merupakan perkara penyerapan yang sederhana, tidak masalah seberapa dalam tekanan tersebut diterapkan pada sebuah komunitas agar “berubah seiring waktu.” Pada kenyataannya, globalisasi pada banyak kasus telah meningkatkan ketajaman tradisi-tradisi lokal dan bahkan – seperti yang dibahas oleh Nevins dan Nevins (2007) – menciptakan bangunan tradisi-tradisi tersebut, begitu juga efeknya yang membuat komitmen lokal terhadap tradisi-tradisi tersebut semakin intensif. Dalam bahasa Schadla-Hall (2007: 76), “hasrat masyarakat untuk menyatakan dan menunjukkan identitas dan asal usul mereka dengan cara yang lebih terang dan dapat dipahami menjadi terlihat semakin jelas.” Di sisi lain, terminologi-terminologi pembahasan tentang modernitas dan globalisasi menjadi semakin global. “Membuat warisan budaya dapat dibaca dengan lebih jelas,” seperti yang dikatakan Bauers (2007), memerlukan sebuah upaya untuk menyusun kembali warisan budaya tersebut ke dalam sebuah bingkai tentang ciri-ciri dan perbedaan-perbedaan dari warisan budaya tersebut yang telah didefiniskan sebelumnya, yang melaluinya pencapaian-pencapaian lokal didefinisikan dalam pengertian-pengertian global. Jenis pembedaan ini merupakan proses yang sama seperti yang terlihat pada penyebaran perayaan kecantikan; gagasan-gagasan lokal tentang kecantikan mungkin berubah dan pada kenyataannya mungkin dilebih-lebihkan sebagai resistensi politik terhadap hegemoni tentang gagasan-gasasan penampilan yang berasal dari barat. Tetapi dalam upayanya untuk melakukan perlawanan, ciri-ciri perempuan cantik yang telah terglobalisasi dihadapi dengan talenta-talenta, ukuran-ukuran dan pewarnaan yang berbeda, bukan kategori-kategori evaluasi yang berbeda (Wilk 2004a, b). Dan di sisi lain, perempuan, komunitas-komunitas dan situs-situs arkeologi menjadi komoditas.  

Arkeologi yang terlibat dengan komunitas mungkin tidak dapat menghindar dari upaya untuk menciptakan komunitas-komunitas bayangan; dengan mendefinisikan komunitas sebagai sebuah kelompok yang saling berhubungan dalam satu ikatan, kita juga mendefinisikan istilah-istilah yang harus digunakan oleh kelompok-kelompok penerus sebuah budaya dan masyarakat lokal agar suara mereka dapat didengarkan dalam manajemen warisan budaya. Dengan membantu masyarakat lokal mengembangkan sebuah infrastruktur komunitas yang terhubung dengan pariwisata dan kesempatan-kesempatan pembangunan, kita mungkin telah membantu mereka berasimilasi ke dalam sistem dunia modern dan mempersempit kesempatan-kesempatan mereka untuk mengekspresikan diri. Tetapi, kita mungkin juga memaksakan sebuah kerangka tradisi yang gemanya untuk masyarakat yang dilibatkan tidak terlalu besar dan demikian juga dengan masa lalu mereka. Tekanan ekonomi tidak hanya membuat masyarakat khawatir akan campur tangan dari luar, tetapi juga membuat mereka tidak mampu menolak segala jenis kesempatan yang mungkin. Hal ini tidak ditujukan untuk mengatakan bahwa masyarakat tidak memerlukan infrastruktur, komunitas-komunitas yang tegas, dan cara-cara yang akan mereka gunakan untuk memanfaatkan sistem dunia agar mereka dapat bekerja secara efektif demi keadilan sosial, tetapi definisi dan manipulasi kategori-kategori tersebut seharusnya tidak dikendalikan dari luar secara eksklusif.

Shepherd (2007) membuat poin penting ekstrem bahwa memelihara autentisitas memerlukan upaya untuk tetap berada dalam batas-batas ekonomi global dan menerima paternalisme kekuatan-kekuatan dunia sebagai upaya untuk tetap bertahan. Di Cina, tetapi juga di Amerika Serikat, di negara-negara pecahan Uni Soviet, dan di hampir semua negara-negara di dunia, keragaman etnis telah didomestifikasi sesuai dengan definisi-definisi global tentang “yang lain.” Melalui promosi industri pariwisata di Tibet yang dilakukan oleh pemerintah Cina, budaya orang-orang Tibet mengalami perubahan radikal pada sifat-sifat dasarnya dan bertahan karena dikonstruksi sebagai pegelaran artistik (Shepherd 2007). Shepherd melihat bahwa budaya kini telah dibanjiri dengan sikap arogan wisatawan yang berusaha memotret misteri dan spiritualitasnya atau, bahkan yang lebih buruk lagi, menemukan hiburan dalam tradisi-tradisinya yang mereka anggap memesona dan keren. Dengan cara yang tidak hati-hati sama sekali, para pengunjung tersebut bertindak sebagai orang-orang yang memposisikan kembali persepsi orang-orang Tibet mengenai diri mereka sendiri, begitu juga dengan makna dan nilai dari komunitas mereka yang telah dikomodifikasi dan diciptakan kembali.

Terdapat beberapa cara untuk menggagas kembali ide tentang komunitas. Konsep McDavids (2002, mengikuti Rotry 1991) tentang “percakapan kondisional, pluralistis, dan yang disesuaikan dengan konteks historis” menyiratkan adanya kemungkinan untuk secara sadar menciptakan sebuah komunitas yang dikembangkan seiring dengan pengerjaan sebuah proyek warisan budaya. Bauer (2007) menggagas konsep “terroir” – sebuah acuan untuk keberlanjutan (penggunaan) materi yang khususnya terlihat jelas dalam situs-situs yang dikategorikan sebagai ‘monumen hidup’ (the archaeology of long inhabited places). Dia mengajukan konsep ini sebagai sebuah tandingan terhadap efek-efek homogenisasi superfisial dari globalisasi, yang dipandangnya sebagai sebuah kekuatan yang tidak hanya unik untuk pengalaman manusia sebagaimana dinyatakan oleh pakar-pakar teori modernisasi. Tetapi konsep ini juga berfungsi untuk menggali asumsi-asumsi dangkal tentang keberlanjutan budaya sebagai faktor utama dalam penciptaan autentisitas untuk tradisi-tradisi lokal. Pada kenyataannya, entah bagaimana caranya, kebiasaan lokal tetap mengacu pada masa lalu mereka meskipun telah melalui berabad-abad – atau ribuan tahun di beberapa tempat – inovasi, migrasi, dan penaklukan. Tanpa menjadi reduksionis ekologis, Bauer telah menggemakan kembali sepotong kalimat yang begitu terkenal dari Alexander Pope, “In everything respect the genius of the place,” yang menyiratkan bahwa dalam menjejaki suksesi para penghuni sebuah wilayah, para arkeolog dapat menemukan keberlanjutan kejeniusan lokal yang sama sekali tidak sama dengan ketidakmampuan berkembang sebuah etnis. Pikiran-pikiran yang serupa telah banyak bermunculan dalam kepala para pakar teori globalisasi beberapa tahun belakangan ini, dan kajian tentang makanan yang dari sana Bauer menemukan istilah “terroir” merupakan sebuah lensa yang sangat bermanfaat untuk memfokuskan perhatian pada segala jenis konflik dan akomodasi antara tradisi dan perubahan, dominasi dan resistensi, dan yang lokal dan yang global. Interpretasi ulang terhadap racikan masakan-masakan baru sebagai makanan lokal dan tradisional yang menjadi mode global merupakan hal yang sangat menarik bukan hanya karena prosesnya tidak semata sesuai dengan yang diharapkan oleh para modernis (Wilk, 2009), tetapi juga karena dapat ditunjukkan bahwa proses-proses tersebut terus berlanjut dari kedalaman masa lalu mereka (Pyburn, 2008a). Dalam tarian antara yang lokal dan yang global, tariannyalah, bukan komunitasnya, yang terus berlanjut dan tradisional.

Para dukun Q’ekchi di Belize selatan telah menciptakan sebuah organisasi profesional (Naturaleza 2003) yang pola-polanya sesuai dengan organisasi-organisasi kesehatan yang terbentuk di dalam sebuah negara, seperti Asosiasi Kedokteran Amerika (AMA) dan Asosiasi Kedokteran Inggris (BMA). Institusi baru ini muncul dari keprihatinan para dukun tersebut terhadap keahlian mereka yang tidak dianggap dan tidak dihormati sebagaimana halnya praktik medis yang bagi orang-orang biasa dianggap memerlukan biaya terlalu mahal dan yang karena itu juga mereka tidak memperoleh akses untuk pelatihan. Mereka khawatir akan kehilangan pengetahuan yang mereka anggap masih dibutuhkan oleh masyarakat yang hanya mampu berobat ke praktik pengobatan tradisional seperti yang mereka praktikkan. Mereka juga khawatir terhadap tidak adanya pendidikan yang mereka butuhkan untuk terus memperbaiki kemampuan mereka sehingga dapat menawarkan pengobatan yang lebih baik untuk pasien-pasien mereka. Mereka ingin membagi pengetahuan dan keahlian mereka; mereka tidak mengerti mengapa para ahli medis didikan barat tidak ingin melakukan hal yang sama.

Dukun-dukun Q’ekchi mengikuti strategi sinkretisme yang telah berusia lampau untuk memelihara warisan budaya dan melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat mereka. Ini adalah sebuah strategi yang dapat ditemukan pada budaya mana pun; bahkan dapat dikatakan bahwa untuk hal seperti inilah budaya diperuntukkan. Mereka mendefinisikan diri mereka sendiri sebagai sebuah komunitas dan menciptakan upaya-upaya untuk memelihara tradisi-tradisi yang mereka pilih, tetapi dalam sebuah konteks di mana mereka telah menentukan sendiri hal-hal mana yang bermakna untuk konteks kekinian mereka. Sepanjang periode selama kira-kira 3000 tahun, penutur-penutur bahasa Maya menuliskan pelbagai sistem produksi, konsumsi, hak guna lahan, perdagangan, dan pusaka mereka (untuk hal-hal seperti ini jugalah inskripsi-inskripsi hieroglyphic ditujukan) yang sama majunya dengan segala jenis kekuatan kolonial yang dipaksakan dari Eropa. Salah satu kegunaan utama dari pusaka budaya adalah untuk mengkonstruksi sebuah ikatan dengan masyarakat lain – atau untuk memutus diri darinya. Penggunaan keduanya terlihat jelas pada tinggalan-tinggalan megalitik yang berasal dari periode klasik. Ini tidak berarti bahwa para penutur bahasa Maya “hidup dalam masa lalu” sebagaimana National Geographic menampilkannya, tetapi mereka menggunakan pusaka mereka untuk kekinian mereka dan dari sana membangun masa depan sebaik yang mereka dapat lakukan. Jadi, meskipun dukun-dukun Q’echi menciptakan sebuah komunitas yang terikat, mereka juga tetap mengakui komunitas-komunitas pengobatan lainnya yang mereka pilih untuk diri mereka.

Hasil dari cerita di atas adalah bahwa arkeolog harus berhenti menciptakan autentisitas tradisi-tradisi komunitas dan budaya. Arkeolog juga perlu untuk menyadari dengan sepenuhnya cara-cara kita mengupayakan rubrik komunitas untuk masyarakat pewaris sebuah budaya atau kelompok lokal mana pun. Meskipun data yang berkaitan dengan persoalan-persoalan ini kadang-kadang dapat membantu komunitas-komunitas untuk mendirikan pertahanan terdepan dalam perang untuk hak-hak asasi manusia, “fakta-fakta” arkeologis yang sama yang membantu satu komunitas dapat melukai komunitas lainnya atau berbalik menjadi rasa asam untuk jangka panjangnya. Persoalan yang perlu ditimbang oleh para arkeolog harus selalu melibatkan pertimbangan mengenai kebutuhan-kebutuhan komunitas yang beragam, dan bahwa pengetahuan yang didasarkan secara arkeologis harus disebarkan secara layak dalam melayani demokrasi, bukannya esensialisme. Bahkan jika para arkeolog gagal mempersoalkan makna ‘komunitas’ ketika mengambil pendekatan dalam bentuk saling berbagi pengetahuan dan konsultatif, anggota-anggota publiknya juga tidak melakukannya, dan dengan gagal melakukan hal demikian para arkeolog secara tidak sadar menjalankan resiko bermain di dalam kendali satu faksi atau faksi lainnya, hal tersebut dapat menghasilkan hasil yang lebih positif. Posisi yang baik untuk memulainya adalah menanyakan pada masyarakat apakah mereka menganggap diri mereka sebagai anggota dari sebuah komunitas, yang di dalamnnya komunitas-komunitas lainnya turut berpartisipasi dan merasa memiliki, dan bagaimana mereka mendefinisikan keanggotaan mereka.

Hal ini menjelaskan persoalan kedua yang telah disebutkan oleh Arkeologi Komunitas: bahwa fokus pada komunitas membuat kita mudah lupa bahwa komunitas-komunitas lokal dan pewaris sebuah budaya perlu dipahami secara etnografis sebagai bahan yang akan digunakan oleh arkeologi yang terlibat untuk bekerja. Seringkali, komunitas-komunitas sebenarnya yang perlu kita pahami secara antropologis adalah mereka yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang paling kuasa, seperti pegawai-pegawai pemerintah, dewan-dewan universitas atau sekolah, jaringan hotel multinasional, misi-misi USAID, dan para arkeolog itu sendiri. Seperti kelompok-kelompok lokal yang biasanya kita jadikan acuan ketika berbicara soal stakeholders (kelompok-kelompok kepentingan), komunitas-komunitas dengan kuasa politik dan kekayaan ekonomi tersebut memiliki tradisi-tradisi dan perilaku-perilaku normatif yang dapat dianalisis melalui penelitian antropologis dan lebih baik dipahami sebagai perangkat yang mempromosikan pemahaman budaya-budaya yang berbeda. Sebagai contoh, menjelaskan kepada masyarakat dari mana para arkeolog memperoleh gagasan-gagasan mereka tentang nilai masa lalu, keyakinan mereka pada ilmu pengetahuan, dan keinginan mereka untuk melakukan preservasi dapat memanusiakan maksud-maksud kita dan bahkan dapat membuat audiens yang skeptis menjadi lebih simpatik pada kita.

Menemukan Publik Untuk Arkeologi Publik

Dalam sebuah esai penting, Matsuda (2004) menyusun kerangka teoritis yang diperlukan oleh para arkeolog guna mengembangkan sebuah “wilayah publik” untuk Arkeologi. Mengikuti Habermas (1989), dia menunjukkan bahwa para arkeolog umumnya menggunakan istilah “publik” dengan dua cara: pertama, mengacu pada masyarakat yang secara umum tidak terlatih dalam mempraktikkan kerja-kerja Arkeologi dan kedua, yang bertentangan dengan kepentingan-kepentingan pribadi, sebuah kelompok yang hak-haknya terhadap pengetahuan ilmiah dan preservasi sumber daya budaya ditegakkan melalui otoritas negara. Meskipun melibatkan masyarakat awam yang memiliki ketertarikan yang memberi kesan pengambilan keputusan dilakukan secara demokratis, tugas melakukan kerja-kerja arkeologis untuk kebaikan umat manusia sebenarnya berada ditangan para arkeolog sebagai mata panah regulasi negara yang hasil-hasilnya terletak di balik jangkauan mereka yang bukan spesialis.

Penggunaan kedua terminologi di atas bertentangan dengan kecenderungan para arkeolog menempatkan diri mereka terpisah dari kelompok-kelompok kepentingan yang lain. Dengan menempatkan diri kita terpisah dari mereka yang non-spesialis, kita seringkai gagal melihat kepentingan profesional kita dalam konteks kompetisi dengan kelompok-kelompok yang lain dan yang mungkin kepentingannya terhadap tinggalan-tinggalan materi dari masa lalu setara dihadapan hukum. Sikap yang belum teruji inilah yang membawa para arkeolog pada keyakinan bahwa menjelaskan diri mereka ke hadapan publik sama halnya dengan memberikan hadiah kepada mereka. Namun demikian, upaya para arkeolog melibatkan diri mereka dalam diskusi publik dan debat demokratis sebenarnya lebih menyerupai sebuah upaya memberikan hadiah untuk diri mereka sendiri. Memparafrasakan George Orwell, para arkeolog cenderung melihat diri mereka lebih setara ketimbang anggota-anggota publik lainnya.

Sikap ini juga merampas kemampuan para arkeolog untuk melihat manfaat dari beragam komunitas yang tumpang tindih dalam sebuah publik. Bukan hanya para arkeolog akan dapat melakukan pekerjaannya dengan lebih baik dalam menemukan konsensus dengan cara bekerja bersama individu-individu berkepentingan yang berpartisipasi di beberapa komunitas, tetapi mereka juga dapat melibatkan sebuah publik dengan lebih baik dengan cara menerima bahwa diri mereka (para arkeolog tersebut) juga bagian dari publik. Ketika Arkeologi dikonstruksi bertentangan dengan komunitas-komunitas pewaris sebuah budaya, pertunjukan, atau religi, kita gagal melihat bahwa cara-cara kerja kita tidak hanya mempengaruhi, tetapi bahkan menciptakan, batas-batas yang sulit ditembus oleh kelompok-kelompok yang berpotensi bertentangan tersebut.

Tidak seperti Matsuda, sebagian besar arkeolog jarang ambil peduli untuk menyusun sebuah definisi tentang “publik.” Alih-alih, mereka justru membuat asumsi-asumsi kasar mengenai ciri-ciri dan selera pengunjung umum. Bukannya mengupayakan untuk mendidik para non spesialis dan meningkatkan pengetahuan umum mereka tentang penelitian arkeologis, politik warisan budaya, dan hak-hak asasi manusia, para arkeolog lebih bersikap seperti jurnalis ketimbang akademisi dengan cara menjadi pelayan untuk komunitas yang mereka bayangkan. Perhatian dan persetujuan dipandang lebih bernilai (atau setidaknya didahulukan) ketimbang kejujuran ilmiah dan pengetahuan (Holtorf 2008); misalnya, penjarahan ala Indiana Jones, menginjak-injak masyarakat pribumi yang telah distereotipkan, patronasi terhadap perempuan, dan upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan penting kehidupan sehari-hari secara heroik merupakan ikon yang dapat diterima karena penggambarannya tentang Arkeologi sebagai petualangan dan menyenangkan memikat para pelajar. Mempublikasikan temuan-temuan yang kebetulan bernilai di pasar seni, dan interpretasi-interpretasi masa lalu yang membenarkan status quo dan mendukung untuk menyalahkan korban-korban sistem dunia modern untuk persoalan kerusakan lingkungan dan mengungkap konflik-konflik telah mengganti unsur pendidikan yang sebenarnya karena informasi yang sebenarnya itu “terlalu membosankan.”

Kesuksesan Time Team (Schadla-Hall 2007) menyiratkan bahwa toleransi publik terhadap rasa jemu jauh lebih besar ketimbang keyakinan sebagian besar arkeolog. Lebih lanjut, wawancara-wawancara yang dilakukan pada pengunjung museum menunjukkan bahwa setidaknya beberapa anggota dari publik sungguh-sungguh tertarik dengan praktik arkeologi yang sebenarnya dan aspek-aspek masa lalu yang bersifat lebih duniawi. Bahkan yang lebih menarik adalah bahwa di banyak bagian dunia, masyarakat awam yang tidak pernah mengecap pendidikan khusus yang membentuk “publik” tersebut sangat tertarik dan lebih berpengetahuan tentang politik-politik komunitas, etnisitas dan tradisi, dan peran warisan budaya dalam identitas lokal.

Mungkin jauh lebih baik mengarahkan kepentingan-kepentingan dan harapan-harapan publik dengan cara menanyakan kepada masyarakat kepentingan-kepentingan mereka ketimbang membuat asumsi-asumsi yang dapat menciptakan harapan-harapan. Dalam pengalaman saya, saya telah menemukan bahwa meskipun masyarakat mengharapkan para arkeolog membual tentang harta karun terpendam, mereka dengan penuh antusias memberi respon pada bukti-bukti heroisme, rasa welas asih, kecerdasan dan sensibilitas estetis masyarakat kuna. Sebuah resep masakan kuna lebih memikat pendengar kelas menengah Amerika ketimbang sebuah kalung permata. Di sisi lain, menciptakan beberapa harapan, khususnya yang tidak mendukung kekerasan politik, elitisme, penciptaan stereotip gender, upaya menyalahkan korban-korban sistem dunia untuk persoalan lingkungan hari ini, bukanlah merupakan gagasan yang buruk. Bayangkan dunia berbeda seperti apa yang akan tercipta jika publik berpaling ke masa lalu, dan ke arkeolog, untuk menemukan solusi-solusi persoalan sosial, bukannya harapan fatalis bahwa masa lalu hanyalah sebuah prelude untuk kondisi buruk sekarang ini.

Istilah publik sebenarnya dapat dipecah-pecah menjadi pelbagai audiens dengan cara membedakan kepentingan dan harapan-harapan mereka. Meskipun jelas penting untuk mengidentifikasi harapan-harapan guna mengkomunikasikannya dengan masyarakat, bahkan jika pun sasarannya adalah untuk merubah mereka, namun hal tersebut tidak selalu mendesak untuk dilakukan. Hingga tingkat yang signifikan, pengunjung museum dan situs-situs arkeologi, peserta sarasehan, pemirsa televisi, dan pelanggan majalah mencari pengetahuan, bukannya untuk kesenangan semata. Sebagaimana dicatat oleh Matsuda, publik yang mengkonsumsi informasi arkeologis bukanlah subjek yang pasif dan tidak kritis (Samuel 1994, dalam Matsuda 2004: 73), dan kita sangat memerlukan “analisis yang rinci ... untuk menjelaskan bagaimana publik memperlakukan dan bernegosiasi dengan informasi arkeologis, dan bagaimana mereka berasimilasi atau menolaknya sesuai dengan kondisi-kondisi sosial mereka” (Matsuda 2004: 73). Pendidikan modern, yang mengakui bahwa harapan-harapan para pelajar telah dibentuk oleh standar-standar tayangan hiburan televisi, penuh dengan metode-metode berbagi informasi yang berhasil karena melibatkan dan tidak membosankan, tetapi tetap mengajarkan sesuatu (Burke dan Smith 2007). Tetapi para arkeolog juga harus mempertimbangkan apakah dalam analisis akhir mereka tidak lebih baik untuk menjadi sedikit tumpul ketimbang mendorong stereotip-stereotip paling buruk tentang dunia modern. Tentu saja merupakan hal yang buruk menyetir publik untuk kepentingan Arkeologi, tetapi alternatif-alternatif lainnya lebih buruk lagi.

Telah saya katakan di tempat lain (2008b) bahwa para arkeolog sekarang ini paling baik menganggap diri mereka sendiri, apakah untuk sebuah publik atau untuk satu sama lainnya, sebagai pendidik. Ini mungkin terlihat seperti menggunakan “model defisit” (Merriman 2004: 5) pada publik, jika dianggap bahwa publik tidak memiliki konsep tentang masa lalu dan hanya orang-orang tertentu yang memiliki pengetahuan sah tentang masa lalu. Namun demikian, hal ini tidak perlu dipermasalahkan jika para arkeolog menganggap pendidik sebagai salah satu segmen dari beberapa jenis publik dan mendefinisikan pendidikan sebagai sebuah strategi untuk berbagi pengetahuan yang bermanfaat. Para arkeolog meyakini bahwa pengetahuan mereka tentang masa lalu bernilai dan memiliki legitimasi karena sebagian besar dari mereka telah menghabiskan waktu mereka untuk memperoleh pengetahuan tersebut. Seperti kelompok-kelompok kepentingan lainnya, arkeolog memiliki hak untuk menyuarakan pendapat-pendapat mereka semeyakinkan mungkin dan tanggung jawab berbagi informasi penting. Orang-orang dengan keahlian dan minat alternatif memiliki hak dan tanggung jawab yang sama dalam sebuah masyarakat yang demokratis, dan penolakan untuk melibatkan diri secara sosial dengan perspektif yang berbeda lebih menyerupai sebuah indikasi sikap merendahkan ketimbang rasa hormat.

Menghormati Warisan Arkeologi

Memang benar bahwa baru belakangan inilah pelibatan komunitas dan publik mulai dipraktikkan dengan konsisten, dan meskipun gagasan tentang Arkeologi Komunitas bukanlah hal baru seperti yang ditunjukkan oleh Marshall (2002), penekanan secara eksplisit pada upaya-upaya untuk berbagi kontrol terhadap sumber daya-sumber daya arkeologi dengan komunitas-komunitas lokal merupakan hal yang relatif baru. Tetapi sebagian besar arkeolog meremehkan sejumlah kerja-kerja arkeologi berorientasi komunitas yang telah dijalankan dan tingkat komitmen dan kekakuan intelektual yang diterapkan pada publik telah melampaui batas sebelum generasi sekarang ini. Kenyataannya, para arkeolog seringkali membahayakan karir mereka dengan memberikan perhatian yang terlalu besar pada konteks sosial pekerjaan mereka dan tidak cukup untuk kemajuan ilmiah mereka di atas jenjang status mereka. Apa yang selalu benar, dan masih benar hingga derajat tertentu, adalah bahwa pelibatan komunitas telah menyebabkan turunnya status sosial yang umumnya berlaku dalam lingkaran akademis khususnya di antropologi atau sosiologi dan umumnya masih tidak dipertimbangkan sama sekali di arkeologi. Akibatnya, banyak yang telah dikerjakan menjadi bagian dari sejarah oral arkeologi yang tidak terkatakan dan terpublikasikan.

Pada tahun 1980, Daniel Miller mempublikasikan hasil surveinya tentang permukiman di Pulau Solomon dalam Current Anthropology yang berjudul Archaeology and Development. Dia bekerja di sebuah area yang luas, yang termasuk beberapa pulau, dan mewawancarai komunitas-komunitas yang hidup di sana. Proyeknya tersebut merupakan sebuah proyek Arkeologi Publik, bukan yang pertama tetapi yang pasti salah satu dari yang paling impresif dan sangat matang waktu itu dalam hal penjelasannya tentang perlunya membangun aliansi antara arkeolog dan pelbagai kelompok-kelompok kepentingan lainnya dan perlunya melibatkan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan terhadap manajemen warisan budaya. Beberapa sarjana yang cukup terkenal merespon dalam jurnal tersebut dengan nada yang agak skeptis, tetapi sebagian besar pada dasarnya setuju. Hal yang aneh tentang artikel ini adalah betapa sedikitnya yang mengetahuinya. Apakah para arkeolog khawatir atau tidak dengan dampaknya di luar bidang mereka , tampaknya mereka jelas tidak ingin terlihat khawatir.

Namun demikian, kajian-kajian serupa mulai banyak bermunculan dan publikasinya telah meledak dalam kurun waktu 10 tahun terakhir; sebagai contoh, arkeologi dan warisan budaya Maya telah dibahas oleh Cojti Ren (2006), Ehrentraut (1996), Euraque (1998), Fischer (1999), Hasemann and Lara Pinto (1993), Healy (1984), Hervik (1999), Joyce (2003), Luke (2006), Montejo (2005), Mortensen (2001, 2005), and Tercero (2006), dan ini bukanlah daftar yang lengkap. Di Australia, berdampingan dengan masyaraklat Aborigin, para arkeolog telah berjuang dengan cukup berhasil untuk memenangkan hak-hak orang Aborigin untuk mengontrol rekaman arkeologis mengenai warisan budaya mereka (Greer et al. 2002; Smith 2004). Para Antropolog arkeologis telah mempelajari hubungan komunitas-komunitas dengan penelitian arkelogis dan warisan budaya di Alaska (Hollowel 2006), Greece (Hamilakis 2007), and Brazil (Bezerra 2003) untuk menyebut beberapa diantaranya. Pada tahun 2002, jurnal Arkeologi Komunitas dengan tema Arkeologi Dunia (World Archaeology) (34(2)) yang diorganisir oleh Yvonne Marshall menyertakan artikel-artikel penting dan memiliki efek yang menajamkan disiplin ini. Daftar artikel yang dipresentasikan pada Kongres Arkeologi Dunia (WAC) pada tahun 2008 menunjukkan sebuah penanda mengenai ledakan kesadaran aktivisme para arkeolog yang sebelumnya tidak ingin dan tidak mampu membahas persoalan-persoalan tersebut (WAC 6 2008).

Kearifan yang terkumpul dari semua usaha-usaha tersebut memang memiliki nilai yang sangat penting, tetapi penekanannya masih cenderung pada keaslian tiap-tiap kajian, bukannya pada upaya untuk meningkatkan bank pengetahuan yang bermanfaat. Situasi yang sama dapat ditemukan dalam usaha-usaha yang dilakukan belakangan ini untuk memberikan penekanan pada antropologi publik, yang tidak diragukan lagi merupakan suatu hal yang baik, namun terlihat sebagai usaha untuk mengembalikan disiplin ini pada kearifan antropologi terapan. Perhatian serius pada pekerjaan yang dilakukan sebelumnya oleh arkeolog maupun antropolog terapan pastinya akan mengingatkan mereka pada pertanyaan (1) “kapan proyek pengembangan atau preservasi atau museum lokal ini akan selesai, akan mengalir kemana uangnya?” dan (2) “proyek tersebut ditujukan untuk komunitas yang mana saja, bagaimana komunitas-komunitas tersebut saling tumpang tindih, dan bagaimana mereka menegaskan posisi mereka?”

Struktur ekonomi komunitas-komunitas lokal merupakan produk budaya dan sejarah dan merefleksikan keragaman jenis ketamakan dan usaha-usaha filantropis yang mengarah pada gagasan tentang keadilan. Harus dikatakan bahwa struktur tersebut seringkali memerlukan perbaikan. Sekaranglah saatnya untuk bergerak menjauh dari asumsi implisit bahwa suatu ketika setiap orang akan baik pada yang lainnya (atau setiap orang mudah disuap atau setiap orang bersalah atau tidak bersalah) atau bahwa menghargai komunitas-komunitas masyarakat pribumi miskin yang menghadapi globalisasi memerlukan upaya untuk memelihara keluguan primordial mereka atau memulihkan sebuah masa lalu yang satu.

Horison A

Agar pelayanan kepada publik dan kolaborasi-kolaborasi komunitas dapat terlaksana, usaha-usaha tersebut harus dilekatkan dalam budaya lokal dan menjawab kebutuhan-kebutuhan untuk menjadi yang lain ketimbang “preservasi” atau “pariwisata” dalam pengertian yang abstrak. Untuk komunitas-komunitas yang mana saja museum diperuntukkan? Lokal? Penduduk Pribumi? Masyarakat Pewaris Budaya? Turis? Publik yang mana yang menjadi target audiensnya? Anak-anak? Pengunjung? Para penjarah? Pemimpin-pemimpin komunitas yang kaya? Orang-orang yang dirugikan atau yang miskin? Alasan proyek-proyek pelayanan publik gagal adalah karena proyek-proyek tersebut dirancang untuk menyelesaikan persoalan yang tidak bermakna bagi masyarakat yang hendak dijangkaunya dengan strategi-strategi yang bergantung pada tekanan dan investasi dari luar. Di atas semuanya, yang paling sering terjadi adalah arkeolog seringkali berusahan “membantu” sebuah komunitas lokal yang sebenarnya bukan sebuah komunitas, seperti juga halnya mereka meminta kelas yang termarginalkan secara ekonomi untuk melakukan hal-hal yang tidak menarik buat dan tidak dipahami oleh mereka (Bezerra 2003). Jadi, setiap proyek pelayanan publik dan kolaborasi komunitas harus dimulai dengan penelitian etnografis untuk mengungkap cara-cara mencapai sasaran proyek tersebut. Jika sasarannya adalah preservasi, maka arkeolog harus menjelaskan perspektif mereka dan bernegosiasi dengan orang-orang yang akan terkena dampak dari “preservasi tersebut” hingga mencapai sebuah kesepakatan tentang hal-hal apa tepatnya yang harus dipreservasi dan untuk siapa. Preservasi memiliki banyak definisi.

Pariwisata seringkali merupakan hal yang sangat baik untuk arkeologi dan komunitas, tapi tidak selalu seperti itu. Memerlukan beberapa perencanaan dan informasi etnografis untuk memastikan bahwa hal tersebut benar-benar membantu orang yang tepat, bukan hanya investor asing, dan mengirim pesan yang tepat, bukan hanya glorifikasi kekerasan atau raja-raja masa lalu, tetapi mempromosikan jenis-jenis pencapaian manusia yang lain yang membuat masyarakan bersedia menjadi bagian dari sebuah komunitas dan melibatkan diri dengan arkeolog dan pengunjung lainnya. Budaya Maya kuno telah dijual oleh para arkeolog dan Hollywood sebagai sebuah komunitas yang dahulu kala di suatu waktu adalah suku yang brutal dan suka berperang, sehingga sekarang orang-orang menganggap suku Maya sekarang ini sebagai pewaris sebuah budaya setan yang gagal. Hal ini sepenuhnya tidak benar; dibalik itu semua, suku Maya memiliki pencapaian-pencapaian yang tidak terbayangkan oleh sebagian besar orang, tetapi publik diberitahukan hal-hal yang ingin didengarkan oleh para pelancong. Dan orang-orang Maya terus-menerus dicirikan negatif. Dengan memberikan apa yang para pelancong inginkan, mungkin hal tersebut menghibur mereka. Tetapi dampak jangka panjangnya baik pada ekonomi pariwisata maupun standar hidup penutur Maya bukanlah hal yang positif.

Pada titik ini dalam sejarah, menjadi lebih jelas dari yang pernah dipahami sebelumnya bahwa mereka yang tidak melakukan usaha apa pun untuk membuat hal-hal menjadi lebih baik tidak kurang bersalahnya ketimbang mereka yang berusaha meskipun gagal. Jika para ilmuwan sosial telah mempelajari segala hal tentang masyarakat melalui penelitian-penelitian selama 100 tahun terakhir, kewajiban kitalah sekarang untuk mencoba menggunakan pengetahuan itu dan membaginya. Salah satu dari penemuan-penemuan itu adalah bahwa tidak pernah ada jalan tunggal untuk menciptakan sebuah komunitas dan memang tidak pernah terjadi dalam sejarah, meskipun beberapa strategi tidak diragukan lagi berfungsi lebih baik ketimbang strategi-strategi lainnya.


Diterjemahkan oleh Jusman Mahmud dari artikel K. Anne Pyburn yang berjudul: Engaged Archaeology. Whose Community? Which Public? dalam buku yang berjudul: New Perspectives in Global Publik Archaeology halaman 29-42

sumber: http://www.facebook.com/notes/jusman-mahmud/arkeologi-yang-terlibat-komunitas-seperti-apa-publik-yang-mana/10150931508522707?ref=notif&notif_t=note_reply