Minggu, 26 Agustus 2012

Intisari Arkeologi Publik

Pengantar: Perspektif-Perspektif Baru dalam Arkeologi Publik Global

oleh Jusman Mahmud pada 27 Agustus 2012 pukul 8:48 ·
Apa Arkeologi Publik Itu?

Sejak dari sangat awal, arkeologi selalu terkait dengan konstituen yang jauh lebih luas ketimbang para arkeolog semata. Sebagai contoh, ekskavasi-ekskavasi arkeologis telah mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kehidupan dan aktifitas masyarakat di sekitar proyek-proyek tersebut dilangsungkan. Objek-objek arkeologi telah diperdagangkan dan dikumpulkan oleh dan ditampilkan untuk publik umum. Penelitian arkeologi telah menghasilkan informasi dan pengetahuan yang luas, yang tidak hanya memiliki kontribusi pada formasi pemahaman publik tentang masa lalu, tetapi juga menjadi dasar berbagai identitas kolektif masyarakat. Namun demikian, hubungan antara arkeologi dan publik telah begitu lama diabaikan oleh mayoritas umum arkeolog, menganggapnya tidak relevan dengan tujuan studi mereka: memahami masa lalu. Lahirnya arkeologi publik pada tahun 1970-an – 1980-an dan perkembangannya pada tahun 1990-an dan awal abad ke-21 merupakan sebuah usaha untuk merubah situasi diskursus ini. Para pendukung arkeologi publik telah menggagas bahwa hubungan arkeologi dengan komunitas yang lebih luas seharusnya menjadi subjek pembahasan dan penelitian para arkeolog (Shadla-Hall 1999, 2004).

Bagaimana kemudian “arkeologi publik” didefinisikan? Pertanyaan ini merupakan sebuah persoalan yang perlu dibahas karena istilah arkeologi publik memiliki pengertian yang berbeda pada orang-orang yang berbeda (Ascherson 2006: 50-51); dalam buku yang Anda pegang ini, Pyburn (Bab 3), Wang (Bab 4), Lea dan Smardz Frost (Bab 5), Kwon dan Kim (Bab 7), Shoocongdej (Bab 8), Burke, Gorman, Mayes, dan Renshaw (Bab 11), Colwell-Chanthaphonh, Ferguson, dan Gann (Bab 18), dan Saucedo-Segami (Chap. 19) masing-masing menawarkan narasi dan pandangan yang berbeda, namun tidak berarti bertentangan, mengenai kemungkinan definisinya.

Ketika istilah “arkeologi publik” dimunculkan oleh McGimsey (1972) pada awal tahun 1970-an, pengertiannya lebih ditekankan pada usaha-usaha para arkeolog untuk merekam dan melindungi tinggalan-tinggalan arkeologis yang terancam oleh proyek-proyek pembangunan, atas nama dan bersama dukungan publik (McGimsey 1872: 5-6; lihat juga Merriman 2004a: 3; Schadla-Hall 1999: 146-147). Pandangan ini masih banyak digunakan di USA, di mana arkeologi publik dikaitkan dengan manajemen sumber daya budaya (CRM) yang dijalankan untuk kepentingan publik (Cleere 1989: 4–5; Jameson 2004: 21; McDavid dan McGhee 2010: 482; McManamon 2000: 40; White dkk. 2004). Tetapi di tempat lain, istilah ini telah menerima pemaknaan baru yang beragam (Ascherson 2006, 2010; McDavid dan McGhee 2010: 482). Sebagai contoh, sebuah jurnal yang diterbitkan pada tahun 2000 yang didedikasikan untuk subjek ini, diberi judul Public Archaeology, menyusun daftar tema berikut yang mendesak untuk segera dibahas sebagai persoalan utamanya: kebijakan-kebijakan arkeologis, pendidikan dan arkeologi, politik dan arkeologi, arkeologi dan pasar barang-barang antik, etnisitas dan arkeologi, keterlibatan publik dalam arkeologi, arkeologi dan hukum, ekonomi arkeologi, serta pariwisata budaya dan arkeologi (Public Archaeology, 2000: sampul dalam)

Beragamnya persoalan yang bersinggungan dengan arkeologi publik menyiratkan bahwa subjek ini merupakan bidang kajian yang sangat luas, tetapi dapat juga menjadi sumber kebingungan. Sebagai contoh, ketika diminta untuk menjelaskan apa sebenarnya yang dilakukan oleh arkeolog publik, beragam jawaban dapat muncul: misalnya, “mengkomunikasikan arkeologi ke publik,” “menjelaskan cara-cara arkeologi terhubung dengan publik,” membawa arkeolog ke/untuk publik,” dan “mengembalikan arkeologi kepada publik.” Beberapa bahkan kesulitan untuk menentukan apakah arkeologi publik merupakan sebuah bidang penelitian atau bidang praktis. Di samping situasi yang tampaknya membingungkan ini, kami ingin mengusulkan sebuah definisi tentang arkeologi publik yang sifatnya luas dan inklusif untuk buku ini. Alasannya sederhana: “publik” dan “arkeologi” memiliki pemaknaan yang berbeda di negara dan budaya yang berbeda.

Dari sebuah perspektif global, terdapat tiga alasan mengapa mode tunggal arkeologi sulit untuk disusun. Pertama, teori yang mendasari arkeologi bervariasi di seluruh dunia. Sebagai contoh, arkeologi di Amerika Utara sangat dipengaruhi oleh pemikiran antropologi, sementara di tempat lain, khususnya di Eropa, subjek ini terkait erat dengan sejarah (Hodder 1991: 9-11; Pyburn, Bab 3: 30). Selain itu, teori-teori prosesual dan posprosesual sangat mempengaruhi agenda arkeologi akademis di Amerika Utara, Britania, dan Australia, tetapi kurang berpengaruh di bagian-bagian dunia yang lain (Ucko 1995).

Kedua, praktik arkeologi berbeda-beda dari satu negara ke negara yang lain karena beragamnya kondisi sosial-politik dan ekonomi di negara-negara tersebut tempat para arkeolog bekerja. Di negara-negara maju, mayoritas utama ekskavasi dan penemuan arkeologi berlangsung pada sektor arkeologi penyelamatan, yang mana sebagai akibatnya sebagian besar arkeolog dapat dengan mudah memperoleh pekerjaan. Hal ini mengimplikasikan bahwa arkeologi sebagai sebuah profesi terikat dengan pekerjaan-pekerjaan pembangunan (Aitchison 2009; Okamura, Chap. 6; Schlanger and Aitchison 2010). Di sisi lain, di negara-negara berkembang, tidak cukup banyak arkeolog yang bergantung pada pekerjaan ekskavasi penyelamatan sebagai sumber penghasilan mereka, yang merefleksikan bahwa para arkeolog tidak begitu terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan pembangunan. Biasanya, di negara-negara ini, sebagian besar arkeolog profesional bekerja dan memiliki posisi di pemerintahan, universitas, lembaga penelitian dan museum, dan mereka ini terus-menerus bekerja dalam tekanan dengan kurangnya sumber daya manusia dan keuangan yang diperlukan untuk melakukan penelitian yang layak. Di beberapa negara, pariwisata yang mengapitalisasi sumber daya-sumber daya arkeologi menghasilkan pendapatan nasional atau lokal yang signifikan (lihat contoh Thailand dalam Schoocongdej, Bab 8) dan hal ini mempengaruhi praktik arkeologi yang mana mereka dituntut agar memberikan porsi yang lebih besar pada situs-situs dengan profil tinggi dan yang terawat dengan baik. Selain itu, jika sejumlah besar materi arkeologi masih belum diekskavasi, dan khususnya jika materi-materi arkeologi tersebut memiliki potensi nilai pasar yang tinggi, maka para arkeolog kemungkinan besar berurusan dengan pertarungan melawan penjarahan, yang juga akan mempengaruhi pekerjaan mereka.

Ketiga, makna arkeologi bagi masyarakat di tiap negara bergantung pada sejarah perkembangan arkeologi itu sendiri dalam konteks lokal. Persepsi publik tentang arkeologi seringkali terjalin dengan interpretasi dan interaksi masa lalu tradisi-tradisi lokal melalui budaya materi. Pandangan lokal seperti itu seringkali berakar dari tradisi yang jauh lebih tua dan lebih berpengaruh ketimbang arkeologi yang “ilmiah” (Gazin-Schwartz dan Holtorf 1999; Layton 1994; Matsuda 2010b; Smith dan Wobst 2005). Tiap sejarah setiap negara, khususnya apakah negara tersebut kolonisator atau yang dikolonisasi, pada akhirnya mempengaruhi makna arkeologi. Untuk negara-negara yang memiliki sejumlah materi arkeologi penting yang dibawa ke negara tersebut dari negara-negara lainnya, makna dan nilai penting arkeologi adalah sesuatu yang sepenuhnya berbeda dengan makna dan nilai pentingnya pada negara-negara tempat materi-materi tersebut berasal. Masyarakat pada kelompok kedua ini sekarang harus melakukan perjalanan ke negara-negara kelompok pertama untuk mengakses materi-materi arkeologi tersebut, yang pada banyak kasus merupakan contoh-contoh penting dan yang mungkin mereka pandang sebagai objek curian. Jelasnya, arkeologi itu tidak sama, baik dalam hal asosiasi maupun aksesibilitas, di seluruh dunia.

Makna publik juga dipahami berbeda di wilayah-wilayah yang berbeda di seluruh dunia. Kata “publik” dalam bahasa Inggris memiliki dua makna atau konotasi yang berbeda namun saling terkait, “officialdom” dan “the people,” dan konotasi ganda ini tampaknya menciptakan efek ambiguitas terhadap istilah “arkeologi publik” (Carman 2002: 96–114; Matsuda 2004; Merriman 2004a: 1–2). Karena arkeologi publik awalnya terbentuk dan berkembang di negara-negara berbahasa Inggris, negara-negara yang tidak berbahasa Inggris harus menemukan terjemahan yang tepat untuk memperkenalkan subjek ini ke dalam dimensi arkeologi mereka (Shepherd, 2005: 3), dan dalam proses ini makna ganda “publik” tersebut pada beberapa kasus telah menghadirkan kesulitan. Untuk bahasa-bahasa Eropa yang memiliki kata yang equivalen dengan kata “publik,” hal ini mungkin bukan sebuah persoalan (tetapi lihat Saucedo-Segami, Bab 19: 252), tetapi bagi bahasa-bahasa non-Eropa sulit untuk menangkap ambiguitas “arkeologi publik” ini. Sebagai contoh, di Jepang, kata Inggris “public” diterjemahkan sebagai kǒkyǒ, yang lebih dekat dengan konotasi “officialdom” ketimbang “the people.” Akibatnya, satu-satunya cara menyiratkan konsep ganda kata “the public” adalah dengan menggunakan kata Inggris tersebut yang dituliskan secara fonetikal paburikku; dengan demikian, arkeologi publik menjadi paburikku kokogaku. Dalam bahasa Asia Timur lainnya, Cina, terjemahan kata “public” juga sama problematisnya, tetapi solusi yang ditemukan pada kasus ini adalah dengan menawarkan dua terjemahan yang berbeda dari arkeologi publik untuk situasi-situasi yang berbeda: gongzhong kaoguxue (archaeology of the public) or gonggong kaoguxue (shared archaeology). Seperti dijelaskan oleh Wang:

Dua istilah tersebut memiliki makna yang berbeda, yang dengan demikian menyebabkan interpretasi yang berbeda dalam konteks yang berbeda oleh orang yang berbeda. Bagi pemerintah, arkeologi publik adalah tentang mengontrol arkeologi melalui legislasi dan pendanaan. Bagi para arkeolog, hal tersebut tentang komunikasi dan jejaring. Bagi publik umum, hal tersebut tentang hak untuk menggunakannya.

Pada akhirnya, makna kata “publik” merefleksikan cara-cara masyarakat tertentu mengembangkannya dalam konteks sosial dan politik yang berbeda, yang juga mempengaruhi bagaimana arkeologi dan aktifitas-aktifitas yang terkait dengannya bekerja dan berkembang. Ketika cara pandang seperti ini dijadikan sebagai bahan pertimbangan, terjemahan “arkeologi publik” bahkan menjadi lebih rumit dan pengenalan gagasan-gagasan dibalik istilah ini ke negara-negara bukan berbahasa Inggris (non-Anglophone) bahkan lebih memiliki banyak tantangan. Godaan yang sering muncul di sini adalah untuk fokus hanya pada hal-hal yang terdapat di negara mana pun itu, yaitu ketentuan dan kontrol resmi arkeologi dalam kepentingan publik, dan memperlakukannya sebagai definisi universal arkeologi publik. Namun demikian, mengadopsi definisi yang otoritatif dan dangkal seperti itu akan mengeluarkan beragam kemungkinan arkeologi publik, khususnya yang dapat mendorong dan memperkuat anggota publik untuk membangun dan mengekspresikan kisah masa lalu mereka (Holtorf 2005a).

Dalam pandangan di atas, sebagai editor buku ini, kami mempertimbangkan bahwa dalam melakukan pendekatan terhadap arkeologi publik dari sebuah perspektif global, kami mengadopsi sebuah definisi yang sifatnya seluas dan seinklusif mungkin. Dengan demikian, kami mendefinisikan arkeologi publik sebagai sebuah subjek yang menjelaskan hubungan antara arkeologi dan publiknya, dan kemudian memperbaikinya. Beberapa poin harus dibuat mengenai definisi tentatif ini. Pertama, ada penelitian tentang hubungan arkeologi – publik, yang kemudian diikuti dengan tindakan untuk memperbaiki hubungan tersebut, dan penelitian lagi, yang diikuti oleh tindakan, dan begitu seterusnya. Penelitian melibatkan pengumpulan dan analisis data yang dapat mengambil bentuk penelitian berdasarkan praktik, tetapi yang penting adalah hal tersebut ditujukan untuk membawa perubahan – beberapa perbaikan – dalam hubungan arkeologi dengan publik. Perlu dicatat bahwa wacana arkeologi publik yang paling baru tidak semata mendeskripsikan berbagai hubungan arkeologi-publik tetapi juga secara aktif merubah hubungan tersebut dan mengembangkannya.
Perubahan dalam hubungan arkeologi-publik tidak secara otomatis muncul dari penelitian: hal tersebut memerlukan tindakan yang akan ditemukan melalui penelitian tersebut. Sebagai contoh, tindakan tersebut dapat diciptakan dalam bentuk praktik yang menawarkan pendidikan dan informasi arkeologi kepada publik yang lebih luas, yang melibatkan anggota-anggota publik dalam penelitian arkeologi, dan menyertakan publik dalam diskusi dan lobi-lobi dan juga “kritik” yang lebih ilmiah (Grima 2009: 54). Kami menganggap bahwa mengambil tindakan seperti itu merupakan elemen penting arkeologi publik. Pada akhirnya, kami dengan demikian melihat arkeologi publik sebagai sebuah komitmen yang dibuat oleh para arkeolog untuk membuat arkeologi lebih relevan pada masyarakat kontemporer.

Pendekatan yang Beragam Untuk Arkeologi Publik

Dengan menerima definisi arkeologi publik yang sifatnya luas dan inklusif, dapat diasumsikan bahwa subjek ini dapat didekati dengan cara yang beragam. Apa kemudian pendekatan-pendekatan tersebut? Dengan menarik pembahasan pada cara-cara ilmu pengetahuan terhubung dengan masyarakat yang lebih luas, Merriman (2004a: 5-8) dan Holtorf (2007: 105-129) masing-masing menawarkan dua dan tiga model untuk menjelaskan bagaimana arkeologi terikat dengan publik umum. Mengulas secara singkat model-model ini akan bermanfaat karena pengaruhnya merepresentasikan pendekatan-pendekatan yang berbeda pada arkeologi publik.

 “Model defisit” Merrimen menyiratkan bahwa arkeolog seharusnya melibatkan diri dengan publik sehingga “lebih banyak masyarakat akan memahami apa yang sedang dicoba untuk dilakukan oleh para arkeolog, dan akan lebih mendukung kerja-kerja mereka” (Merriman 2004a: 5; lihat juga Grima 2009). Dalam model ini, pendidikan publik memainkan sebuah peran penting dalam memberikan informasi kepada publik mengenai cara-cara mereka dapat – dan pada tingkat tertentu harus – memberi apresiasi pada arkeologi. Apa yang disebut oleh Merriman sebagai “model perspektif beragam,” di sisi lain, menyiratkan bahwa arkeolog seharusnya berusaha melibatkan diri dengan publik untuk “mendorong realisasi diri guna memperkaya kehidupan masyarakat dan meransang refleksi dan kreatifitas mereka” yang bertujuan untuk mencapai realisasi yang lebih luas, ketimbang memaksa mereka “mengikuti sebuah agenda tunggal” (Merriman 2004a: 7).
Holtorf mengusulkan “model pendidikan,” “model hubungan-hubungan publik,” dan “model demokratis.” “Model pendidikan” yang diusulkannya menyatakan bahwa para arkeolog harus membuat sebanyak mungkin orang “untuk datang melihat masa lalu dan pekerjaan arkeolog dalam pengertian yang sama seperti para arkeolog profesional itu sendiri.” (Holtorf, 2007: 109) sedangkan “model hubungan-hubungan publiknya” menyatakan bahwa para arkeolog harus berusaha memperbaiki citra arkeologi di mata publik untuk mendorong lebih banyak lagi dukungan politik, ekonomi dan sosial untuk hal tersebut (Holtorf, 2007: 107, 114 – 119). Berkebalikan dengan kedua model ini yang sama-sama melihat publik sebagai subjek pendidikan atau lobi – dengan kata lain sebagai sebuah entitas yang diberikan padanya informasi oleh para arkeolog – “model demoratis” Holtorf menyatakan bahwa para arkeolog harus mengundang, mendorong, dan memungkinan setiap orang untuk secara bebas mengembangkan antusiasmenya sendiri dan kepentingan ‘akar rumput’ pada arkeologi (Holtorf, 2007: 119)

Dengan membandingkan kelima model yang ditunjukkan di atas, dapat dicatat bahwa model defisit Merriman dapat dibagi lagi secara konseptual ke dalam model hubungan-hubungan publik dan model edukasi Holtorf, sedangkan model perspektif beragamnya dapat diperbandingkan dengan model demokratis Holtorf (Gambar 1.1). Ini menyatakan bahwa ketiga model yang dikembangkan oleh Holtorf menampilkan versi dua model Merriman yang telah disaring. Dengan mempertimbangkan bahwa penyaringan model arkeologi-publik seperti itu membuat pemahaman tentang arkeologi publik menjadi lebih bernuansa, kami ingin mengajukan penyaringan tambahan di sini, yang tujuannya adalah untuk membedakan antara pendekatan “multivokal” dan “kritis” dalam perspektif beragam Merriman/model demokratis Holtorf. Meskipun kedua pendekatan ini seringkali dianggap progresif dan “kekiri-kirian” dalam pengertian teoritis, terdapat perbedaan pada keduanya, yang, dalam efeknya, sejajar dengan perbedaan antara epistomologi hermeneutik dan kritis dalam teori arkeologi (Hodder 2002; Preucel 1995).

Pendekatan kritis, sebagaimana tersirat dari namanya, berakar dari sebuah epistomologi kritis dan fokus pada pertanyaan tentang “kepentingan siapa saja yang dilayani oleh sebuah interpretasi tertentu masa lalu” (Hodder 2002: 79; lihat juga Hamilakis 1999a, b; Shackel 2004: 3–6; Shanks and Tilley 1987; Ucko 1990: xiii–xvi). Dengan menggemakan “teori kritis” yang berkembang dalam ilmu-ilmu sosial (Calhoun 1995; Horkheimer 1995 [1937]), pendekatan ini bertujuan untuk menyingkap dan menantang mekanisme sosio-politik yang menopang praktik-praktik dan interpretasi-interpretasi arkeologi tertentu, yang membantu mereproduksi dominasi yang diistimewakan secara sosial terhadap mereka yang takhluk secara sosial. Contoh-contoh pendekatan ini dapat ditemukan pada karya-karya yang dikerjakan di bawah bendera arkeologi kritis dan poskolonial (Leone et al. 1987; McDavid 2004; Shackel and Chambers 2004), “arkeologi dari bawah” (Faulkner 2000), and lainnya (Bender 1998).

Pendekatan multivokal, di sisi lain, berakar dari epistemologi hermeneutik dan bertujuan untuk menggali keragaman dalam pembacaan budaya materi masa lalu. Pada praktiknya, para arkeolog publik yang mengadopsi pendekatan ini berusaha untuk mengidentifikasi dan mengakui berbagai interpretasi materi-materi arkeologis yang disusun oleh individu-individu dan kelompok-kelompok sosial yang berbeda dalam berbagai konteks masyarakat kontemporer (sebagai contoh, Hodder 1998a; Holtorf 2005b: Bab 6). Dengan kata lain, mereka berusaha untuk memperoleh sebuah pemahaman menyeluruh mengenai makna budaya materi masa lalu terhadap masyarakat, yang dapat dibedakan dengan tujuan pendekatan kritis yang bertujuan untuk menyoroti makna tertentu dari masa lalu, terkadang digunakan pada kelompok-kelompok yang teristimewakan secara sosial untuk menghadapi dominasi sosio-politik mereka (Faulkner 2000) dan di waktu yang lain digunakan untuk kelompok-kelompok yang termarginalisasi secara sosial guna membantu mereka mencapai pengakuan sosio-politik. (Bender 1998; McDavid 2004). Pada dasarnya, pemisahan pendekatan kritis dan multivokal yang dinyatakan di sini dapat diperbandingkan dengan perbedaan antara dua posisi dalam sayap “kiri” intelektual: kiri tradisional dan kiri liberal posmodern.

Dengan demikian, dari penggambaran dan penyulingan model-model yang diajukan oleh Merriman dan Holtorf, kita dapat mengidentifikasi adanya empat pendekatan untuk arkeologi publik: (1) pendidikan, (2) hubungan-hubungan publik, (3) kritis, dan (4) multivokal (Gambar 1.1.). Harus ditekankan bahwa semua pendekatan ini ditujukan untuk membuat arkeologi menjadi lebih relevan bagi publik umum. Namun demikian, keputusan tentang pendekatan yang mana yang akan digunakan – atau yang lebih realistis, pendekatan yang mana yang menjadi prioritas ketimbang lainnya – pada akhirnya ditentukan oleh perkembangan bentuk khusus arkeolog publik dalam tiap konteks. Dalam cahaya pemikiran seperti ini, salah satu tugas penting yang harus dilakukan dalam membawa arkeologi publik dari sebuah perspektif global adalah mengidentifikasi pendekatan yang mana yang lebih sesuai di setiap negara/wilayah dan menimbang implikasi-implikasinya. Sebagai contoh, jika pendekatan pendidikan atau hubungan-hubungan publik yang paling ditekankan, maka masuk akal mengasumsikan bahwa arkeologi publik di negara/wilayah itu lebih berorientasi praktis; dan sama halnya jika pendekatan kritis atau multivokal yang diprioritaskan, publik arkeologi akan menjadi lebih beorientasi teoritis: ini merupakan indikator-indikator penting tentang cara-cara arkeologi bekerja dan hal tersebut terletak dalam setiap masyarakat. Dengan demikian, dengan memeriksa ciri-ciri dan wacana-wacana arkeologi publik di negara-negara/wilayah-wilayah yang berbeda dan kemudian membandingkannya dengan yang terjadi di seluruh dunia, kita pada akhirnya akan mampu memahami letak subjek tersebut berdiri hari ini dalam konteks global.

Mengapa Perlu Menguji Arkeologi Publik dari Sebuah Perspektif Global?

Terdapat beberapa publikasi pelopor yang berangkat dari aspek-aspek tertentu sudut pandang internasional tentang arkeologi publik – sebagai contoh, pendidikan arkeologis (Stone and Molyneaux 1994; Stone and Planel 1999), arkeologi komunitas (Marshall 2002), dan CRM (Cleere 1984, 1989; McManamon and Hatton 2000; Messenger and Smith 2010). Namun demikian, subjek ini secara keseluruhan belum teruji secara mendalam dari sebuah perspektif global (tetapi lihat Merriman, 2004b). Karena buku ini ditujukan sebagai sebuah katalis untuk memulai sebuah pengujian komparatif terhadap arkeologi publik di seluruh dunia, akan sangat berharga sekali mempertimbangkan mengapa sebuah perspektif global seperti itu penting untuk diadopsi.

Hal pertama yang perlu diingat kembali adalah bahwa perkembangan arkeologi publik itu tidak beragam dan tidak setara di seluruh dunia. Dengan kejelasan seperti ini, definisinya diterima secara umum, subjek ini telah muncul pada saat-saat yang berbeda di negara-negara dan wilayah-wilayah yang berbeda, seringkali terima kasih dialamatkan kepada usaha-usaha orang-orang tertentu yang telah menjadikan arkeologi menjadi lebih baik dalam masyarakat modern (lihat, sebagai contoh, kasus Kanada dalam Lea dan Smardz, Bab 5). Meskipun, seperti yang telah dikatakan sebelumnya, arkeologi publik pada awalnya diusulkan dalam kaitannya dengan CRM di USA pada tahun 1970-an, subjek ini dengan segera diperkenalkan di Inggris, Australia dan negara-negara berbahasa Inggris lainnya, yang secara bertahap memperluas cakupannya jauh dibalik CRM. Artikel Lea dan Smardz Frost (Bab 5) menawarkan sebuah kritik dan pengujian yang detail terhadap proses ini di Kanada.

Pada sekitar permulaan abad ke-21, arkeologi publik mulai menarik minat para arkeolog di negara-negara bukan berbahasa Inggris, dan usaha-usaha dilakukan untuk menggabungkannya ke dalam arkeologi lokal. Akan lebih baik mengatakan bahwa penyebaran global arkeologi publik masih terus berlangsung, sebagaimana diperlihatkan oleh publikasi-publikasi terkini mengenai subjek ini yang sedang bangkit oleh para arkeolog di berbagai belahan dunia (Bonacchi 2009, Fredrik dan Wahlgren 2008; Funari 2001, 2004; Green et al. 2001; Guo dan Wei 2006 [disebutkan dalam Wang, Bab 4]; Matsuda 2005, 2010a), termasuk bab-bab dalam buku ini.

Dalam pandangan di atas, dapat dinyatakan bahwa nilai penting membawa arkeologi publik dari sebuah perspektif global berasal dari kebutuhan untuk menguji sejauh mana subjek ini dikenal oleh para arkeolog di berbagai negara/wilayah di dunia, sama halnya dengan penerimaan dan adaptasinya di setiap konteks lokal. Untuk menekankan poin ini, akan bermanfaat untuk mengetahui apakah faktor-faktor yang berperan pada perkembangan arkeologi publik di Amerika Utara, Inggris dan Australia dapat diterapkan pada bagian-bagian dunia lainnya.

Dengan mencari dalam literatur yang menganalisis pertumbuhan arkeologi publik di wilayah atau negara-negara tersebut sejak tahun 1970-an (Ascherson 2000; Jameson 2004; Merriman 2002, 2004a; Schadla-Hall 1999, 2006; Shackel 2004), dapat diidentifikasi bahwa terdapat tiga faktor yang dapat menjelaskan hal ini: (1) perkembangan teori-teori arkeologi, khususnya teori-teori posprosesual, yang menekankan bahwa praktik dan interpretasi arkeologi tidak terlepas dari ideologi-ideologi kontemporer dan bahwa terdapat banyak pendekatan untuk memahami tinggalan-tinggalan arkeologis, termasuk pendekatan-pendekatan yang tidak didasarkan pada metode-metode dan metodologi arkeologi; (2) wacana poskolonial mengenai “politik masa lalu” (Gathercole and Lowenthal 1990), yang mana telah banyak arkeologi melibatkan diri dalam wacana ini terkait dengan interpretasi dan manajemen heritage arkeologis; (3) terus meningkatnya ekonomi yang didorong oleh pasar dalam masyarakat modern yang telah menyebabkan berkembangnya industri heritage di satu sisi dan meningkatnya kesadaran tentang perlunya melakukan kerja-kerja arkeologis dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan secara finansial dan pada publik di sisi lain.

Namun demikian, masih dipertanyakan apakah ketiga faktor yang diuraikan di atas dapat diterapkan secara langsung di luar Amerika Utara, Inggris dan Australia. Sebagaimana telah disebutkan, arkeologi posprosesual berpengaruh di ketiga wilayah ini, tetapi kurang demikian di belahan-belahan lainnya di dunia (Hodder 1991; Ucko 1995). Akibatnya, diskusi-diskusi mengenai politik praktis, interpretasi arkeologis, dan keberagaman suara mengenai bukti arkeologis belum secara aktif dikejar oleh para arkeolog di negara-negara bukan berbahasa Inggris tersebut, karena mereka merasa belum harus melihat persoalan-persoalan tersebut sebagai salah satu hal yang harus menjadi fokus kajian arkeologi.

Sejauh mana tingkat wacana poskolonial politik masa lalu telah dibawa ke dalam arkeologi juga beragam di seluruh dunia, yang merefleksikan pengalaman-pengalaman masa lalu kolonial yang berbeda, dan terkadang bahkan tidak hadir, di tiap negara/wilayah. Sebagai contoh, meskipun sekarang ini telah banyak arkeolog yang memusatkan perhatian mereka pada hak-hak penduduk asli di Amerika, Australia dan Afrika untuk menggunakan dan mengakses warisan budaya nenek moyang mereka, hak-hak tersebut kurang dipertimbangkan dan dibahas dalam hubungannya dengan warisan budaya nenek moyang orang-orang Eropa; hal ini masih dapat diperdebatkan karena “penduduk asli” Eropa telah diistimewakan dari “imigran-imigran” yang lebih baru datang ” (Tarlow 2001: 252; lihat juga Kuper 2003: 390; Merriman 2004a: 14). Namun, negara-negara di Asia Barat dan Selatan mengalami variasi kolonialisme yang beragam (Barlow 1997; Bastin and Benda 1968), meskipun begitu negara-negara tersebut jarang disebut dalam pembahasan-pembahasan mengenai arkeologi dan poskolonialisme. Secara umum, para arkeolog di negara-negara tersebut tampaknya malu-malu melibatkan diri dengan masa lalu kolonial mereka (tetapi lihat Mizoguchi 2010; Pai 2010).

Tidak seperti dua faktor dalam perkembangan arkeologi publik di negara-negara berbahasa Inggris yang telah disebutkan sebelumnya, ekspansi ekonomi yang digerakkan oleh pasar merupakan sebuah fenomena global yang masih dapat diperdebatkan. Jauh lebih aman mengatakan bahwa sekarang ini tekanan pada arkeologi jauh lebih besar ketimbang sebelumnya, di seluruh dunia, untuk membenarkan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh kegiatan-kegiatannya. Hal ini merupakan kasus di mana sejumlah besar dana publik dihabiskan pada pekerjaan arkeologis, tetapi bahkan jika pun biaya-biaya tersebut dibebankan pada sponsor-sponsor swasta, sponsor-sponsor tersebut sekarang ini tidak akan membiarkan para arkeolog berkonsentrasi sepenuhnya pada karya-karya ilmiah tetapi akan meminta mereka menunjukkan manfaat dari pekerjaan mereka untuk audiens yang lebih luas. Dalam perkembangan seperti itu, arkeologi menjadi lebih terbuka dieksploitasi oleh industri heritage. Terdapat individu-individu, termasuk para arkeolog, dan korporasi-korporasi, yang jumlahnya terus meningkat, yang menjadi tertarik mengembangkan usaha melalui penjualan “komoditas-komoditas arkeologi” (Moshenska 2009) dengan cara-cara yang beragam. Namun demikian, penting untuk diingat bahwa ekspansi global ekonomi pasar sekali lagi memiliki pengaruh yang berbeda pada bagian-bagian dunia yang berbeda, yang pada akhirnya memberi pengaruh yang berbeda pada arkeologi di seluruh dunia. Sebagai contoh, dapat diduga bahwa publik di negara-negara yang pasarnya lebih terbuka akan mengharapkan arkeologi menghasilkan manfaat yang sifatnya lebih langsung, bahkan dalam pengertian moneter. Ekspektasi seperti itu lebih kecil di negara-negara yang pasarnya diatur dengan cara yang lebih ketat oleh negara.

Dengan demikian, ketiga faktor yang telah berperan pada pertumbuhan arkeologi publik di Amerika Utara, Inggris dan Australia kemungkinan memiliki pengaruh yang berbeda pada perkembangan subjek ini di bagian-bagian dunia yang lain. Pergeseran menuju ekonomi yang digerakkan oleh pasar yang sedang berlangsung di seluruh dunia telah meningkatkan tekanan pada arkeologi di sebagian besar, jika bukan semuanya, negara-negara agar berhenti hanya melayani komunitas intelektual kampus dan agar menunjukkan secara eksplisit nilainya bagi masyarakat kontemporer dan meningkatkan nilai tersebut untuk ke depannya; artikel Shoocongdej (Bab 8), sebagai contoh, menyebutkan adanya penggunaan arkeologi secara ekstensif di Thailand guna pengembangan wisata heritage. Dalam konteks ini, arkeolog publik dianggap bermanfaat oleh arkeolog dan publik umum dengan cara seperti itu karena hal tersebut tampaknya mampu mempengaruhi peningkatan “manfaat publik” arkeologi (Little, 2002). Dengan demikian, kita dapat mengharapkan agar lebih banyak lagi elemen-elemen arkeologi publik disertakan dalam projek-projek arkeologis di seluruh dunia pada tahun-tahun yang akan datang, bukan semata-mata karena hal ini dapat menjadi sebuah cara untuk mengamankan pendanaan untuk arkeologi.

Namun demikian, persoalan yang lebih fundamental adalah hal-hal yang akan terjadi dengan kondisi arkeologi publik yang “terlalu melihat kegunaan” ini – apakah, misalnya, subjek ini akan berubah substansinya ketika menyebar ke seluruh dunia, dan jika demikian bagaimana caranya. Seperti yang telah dinyatakan di atas, arkeologi publik sejauh ini sebagian besar telah berkembang di negara-negara berbahasa Inggris, di mana arkeologi posprosesual dan wacana poskolonial telah mempengaruhinya. Belum terlihat bagaimana subjek ini akan berkembang ketika diterapkan di wilayah-wilayah dunia yang baru, di mana arkeologi disokong oleh teori-teori berbeda dan beroperasi di bawah kondisi-kondisi sosio-politik yang berbeda; poin ini disoroti dengan jelas dalam artikel Wang (Bab 4), Okamura (Bab 6), Kwon dan Kim (Bab 7), Shoocongdej (Bab 8), dan Saucedo-Segami (Bab 19), yang menampilkan kondisi-kondisi arkeologi publik yang berbeda di Cina, Jepan, Korea Selatan, Thailand dan Peru secara berturut-turut.

Yang kemudian memperumit situasinya, beberapa arkeolog melakukan projek-projek arkeologi internasional dan melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan arkeologi publik di luar negeri, seperti yang dicontohkan dalam studi kasus Matsuda (Bab 13). Sebagian besar projek ekskavasi internasional ini dilakukan oleh para arkeologi yang berasal dari negara-negara maju di negara-negara berkembang (lihat Saucedo-Segami, Bab 19: 252; Shoocongdej, 2006), dan warisan arkeologi kolonial yang tampak jelas pada tahun-tahun belakangan ini telah dipertanyakan oleh para arkeolog dengan pikiran yang reflektif dan kritis (Gero, 2006). Dalam merespon situasi seperti ini, beragam jenis kegiatan arkeologi publik yang bersifat tambahan dan “penggantian kerugian” sekarang ini telah diimplementasikan bersama-sama dengan kerja penelitian arkeologi yang utama dalam projek-projek ekskavasi internasional. Aktifitas-aktifitas tersebut mulai dari pencapaian sederhana, kerja kolaboratif yang diselenggarakan bersama-sama dengan komunitas-komunitas lokal, hingga penelitian sosiologis dan etnografis tentang interaksi antara pekerjaan arkeologis dan masyarakat lokal (Bartu, 2002; Matsuda, Bab 13; Shankland, 1996, 2000). Inisiatif-inisiatif arkeologi publik seperti itu diikat untuk merubah hubungan antara arkeologi dan publik di setiap lokalitas dan, jika hasilnya signifikan, dapat juga mempengaruhi cara arkeologi publik berkembang di negara tuan rumah. Bersama kemajuan globalisasi, dapat diharapkan lebih banyak lagi projek-projek ekskavasi skala internasional ke depannya, dan hal ini merupakan alasan lainnya mengapa penting melihat arkeologi publik dari perspektif global.

Bagaimana Mengatasi Masa Lalu yang Berbeda, Terfragmentasi?

Persoalan yang penting untuk diketahui dalam arkeologi publik global adalah apakah pendekatan multivokal dan/atau kritis “demokratis” yang telah dibahas pada bagian awal dapat diterima, mungkin dengan beberapa pengaturan, di luar negara-negara berbahasa Inggris. Dasar teoritis yang menyangga kedua pendekatan tersebut – masa lalu dapat diinterpretasikan dengan cara yang berbeda oleh kelompok-kelompok sosial yang berbeda – belum berakar kuat bahkan dalam arkeologi publik di negara-negara berbahasa Inggris, dan hal ini terutama disebabkan sulitnya menyepakati kriteria yang digunakan dalam menaksir ketepatan setiap interpretasi masa lalu (Lampeter Archaeology Workshop 1997: 172–173). Sederhananya, kriteria tersebut dapat berupa bukti material, akurasi ilmiah, konteks budaya, keterwakilan, keadilan sosial atau campuran dari itu semua; hal ini dengan jelas menyatakan bahwa menginterpretasikan masa lalu bukanlah semata sebuah tindakan keilmuan (ilmiah), tetapi juga tindakan sosial dan budaya. Dengan demikian, berhadapan dengan cerita masa lalu yang berbeda yang dimiliki oleh kelompok-kelompok sosial yang berbeda seringkali berujung pada keterlibatan politik, apakah itu lokal, nasional atau internasional. Penyebaran global arkeologi publik dalam kaitannya dengan hal ini menjadi menarik, karena pada akhirnya memunculkan pertanyaan-pertanyaan di tiap negara/wilayah mengenai sejauh mana arkeologi atau para arkeolog harus terlibat dalam “politik masa lalu.”

Bab-bab dalam buku ini menyiratkan bahwa terdapat dua cara bagi arkeologi publik berhadapan dengan “masa lalu-masa lalu yang berbeda.” Salah satunya adalah berusaha menciptakan sebuah narasi masa lalu yang di dalamnya kelompok-kelompok kepentingan yang beragam dapat mengakuinya, seperti yang dicontohkan melalui studi kasus New Caledonia oleh Sand, Bole dan Ouetcho (Bab 9) dan Pulau Goree di Senegal oleh Thiaw (Bab 10). Mengintegrasikan cerita-cerita masa lalu yang beragam merupakan hal yang penting secara politik karena hal tersebut membantu mengatasi perbedaan dan antagonisme di antara kelompok-kelompok identitas (Archibald 1999: Bab 5) dan menciptakan serangkaian kompromi. Thiaw (Bab 10: 135) mendeskripsikan usahanya menyusun sebuah sejarah bersama dan inklusif dari Pulau Goree sebagai berikut:

(S)ejarah Goree dicirikan oleh kepentingan kelompok-kelompok yang beragam dengan status sosial yang berbeda, juga oleh identitas rasial, budaya dan nasional. Selama bertahun-tahun, tiap identitas yang berbeda tersebut telah mengembangkan sebuah agenda peringatan yang sifatnya selektif, yang pada saat bersamaan menyembunyikan pengalaman-pengalaman dan ingatan-ingatan identitas-identitas yang lain. Pertanyaannya adalah: bagaimana mengapresiasi dan memperingati pengalaman-pengalaman dan kontribusi-kontribusi semua kelompok tanpa melakukan marginalisasi?

Terdapat juga sebuah pertanyaan yang lebih mendasar tentang apakah arkeologi harus aktif mengambil bagian dalam proses politik untuk mengunifikasi masyarakat. Sand, Bole dan Ouetcho (Bab 9: 123) mengartikulasikan “dilema” ini ketika bekerja di New Caledonia yang multietnis dan multikultur dalam bentuk sebuah pertanyaan:

(A)pakah para arkeolog berperan menyediakan masyarakat sipil data historis yang menawarkan sebuah visi yang bersifat membangun secara budaya dan bermanfaat secara sosial, tetapi pada saat yang sama tidak terelakkan lagi“termanipulasi” secara politis?
Terdapat alasan yang masuk akal untuk berhati-hati terhadap penggunaan arkeologi secara politis karena “penyalahgunaannya” dapat memiliki pengaruh yang merusak bagi masyarakat (sebagai contoh, Arnold, 1990; Lal, 2001; Rao dan Reddy, 2001; Sharma, 2001), terkadang bahkan menempatkan mereka dalam bahaya fisik, khususnya ketika nasionalisme dilibatkan di dalamnya (Kohl dan Fawcett, 1995; Kohl dkk., 2007). Namun, jika menerima bahwa arkeologi apa pun itu bekerja di bawah pengaruh sosial dan politik masyarakat modern (lihat Kwon and Kim, Bab 7: 90; Shoocoongdej, Bab 8: 97–99) dan bahwa hal tersebut sebaliknya dapat berkontribusi pada keberlanjutan dan perbaikan, setidaknya sebagian, struktur sosial tersebut, maka persoalannya bukan lagi tentang cara-cara menghindari keterlibatan politik, tetapi lebih pada cara-cara “mengambil posisi” (Hodder, Bab 2), yang mengasumsikan tanggung jawab sosial arkeologi dalam melibatkan diri dengan kelompok-kelompok dan masa lalu-masa lalu berbeda. Mengenai hal ini, Hodder berpendapat (Bab 2: 26):

Tidak cukup dengan mengatakan bahwa arkeolog adalah mediator yang relatif tidak memiliki kekuatan yang kerjaannya hanya mempertemukan para stakeholder. Tidak mungkin menjadi netral di antaranya. Para arkeolog memiliki pengaruh sebagai ahli yang profesional, dan mereka harus mengakui bahwa tidakan-tindakan mereka sebagai ahli berpengaruh pada dunia yang mana mereka turut bertanggung jawab di sana.
Cara lainnya berhadapan dengan masa lalu-masa lalu yang berbeda adalah dengan berusaha menyuarakan masa lalu-masa lalu yang ter(di)abaikan. Hal ini dapat berarti usaha mendukung dan mempromosikan masa lalu-masa lalu yang ditekan secara politis – sejalan dengan pendekatan kritis – atau menggali cerita-cerita masa lalu yang relevan secara sosial yang telah dikeluarkan dari pertimbangan arkeologis karena sifatnya yang tidak ilmiah. Sebagai contoh untuk yang pertama, artikel Badran (Bab 15) menyiratkan bahwa satu dari empat alasan dikeluarkannya masa lalu kuna dalam kurikulum kewarganegaraan utama orang-orang Jordan adalah “penggunaan masa lalu secara ideologis” yang ditujukan untuk memelihara nasionalisme Arab dan mendukung penguasa Hashmite. Dia mendesak agar arkeologi diperkenalkan dalam pendidikan formal di Jordan sehingga para siswa dapat “mengapresiasi sepenuhnya kekayaan masa lalu mereka,” termasuk masa lalu non-Arab dan non-Islam. Dalam sebuah contoh yang sedikit berbeda namun masih analog, Murata (Bab 17) menjejaki lintasan pendidikan sejarah pada kurikulum sekolah orang-orang Jepang dan menunjukkan adanya “peleburan yang aneh nasionalisme dan neo-liberalisme” dalam kebijakan pendidikan jepang di tahun-tahun belakangan ini. Sebagai sebuah strategi untuk melawan kecenderungan nasionalis yang terus meningkat dalam kurikulum tersebut, dia mendesak untuk memperkuat pembelajaran berbasis lokal melalui arkeologi pada pendidikan sekolah.

Contoh-contoh untuk yang kedua diberikan dalam empat artikel dalam buku ini. Burke, Gorman, Mayes, dan Renshaw (Bab 11) memeriksa sejarah oral permukiman-permukiman yang dulunya mengalami serangan udara, bernama Rapat (Rapat air-raid shelters) di Adelaide dan melihat betapa pentingnya “mitos-mitos sosial” tersebut berhubungan dengan permukiman-permukiman komunitas lokal. Hal ini menjadikan ketiganya mempertimbangkan kembali peran arkeologi dalam “tindakan mengingat kolektif masyarakat” tersebut, dan mereka menyimpulkan bahwa investigasi arkeologis untuk mengungkap “kebenaran” permukiman-permukiman tersebut akan menghilangkan mitos-mitos sosial mereka, dan dengan demikian berpotensi memperlemah hubungan masyarakat dengan komunitasnya. Cerita Shepherd (Bab 12) tentang perselisihan mengenai penggalian sisa-sisa jasad manusia Prestwich Street di Cape Town memperlihatkan adanya perbedaan antara sifat ilmiah arkeologi yang ingin “menyingkap” masa lalu yang terkait dengan sisa-sisa jasad tersebut dan keinginan masyarakat untuk tetap mendiamkan, merahasiakan, dan mengubur masa lalu mereka. Argumennya bahwa gaya pencerahan “kehendak untuk mengetahui” tidak selalu sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan komunitas untuk mengingat secara kolektif sejarah mereka – khususnya rasa sakit dan trauma – yang terkait dengan tempat senada dengan argumen Burke, Gorman, Mayes dan Renshaw. Mereka semua berusaha untuk mendamaikan masa lalu arkeologis – atau masa lalu versi para arkeolog – dengan masa lalu versi non-arkeologis, dan juga berusaha mencari masa lalu alternatif dan bermakna secara sosial.

Pendirian yang sama digunakan oleh Colwell-Chanthaphonh, Ferguson dan Gann (Bab 18), yang merangkul konsep multivokal dalam mengejar arkeologi kolaboratif di Lembah San Pedro. Dengan mengatakan bahwa multivokalitas “bukanlah semata pluralitas, tetapi sebuah pelibatan suara-suara yang berbeda yang muncul secara bersama-sama yang menceritakan tentang sebuah kisah yang menyeluruh dan kompleks” (Colwell-Chanthaphonh dkk., Bab 18: 241, garis miring pada naskah asli), mereka bertujuan untuk mengembangkan penelitian arkeologis dan etnohistoris mereka ke dalam sebuah projek pendidikan, yang ditujukan untuk publik nasional, komunitas-komunitas penduduk pribumi Amerika, penduduk yang terbilang relatif baru di lembah tersebut melalui penggunaan internet. Seperti yang dinyatakan oleh mereka, internet dapat menawarkan sebuah panggung yang dapat digunakan oleh kelompok-kelompok yang beragam tersebut untuk mengekspresikan pandangan masa lalu mereka dan berterima kasih pada interaktivitas multimedia (lihat tulisan awal Hodder mengenai hal ini dalam Hodder, 1997: 698-699), dan karena cara-cara seperti ini memiliki potensi untuk membantu para arkeolog publik terlibat dengan masa lalu-masa lalu yang berbeda, bahkan dalam konteksnya yang global.

Karya etnografis Abu-Khafajah (Bab 14) yang menggarap Benteng Amman di Jordan fokus pada “proses penciptaan makna” yang memainkan peran dalam interpretasi masyarakat lokal terhadap benteng tersebut. Karyanya menyoroti keragaman makna yang berasal dari benteng tersebut, dan makna-makna tersebut dapat dianggap sebagai sebuah usaha untuk menyoroti pandangan-pandangan masa lalu yang relevan dengan komunitas lokal tetapi diabaikan karena sifatnya yang tidak ilmiah.

Agar pelibatan diri dengan masa lalu-masa lalu yang berbeda berhasil dilakukan, faktor kuncinya adalah membuat lebih jelas batasan peran yang harus dimainkan oleh para arkeolog dalam diskusi-diskusi publik mengenai interpretasi masa lalu. Dalam diskusi-diskusi seperti itu, para arkeolog, sebagai contoh, dapat menjadi pendidik, instruktur, konsultan, fasilitator, atau kolaborator. Pastinya, peran mereka perlu diperjelas dengan pertimbangan konteks sosial, budaya dan politik tempat diskusi-diskusi tersebut dijalankan, dan dalam keadaan tertentu mereka harus memainkan ganda atau triple pada saat yang bersamaan. Namun demikian, peran apa pun yang mereka mainkan, harus selalu diingat bahwa para arkeolog berbeda dari publik lainnya karena mereka menguasai metode dan metodologi arkeologi dan bahwa pengetahuan tersebut dapat menjadi sebuah sumber otoritas dalam pembahasan interpretasi masa lalu dengan masyarakat yang lain. Pengetahuan adalah kekuasaan (Foucault, 1980) dan pengetahuan dapat bermanfaat dan juga menindas. Meskipun pengetahuan arkeologi tidak, dan seharusnya tidak, memberikan kepada para arkeolog hak untuk mengontrol diskusi publik tentang cara-cara menginterpretasikan masa lalu, pengetahuan tersebut akan, dan harus, membantu mereka dalam mengambil beberapa otoritas dalam diskusi-diskusi tersebut (Hodder 1998b: 217). Jelasnya, sebuah masa lalu yang diinterpretasikan secara arkeologi masih merupakan masa lalu yang satu. Namun, masa lalu tersebut merupakan sebuah masa lalu yang merupakan dasar yang harus dilibatkan dengan masa lalu-masa lalu alternatif lainnya. Jika kita menerima bahwa arkeologi publik adalah sebuah usaha membuat disiplin ilmu arkeologi lebih relevan dengan masyarakat kontemporer, mereka yang mendukung hal ini harus bersifat refleksif, bukannya desktruktif, terhadap metode-metode dan metodologi arkeologi.

Dengan alasan yang sama, dapat dikatakan bahwa kebutuhan untuk mengatasi persoalan masa lalu-masa lalu yang berbeda tidak mengurangi nilai penting menawarkan pendidikan arkeologis yang bersifat publik. Henson (Bab 16) menyiratkan bahwa penekanan yang terlalu besar pada epistemologi dan hermeneutika dalam arkeologi – misalnya, “bagaimana kita melakukan pekerjaan arkeologi” dan “bagaimana menginterpretasikan temuan-temuan kita” – dapat menyebabkan kita mengabaikan “apa yang menjadi alasan utama kita melakukan pekerjaan arkeologi.” Dia juga mengatakan perlunya memberikan penekanan pada efek memberdayakan pendidikan arkeologi dan menekankan bahwa dengan mempelajari keterampilan-keterampilan arkeologis, masyarakat dapat “mengambil bagian untuk diri mereka sendiri” dalam menciptakan makna masa lalu. Muraki (Bab 20) menyatakan pendapat yang serupa dalam ulasannya mengenai program ekskavasi partisipatoris dengan membagi “kenikmatan” ekskavasi dan mengatakan bahwa “para peserta dapat mempelajari keterampilan-keterampilan tersebut untuk belajar sendiri tentang arkeologi, sejarah, dan masa lalu dengan menyenangkan” (Muraki, Bab 20: 273). Meskipun demikian, baik Henson maupun Muraki adalah penentang nyata imposisi pandangan-pandangan “para arkeolog” tentang publik. Seperti yang ditunjukkan Muraki, dalam upaya agar pendidikan arkeologi berhasil, “sebuah hubungan yang dekat” dan “komunikasi dua arah” antara para arkeolog dan partisipan merupakan hal yang sangat penting. Dari sudut pandang ini, pendidikan arkeologis tidak berbeda banyak dari pelibatan masa lalu-masa lalu yang berbeda, keduanya memerlukan dan mendorong dialog antara para arkeolog dan anggota-anggota publik.

Meskipun sejauh ini telah dianjurkan bahwa para arkeolog seharusnya melibatkan diri dengan kelompok-kelompok yang berbeda dan interpretas-interpretasi masa lalu yang beragam, juga penting untuk dicatat sebuah persoalan yang sifatnya inheren dalam posisi ini. Ketika berbicara tentang “kelompok-kelompok yang berbeda,” kita cenderung mengasumsikan bahwa tiap kelompok dapat didefinisikan dengan jelas. Namun, pada kenyataannya, definisi seperti itu seringkali menyulitkan. Seperti pendapat Pyburn (Bab 3:31):

Tiap individu merupakan anggota beragam komunitas yang terikat secara cair, dan menegosiasikan loyalitas personal dan mendistribusikan loyalitas personal itu di antara beragam kelompok merupakan salah satu penggambaran kehidupan sehari-hari.
Terdapat dua alasan mengapa mendefiniskan kelompok-kelompok dengan cara yang lebih ketat itu sulit dilakukan: individu-individu memiliki beragam kelompok pada saat yang bersamaan dan tiap kelompok, termasuk yang dominan dan termarginalisasi secara sosial, seringkali terfragmentasi (lihat, contohnya, Franklin, 2001), khususnya ketika dipandang dalam konteks posmodern sekarang ini. Hal ini menyiratkan bahwa “kelompok-kelompok yang berbeda” tersebut, yang padanya para arkeolog publik melibatkan diri, merupakan konsep yang terus berubah, yang harus ditempatkan dan didefinisikan setiap saat agar memungkinkan untuk melakukan beberapa bentuk keterlibatan dengan masyarakat yang sebenarnya, tetapi yang pada kenyataannya tidak pernah tetap dan saling bertalian.

Pertanyaan kritis yang mengikuti hal ini kemudian adalah bukankah penekanan pada keterlibatan dengan “masa lalu-masa lalu berbeda” ini sebenarnya merupakan sebuah permainan différance (membedakan) (Derrida, 1982; lihat juga Hodder 1999: 156), dengan kata lain, sebuah penangguhan tanpa akhir makna masa lalu yang telah tuntas terbentuk. Sejauh pengejaran terhadap pembedaan terus berlanjut, akan selalu ada kelompok-kelompok lain dengan interpretasi-interpretasi lain. Apakah arkeologi publik harus melibatkan diri dengan semua kelompok itu – dapatkah? Penyebaran global arkeologi publik pada akhirnya memunculkan pertanyaan ini, sebagaimana penyebaran globalnya menunjukkan adanya arkeologi-arkeolog yang lain, publik-publik yang lain, dan masa lalu-masa lalu yang lain. Diletakkan secara sederhana, para arkeolog seharusnya melibatkan diri pada masa lalu(-masa lalu) yang mana, dengan dasar apa, dan berpihak pada siapa?

Kesimpulan

Awalnya muncul pada tahun 1970-an di USA sebagai komitmen para arkeolog untuk memelihara tinggalan-tinggalan arkeologis, arkeologi publik telah berkembang di negara-negara berbahasa Inggris, secara bertahap meluaskan cakupannya dan membawa beragam aspek hubungan antara arkeologi dan masyarakat kontemporer dan sekarang ini diperkenalkan di negara-negara bukan berbahasa Inggris. Kondisi-kondisi sosio-politik yang beragam di bawah mana arkeologi beroperasi di tiap negara/wilayah kemungkinan memiliki kontribusi dalam membentuk bentuk-bentuk arkeologi yang berbeda. Untuk menaksir perkembangan global publik arkeologi, akan bermanfaat apabila memperhatikan keseimbangan dan tatanan prioritas keempat pendekatan untuk subjek ini yang telah muncul di Amerika Utara, Inggris dan Australia, yaitu pendekatan pendidikan, hubungan-hubungan publik, kritis, dan multivokal, karena keempatnya menyediakan petunjuak tentang cara-cara arkeologi diletakkan di tiap masyarakat.

Persebaran global publik arkeologi pada akhirnya menyoroti arkeologi-arkeologi, publik-publik, dan masa lalu-masa lalu yang berbeda, dan para arkeolog publik harus menemukan sebuah cara untuk mengatasi dan melibatkan diri dengannya. Dalam melakukan hal ini, mereka harus mendasarkan argumen dan praktik mereka pada metode-metode dan metodologi arkeologi – ini juga berpengaruh untuk membuat disiplin arkeologi menjadi lebih relevan dalam masyarakat kontemporer. Namun, ini tidak berarti bahwa para arkeolog diijinkan untuk mengimposisikan pandangan-pandangan mereka pada publik. Agar dapat berhasil, penting untuk diingat bahwa dialog dengan anggota publik, yang melibatkan proses dua arah, merupakan hal yang sangat penting.

Arkeolog publik dapat didefinisikan sebagai sebuah gerakan atau sebuah keterlibatan sosial yang dilakukan oleh para arkeolog, dan pertanyaan mengenai “arah yang harus dituju” harus terus dipertanyaakan dengan pengujian yang kritis. Salah satu tujuan buku ini adalah menyediakan sebuah forum untuk diskusi terbuka seperti itu, dan dengan melakukannya juga ditujukan untuk mengafirmasi kembali relevansi arkeologi dalam masyarakat global pada abad ke-21 sekarang ini.

Diterjemahkan oleh Jusman Mahmud dari artikel Akira Matsuda dan Katsuyuki Okamura Introduction: New Perspectives in Global Public Archaeology dalam buku New Perspectives in Global Publik Archaeology. Bab I