Arkeologi Yang Terlibat: Komunitas Seperti Apa? Publik Yang Mana?
oleh Jusman Mahmud pada 8 Juni 2012 pukul 12:00 ·
Konsep dualisme ... tradisional dan non-tradisional
... menyediakan sebuah kerangka kerja yang dapat digunakan
untuk memahami persoalan yang dihadapi Arkeologi
... apa yang dianggap sebagai adat kebiasaan mungkin lebih
merupakan sebuah konsekuensi dari dikotomi konseptual ini
ketimbang konsekuensi dari segala bentuk kemiripan
pada masyarakat pra kolonial yang sesungguhnya
– Daniel Miller 1980
Dalam pembahasan ini, saya memperlakukan Arkeologi Komunitas sebagai sebuah sub bagian dari Arkeologi Publik dan menganggap persoalan-persoalan Arkeologi Komunitas sebagai sebuah pembuka untuk membahas persoalan-persoalan yang lebih luas yang dimunculkan oleh para arkeolog yang berupaya mengarahkan usaha-usaha mereka pada wilayah publik. Aspek dalam Arkeologi Komunitas yang paling jauh dari usaha-usaha teoritisasi adalah gagasan tentang komunitas itu sendiri. Meskipun para arkeolog telah sering membahas persoalan-persoalan pelbagai kelompok kepentingan berbeda yang saling bersaing, yang dianggap sebagai sub kelompok dari sebuah komunitas tunggal atau sebagai komunitas-komunitas yang saling bersaing, tetapi istilah komunitas didefinisikan begitu saja sebagai sekelompok orang-orang tertentu atau dibiarkan tidak terdefinisikan. Di sini, saya membahas konsep komunitas pada tiga sektor: (1) individu mana pun yang menjadi bagian dari beragam komunitas; (2) arkeologi komunitas seringkali melukiskan komunitas-komunitas bayangan, yang telah diciptakan sendiri oleh para arkeolog; dan (3) arkeologi komunitas perlu mempertimbangkan tidak hanya komunitas-komunitas lokal atau penerus budaya masyarakat tertentu, tetapi juga komunitas-komunitas yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik.
Mendefinisikan Komunitas Dalam Arkeologi Berbasis Komunitas
Asal usul kemunculan Arkeologi Komunitas di Amerika Serikat berbeda dengan asal usul kemunculannya di Inggris. Di Inggris, di mana rumah intelektual Arkeologi berada dalam wilayah Sejarah, minat masyarakat pada tinggalan-tinggalan materi yang mereka temukan di tanah mereka selalu dianggap legal. Setiap orang mengaitkan tinggalan-tinggalan Arkeologis pada sejarah lokal dan nasional dan seringkali pada budaya, jika bukan, nenek moyang biologis mereka. Masyarakat ilmiah amatur dan museum-museum komunitas merupakan hal umum dan telah ada sejak lama di negeri ini. Bukanlah sebuah kebetulan bahwa acara televisi Time Team muncul di Inggris, yang mana, disamping penampilannya yang kuna dan temuan-temuan sederhananya yang otentik, acara tersebut sangat populer dan telah menginspirasi lahirnya beberapa program televisi yang sejenis dan terkait.
Meskipun terdapat pemisahan yang tegas antara arkeolog kampus (akademisi) dan Publik Inggris, Arkeologi Publik, yang dikaitkan dengan manajemen sumber daya budaya, dipraktikkan terutama di luar universitas dan menekankan keahlian-keahlian teknis yang diterapkan untuk menemukan rancangan penelitian dan orientasi teoritis. Arkeolog Publik digambarkan di media sebagai pekerja lapangan seperti halnya professor di universitas dan mereka tidak menciptakan jarak dengan publik melalui jargon atau interpretasi-interpretasi yang kompleks. Di Inggris, terdapat hubungan alamiah antara Arkeologi Publik dan Arkeologi Komunitas karena kelompok-kelompok lokal yang memiliki minat yang besar terhadap Arkeologi merupakan sub bagian dari publik sejenis yang lebih besar. Tentu saja, terdapat kontroversi-kontroversi yang bersifat nasional dan komunitas mengenai cara-cara sumber daya arkeologi dikelola, tetapi pengembalian dan pemeliharaan situs-situs di Inggris bukanlah wilayah rasial yang dramatis atau pertarungan budaya, karena kurator-kurator museum dan pengelola situs saling berbagi warisan budaya dengan masyarakat yang kepemilikan tinggalan-tinggalan arkeologisnya dikontrol oleh mereka.
Di Amerika Serikat, perkembangan Arkeologi dimulai dengan investigasi terhadap budaya kuno masyarakat pribumi; meskipun Arkeologi Kesejarahan tumbuh di sini, sebagian besar arkeolog Amerika Serikat memfokuskan kajiannya pada masyarakat yang tidak memiliki ikatan sejarah yang kuat dengan mereka dan yang anak cucunya terus-menerus menjadi minoritas yang mengalami tekanan ekonomi dan politik. Akibatnya, rumah Arkeologi berada pada wilayah Antropologi, yang secara tradisional merupakan kajian tentang “budaya-budaya lain” yang letaknya berada di luar konteks sejarah barat. Arkeolog beraliran Amerika lebih mengasah diri mereka pada keahlian ilmiah ketimbang rasa keterikatan, karena klaim mereka tentang masa lalu bersifat akademis ketimbang personal. Benda-benda yang ditemukan masyarakat di tanah mereka memang dianggap sebagai milik pribadi, tetapi lebih dinilai sebagai harta benda ketimbang warisan budaya. Sejarah masyarakat pribumi hanya dianggap sebagai sebuah preambul minor atau sub bagian yang kecil dari sejarah nasional. Baru-baru ini saja komunitas-komunitas masyarakat Indian di Amerika Serikat dimasukkan ke dalam konsep tentang publik oleh para arkeolog.
Ascherson mencatat bahwa Arkeologi di Amerika memandang tanggung jawab terhadap publik sebagai salah satu dari sekian banyak tanggung jawab seorang arkeolog, sedangkan minat pubik telah lama menjadi bagian dasar pada pelbagai kerja arkeologis di Inggris, yang mana arkeologi secara terbuka telah berpikir “mengenai ‘sekarang ini’ ketimbang ‘kemudian’” (2007: 51). Tetapi, perbedaan tersebut sekarang ini jauh lebih besar pada kasus kerja-kerja Arkeologi yang dilakukan oleh arkeolog-arkeolog Inggris di luar Inggris, yang mana sebagian besar penelitian mereka adalah kajian kolonial. Dan baik cara pandang positivis prosesual di Amerika Serikat maupun cara pandang relativis posprosesual dari Arkeologi Inggris tidak banyak mengangkat konsep komunitas menjadi persoalan yang perlu dijawab secara tuntas. Kedua pendirian ini juga tidak memperjelas tentang siapa yang membentuk Arkeologi Publik. Efeknya, asumsi-asumsi mengenai sifat dan relevansi “komunitas-komunitas” pada manajemen dan konservasi warisan budaya disusun secara serupa baik di Amerika Serikat, Inggris Raya dan juga di seluruh Eropa, sekalipun penyusunan asumsi-asumsi tersebut karena alasan-alasan yang berbeda. Gagasan-gagasan mengenai keberlanjutan sejarah sebuah populasi yang memiliki ciri-ciri tersendiri, upaya untuk melestarikan budaya tradisional, konservatisme ekonomi dan ideologis, dan resistensi untuk berubah tidak selalu diteliti secara hati-hati sebelum digunakan untuk mendefinisikan autentisitas dan keanggotaan komunitas.
Sebagaimana dinyatakan oleh Marshall (2002: 216): “komunitas-komunitas jarang, jika dapat dikatakan tidak, bersifat monokultur dan tidak pernah satu pikiran. Mereka adalah sekumpulan orang yang datang secara bersama-sama dengan segala jenis alasan-alasannya yang terencana dan saling bergantung. Oleh karena itu, ada banyak jalan yang memungkinkan munculnya komunitas yang relevan dengan proyek arkeologis tertentu. Tidak ada yang tidak problematis dan pada banyak kasus, komunitas dengan kepentingan-kepentingan tertentu tersebut berubah seiring dengan perjalanan sebuah proyek.
Dalam dunia nyata, setiap orang merupakan anggota dari beragam komunitas yang tidak terikat secara ketat, dan menegosiasikan loyalitas personal dan mendistribusikan sumber daya-sumber daya personal di antara pelbagai kelompok merupakan gambaran kehidupan sehari-hari. Mendefinisikan secara implisit sebuah komunitas sebagai sebuah organisme yang terintegrasi dengan strukturnya yang koheren dan batas-batasnya yang memiliki ciri-ciri tersendiri merupakan sebuah gaung intelektual yang berasal dari fase awal Arkeologi ketika paradigma yang berlaku pada saat itu adalah evolusionisme budaya. Sejauh generalisasi dilakukan, mungkin jauh lebih tepat mengatakan bahwa komunitas-komunitas yang tradisinya tidak berubah dan batas-batasnya tertutup rapat adalah hal yang tidak biasa dan mungkin kondisi tersebut merupakan respon terhadap penindasan yang menimpa komunitas tersebut.
Fakta bahwa individu-individu umumnya adalah anggota dari pelbagai komunitas merupakan sebuah poin kunci, karena pengalaman-pengalaman dan loyalitas-loyalitas yang saling bersilangan seperti itu dapat membuat negosiasi menjadi lebih mudah dan membawa kembali kecenderungan kompetitif menuju ke sebuah penekanan mengenai kesamaan-kesamaan dan kerja sama. Pegawai-pegawai pemerintah yang lahir di desa di mana arkeolog hendak melakukan pekerjaannya, arkeolog profesional dengan warisan budaya masyarakat pribumi, keluarga-keluarga yang saling berkerabat yang tinggal di beberapa kota kecil dan desa, dan pemandu wisata internasional yang memiliki usaha lokal, semuanya dapat saja memainkan peran kunci dalam membentuk struktur sebuah kerangka kerja positif untuk penelitian, pemeliharaan, dan interpretasi sumber daya arkeologis.
Sejarah dari banyak negara maju merupakan sejarah kolonisasi, penindasan, eksploitasi, dan marginalisasi kelompok-kelompok masyarakat pribumi yang didefinisikan oleh orang luar atau bahkan menekannya menjadi “komunitas-komunitas.” Pada tahun 1978, orang-orang Aguacata, Belize, yang berbicara bahasa Kekchi tidak menanggap diri mereka sebagai suku Maya (R. Wilk, wawancara personal, 2000); ini adalah sebuah “komunitas” yang diciptakan oleh kolonialisme. Pada komunitas-komunitas di negara-negara maju, kesempatan untuk memperbaiki kehidupan ekonomi dan bahkan untuk sekedar bertahan hidup seringkali lebih baik bagi mereka yang memisahkan diri dari komunitas dan masa lalu mereka untuk kemudian berpartisipasi dalam “pembangunan” kolonial. Dalam situasi ini, masa lalu tersebut seperti tidak berguna dan memalukan, dan melanjutkannya berarti menerima kemiskinan dan eksploitasi. Karena tekanan-tekanan globalisasi telah mendorong batas-batas modernitas dengan cara mereduksi tradisi, tekanan-tekanan tersebut juga mencampuradukkan marginalisasi, ketidaktahuan atau kebodohan dan kemiskinan dengan tradisi dan etnisitas (Warren 1998). Para orang tua dalam komunitas-komunitas yang termarginalisasi secara ekonomi menjadi terpisah dengan anak-anak mereka yang menerima pekerjaan-pekerjaan di wilayah-wilayah urban dan anak-anak menjadi malu dengan orang tua mereka yang miskin dan tradisional. Baik kebanggaan terhadap warisan budaya dan penciptaan pekerjaan-pekerjaan lokal dapat meredakan situasi ini, bukan sebagai sebuah usaha untuk menguburkan kembali masa lalu mereka tetapi sebuah cara untuk bergerak maju.
Ketika arkeolog menyamakan autentisitas dengan berlanjutnya sebuah budaya, mereka berperan dalam terciptanya bangunan tradisi dan komunitas yang sifatnya opresif, yang di dalamnya klaim-klaim lokal atau masyarakat pribumi mengenai hak-hak untuk mengelola dan menginterpretasikan masa lalu mereka memerlukan beberapa jenis penubuhan etnis di masa sekarang. Hal ini tidak ditujukan untuk mengatakan bahwa etnisitas didorong dari luar, tetapi bahwa kekuatan-kekuatan dari luar dianggap sebagai pengaruh buruk pada bentuk yang dapat dibangun oleh etnisitas tersebut agar dianggap autentik, dan masyarakat dibatasi dalam hal cara-cara mereka memilih untuk mengakui dan menyebarluaskan tradisi-tradisi mereka.
Keyakinan bahwa globalisasi memiliki pengaruh menghomogenkan, bersama dengan keyakinan yang belum teruji mengenai kehidupan komunitas di masa lalu, telah menjadikan arkeologi sebagai tempat perlindungan terakhir dari autentisitas. Dalam jasa pariwisata, preservasi budaya, dan kebanggaan etnis, para arkeolog telah menyediakan aliran yang mapan untuk rekonstruksi masa lalu dengan acuan-acuan masa kini, meyakininya sebagai sebuah jalan lain. Esensialisme strategis telah memberikan kuasa pada beberapa kelompok tetapi beberapa rekonstruksi arkeologis yang menekankan persoalan keberlanjutan budaya justru menindas kehidupan mereka. Pemerintah Belize yang baru-baru ini menentang kepemilikan hak-hak tanah sebuah kelompok Maya Q’eqchi dengan alasan bahwa dasar dari jenis pertanian yang mereka praktikkan tidak bersifat tradisional melainkan paradoksal juga sebagian disebabkan oleh usaha para arkeolog yang meyakinkan publik bahwa strategi pertanian Maya tradisional menyebabkan peradaban mereka runtuh. Kegagalan mempraktikkan jenis pertanian yang telah diidentifikasi oleh para arkeolog sebagai jenis pertanian yang diduga autentik membantah klaim mereka sebagai orang Maya, sementara pertanian Maya tradisional membatalkan hak mereka sebagai pengelola tanah. Tidak masalah bahwa baik rekonstruksi arkeologis maupun karakterisasi etnografis pertanian Maya kedua-duanya salah (Wilk 1985, 1991). Tetapi jelasnya, masa lalu dan tradisi-tradisinya lebih baik dianggap sebagai sesuatu yang dapat berubah, baik untuk akurasi maupun untuk kepentingan komunitas-komunitas yang merupakan pewaris dari tradisi-tradisi tersebut.
Pelbagai peneliti telah menunjukkan bahwa reaksi lokal terhadap tekanan global jarang merupakan perkara penyerapan yang sederhana, tidak masalah seberapa dalam tekanan tersebut diterapkan pada sebuah komunitas agar “berubah seiring waktu.” Pada kenyataannya, globalisasi pada banyak kasus telah meningkatkan ketajaman tradisi-tradisi lokal dan bahkan – seperti yang dibahas oleh Nevins dan Nevins (2007) – menciptakan bangunan tradisi-tradisi tersebut, begitu juga efeknya yang membuat komitmen lokal terhadap tradisi-tradisi tersebut semakin intensif. Dalam bahasa Schadla-Hall (2007: 76), “hasrat masyarakat untuk menyatakan dan menunjukkan identitas dan asal usul mereka dengan cara yang lebih terang dan dapat dipahami menjadi terlihat semakin jelas.” Di sisi lain, terminologi-terminologi pembahasan tentang modernitas dan globalisasi menjadi semakin global. “Membuat warisan budaya dapat dibaca dengan lebih jelas,” seperti yang dikatakan Bauers (2007), memerlukan sebuah upaya untuk menyusun kembali warisan budaya tersebut ke dalam sebuah bingkai tentang ciri-ciri dan perbedaan-perbedaan dari warisan budaya tersebut yang telah didefiniskan sebelumnya, yang melaluinya pencapaian-pencapaian lokal didefinisikan dalam pengertian-pengertian global. Jenis pembedaan ini merupakan proses yang sama seperti yang terlihat pada penyebaran perayaan kecantikan; gagasan-gagasan lokal tentang kecantikan mungkin berubah dan pada kenyataannya mungkin dilebih-lebihkan sebagai resistensi politik terhadap hegemoni tentang gagasan-gasasan penampilan yang berasal dari barat. Tetapi dalam upayanya untuk melakukan perlawanan, ciri-ciri perempuan cantik yang telah terglobalisasi dihadapi dengan talenta-talenta, ukuran-ukuran dan pewarnaan yang berbeda, bukan kategori-kategori evaluasi yang berbeda (Wilk 2004a, b). Dan di sisi lain, perempuan, komunitas-komunitas dan situs-situs arkeologi menjadi komoditas.
Arkeologi yang terlibat dengan komunitas mungkin tidak dapat menghindar dari upaya untuk menciptakan komunitas-komunitas bayangan; dengan mendefinisikan komunitas sebagai sebuah kelompok yang saling berhubungan dalam satu ikatan, kita juga mendefinisikan istilah-istilah yang harus digunakan oleh kelompok-kelompok penerus sebuah budaya dan masyarakat lokal agar suara mereka dapat didengarkan dalam manajemen warisan budaya. Dengan membantu masyarakat lokal mengembangkan sebuah infrastruktur komunitas yang terhubung dengan pariwisata dan kesempatan-kesempatan pembangunan, kita mungkin telah membantu mereka berasimilasi ke dalam sistem dunia modern dan mempersempit kesempatan-kesempatan mereka untuk mengekspresikan diri. Tetapi, kita mungkin juga memaksakan sebuah kerangka tradisi yang gemanya untuk masyarakat yang dilibatkan tidak terlalu besar dan demikian juga dengan masa lalu mereka. Tekanan ekonomi tidak hanya membuat masyarakat khawatir akan campur tangan dari luar, tetapi juga membuat mereka tidak mampu menolak segala jenis kesempatan yang mungkin. Hal ini tidak ditujukan untuk mengatakan bahwa masyarakat tidak memerlukan infrastruktur, komunitas-komunitas yang tegas, dan cara-cara yang akan mereka gunakan untuk memanfaatkan sistem dunia agar mereka dapat bekerja secara efektif demi keadilan sosial, tetapi definisi dan manipulasi kategori-kategori tersebut seharusnya tidak dikendalikan dari luar secara eksklusif.
Shepherd (2007) membuat poin penting ekstrem bahwa memelihara autentisitas memerlukan upaya untuk tetap berada dalam batas-batas ekonomi global dan menerima paternalisme kekuatan-kekuatan dunia sebagai upaya untuk tetap bertahan. Di Cina, tetapi juga di Amerika Serikat, di negara-negara pecahan Uni Soviet, dan di hampir semua negara-negara di dunia, keragaman etnis telah didomestifikasi sesuai dengan definisi-definisi global tentang “yang lain.” Melalui promosi industri pariwisata di Tibet yang dilakukan oleh pemerintah Cina, budaya orang-orang Tibet mengalami perubahan radikal pada sifat-sifat dasarnya dan bertahan karena dikonstruksi sebagai pegelaran artistik (Shepherd 2007). Shepherd melihat bahwa budaya kini telah dibanjiri dengan sikap arogan wisatawan yang berusaha memotret misteri dan spiritualitasnya atau, bahkan yang lebih buruk lagi, menemukan hiburan dalam tradisi-tradisinya yang mereka anggap memesona dan keren. Dengan cara yang tidak hati-hati sama sekali, para pengunjung tersebut bertindak sebagai orang-orang yang memposisikan kembali persepsi orang-orang Tibet mengenai diri mereka sendiri, begitu juga dengan makna dan nilai dari komunitas mereka yang telah dikomodifikasi dan diciptakan kembali.
Terdapat beberapa cara untuk menggagas kembali ide tentang komunitas. Konsep McDavids (2002, mengikuti Rotry 1991) tentang “percakapan kondisional, pluralistis, dan yang disesuaikan dengan konteks historis” menyiratkan adanya kemungkinan untuk secara sadar menciptakan sebuah komunitas yang dikembangkan seiring dengan pengerjaan sebuah proyek warisan budaya. Bauer (2007) menggagas konsep “terroir” – sebuah acuan untuk keberlanjutan (penggunaan) materi yang khususnya terlihat jelas dalam situs-situs yang dikategorikan sebagai ‘monumen hidup’ (the archaeology of long inhabited places). Dia mengajukan konsep ini sebagai sebuah tandingan terhadap efek-efek homogenisasi superfisial dari globalisasi, yang dipandangnya sebagai sebuah kekuatan yang tidak hanya unik untuk pengalaman manusia sebagaimana dinyatakan oleh pakar-pakar teori modernisasi. Tetapi konsep ini juga berfungsi untuk menggali asumsi-asumsi dangkal tentang keberlanjutan budaya sebagai faktor utama dalam penciptaan autentisitas untuk tradisi-tradisi lokal. Pada kenyataannya, entah bagaimana caranya, kebiasaan lokal tetap mengacu pada masa lalu mereka meskipun telah melalui berabad-abad – atau ribuan tahun di beberapa tempat – inovasi, migrasi, dan penaklukan. Tanpa menjadi reduksionis ekologis, Bauer telah menggemakan kembali sepotong kalimat yang begitu terkenal dari Alexander Pope, “In everything respect the genius of the place,” yang menyiratkan bahwa dalam menjejaki suksesi para penghuni sebuah wilayah, para arkeolog dapat menemukan keberlanjutan kejeniusan lokal yang sama sekali tidak sama dengan ketidakmampuan berkembang sebuah etnis. Pikiran-pikiran yang serupa telah banyak bermunculan dalam kepala para pakar teori globalisasi beberapa tahun belakangan ini, dan kajian tentang makanan yang dari sana Bauer menemukan istilah “terroir” merupakan sebuah lensa yang sangat bermanfaat untuk memfokuskan perhatian pada segala jenis konflik dan akomodasi antara tradisi dan perubahan, dominasi dan resistensi, dan yang lokal dan yang global. Interpretasi ulang terhadap racikan masakan-masakan baru sebagai makanan lokal dan tradisional yang menjadi mode global merupakan hal yang sangat menarik bukan hanya karena prosesnya tidak semata sesuai dengan yang diharapkan oleh para modernis (Wilk, 2009), tetapi juga karena dapat ditunjukkan bahwa proses-proses tersebut terus berlanjut dari kedalaman masa lalu mereka (Pyburn, 2008a). Dalam tarian antara yang lokal dan yang global, tariannyalah, bukan komunitasnya, yang terus berlanjut dan tradisional.
Para dukun Q’ekchi di Belize selatan telah menciptakan sebuah organisasi profesional (Naturaleza 2003) yang pola-polanya sesuai dengan organisasi-organisasi kesehatan yang terbentuk di dalam sebuah negara, seperti Asosiasi Kedokteran Amerika (AMA) dan Asosiasi Kedokteran Inggris (BMA). Institusi baru ini muncul dari keprihatinan para dukun tersebut terhadap keahlian mereka yang tidak dianggap dan tidak dihormati sebagaimana halnya praktik medis yang bagi orang-orang biasa dianggap memerlukan biaya terlalu mahal dan yang karena itu juga mereka tidak memperoleh akses untuk pelatihan. Mereka khawatir akan kehilangan pengetahuan yang mereka anggap masih dibutuhkan oleh masyarakat yang hanya mampu berobat ke praktik pengobatan tradisional seperti yang mereka praktikkan. Mereka juga khawatir terhadap tidak adanya pendidikan yang mereka butuhkan untuk terus memperbaiki kemampuan mereka sehingga dapat menawarkan pengobatan yang lebih baik untuk pasien-pasien mereka. Mereka ingin membagi pengetahuan dan keahlian mereka; mereka tidak mengerti mengapa para ahli medis didikan barat tidak ingin melakukan hal yang sama.
Dukun-dukun Q’ekchi mengikuti strategi sinkretisme yang telah berusia lampau untuk memelihara warisan budaya dan melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat mereka. Ini adalah sebuah strategi yang dapat ditemukan pada budaya mana pun; bahkan dapat dikatakan bahwa untuk hal seperti inilah budaya diperuntukkan. Mereka mendefinisikan diri mereka sendiri sebagai sebuah komunitas dan menciptakan upaya-upaya untuk memelihara tradisi-tradisi yang mereka pilih, tetapi dalam sebuah konteks di mana mereka telah menentukan sendiri hal-hal mana yang bermakna untuk konteks kekinian mereka. Sepanjang periode selama kira-kira 3000 tahun, penutur-penutur bahasa Maya menuliskan pelbagai sistem produksi, konsumsi, hak guna lahan, perdagangan, dan pusaka mereka (untuk hal-hal seperti ini jugalah inskripsi-inskripsi hieroglyphic ditujukan) yang sama majunya dengan segala jenis kekuatan kolonial yang dipaksakan dari Eropa. Salah satu kegunaan utama dari pusaka budaya adalah untuk mengkonstruksi sebuah ikatan dengan masyarakat lain – atau untuk memutus diri darinya. Penggunaan keduanya terlihat jelas pada tinggalan-tinggalan megalitik yang berasal dari periode klasik. Ini tidak berarti bahwa para penutur bahasa Maya “hidup dalam masa lalu” sebagaimana National Geographic menampilkannya, tetapi mereka menggunakan pusaka mereka untuk kekinian mereka dan dari sana membangun masa depan sebaik yang mereka dapat lakukan. Jadi, meskipun dukun-dukun Q’echi menciptakan sebuah komunitas yang terikat, mereka juga tetap mengakui komunitas-komunitas pengobatan lainnya yang mereka pilih untuk diri mereka.
Hasil dari cerita di atas adalah bahwa arkeolog harus berhenti menciptakan autentisitas tradisi-tradisi komunitas dan budaya. Arkeolog juga perlu untuk menyadari dengan sepenuhnya cara-cara kita mengupayakan rubrik komunitas untuk masyarakat pewaris sebuah budaya atau kelompok lokal mana pun. Meskipun data yang berkaitan dengan persoalan-persoalan ini kadang-kadang dapat membantu komunitas-komunitas untuk mendirikan pertahanan terdepan dalam perang untuk hak-hak asasi manusia, “fakta-fakta” arkeologis yang sama yang membantu satu komunitas dapat melukai komunitas lainnya atau berbalik menjadi rasa asam untuk jangka panjangnya. Persoalan yang perlu ditimbang oleh para arkeolog harus selalu melibatkan pertimbangan mengenai kebutuhan-kebutuhan komunitas yang beragam, dan bahwa pengetahuan yang didasarkan secara arkeologis harus disebarkan secara layak dalam melayani demokrasi, bukannya esensialisme. Bahkan jika para arkeolog gagal mempersoalkan makna ‘komunitas’ ketika mengambil pendekatan dalam bentuk saling berbagi pengetahuan dan konsultatif, anggota-anggota publiknya juga tidak melakukannya, dan dengan gagal melakukan hal demikian para arkeolog secara tidak sadar menjalankan resiko bermain di dalam kendali satu faksi atau faksi lainnya, hal tersebut dapat menghasilkan hasil yang lebih positif. Posisi yang baik untuk memulainya adalah menanyakan pada masyarakat apakah mereka menganggap diri mereka sebagai anggota dari sebuah komunitas, yang di dalamnnya komunitas-komunitas lainnya turut berpartisipasi dan merasa memiliki, dan bagaimana mereka mendefinisikan keanggotaan mereka.
Hal ini menjelaskan persoalan kedua yang telah disebutkan oleh Arkeologi Komunitas: bahwa fokus pada komunitas membuat kita mudah lupa bahwa komunitas-komunitas lokal dan pewaris sebuah budaya perlu dipahami secara etnografis sebagai bahan yang akan digunakan oleh arkeologi yang terlibat untuk bekerja. Seringkali, komunitas-komunitas sebenarnya yang perlu kita pahami secara antropologis adalah mereka yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang paling kuasa, seperti pegawai-pegawai pemerintah, dewan-dewan universitas atau sekolah, jaringan hotel multinasional, misi-misi USAID, dan para arkeolog itu sendiri. Seperti kelompok-kelompok lokal yang biasanya kita jadikan acuan ketika berbicara soal stakeholders (kelompok-kelompok kepentingan), komunitas-komunitas dengan kuasa politik dan kekayaan ekonomi tersebut memiliki tradisi-tradisi dan perilaku-perilaku normatif yang dapat dianalisis melalui penelitian antropologis dan lebih baik dipahami sebagai perangkat yang mempromosikan pemahaman budaya-budaya yang berbeda. Sebagai contoh, menjelaskan kepada masyarakat dari mana para arkeolog memperoleh gagasan-gagasan mereka tentang nilai masa lalu, keyakinan mereka pada ilmu pengetahuan, dan keinginan mereka untuk melakukan preservasi dapat memanusiakan maksud-maksud kita dan bahkan dapat membuat audiens yang skeptis menjadi lebih simpatik pada kita.
Menemukan Publik Untuk Arkeologi Publik
Dalam sebuah esai penting, Matsuda (2004) menyusun kerangka teoritis yang diperlukan oleh para arkeolog guna mengembangkan sebuah “wilayah publik” untuk Arkeologi. Mengikuti Habermas (1989), dia menunjukkan bahwa para arkeolog umumnya menggunakan istilah “publik” dengan dua cara: pertama, mengacu pada masyarakat yang secara umum tidak terlatih dalam mempraktikkan kerja-kerja Arkeologi dan kedua, yang bertentangan dengan kepentingan-kepentingan pribadi, sebuah kelompok yang hak-haknya terhadap pengetahuan ilmiah dan preservasi sumber daya budaya ditegakkan melalui otoritas negara. Meskipun melibatkan masyarakat awam yang memiliki ketertarikan yang memberi kesan pengambilan keputusan dilakukan secara demokratis, tugas melakukan kerja-kerja arkeologis untuk kebaikan umat manusia sebenarnya berada ditangan para arkeolog sebagai mata panah regulasi negara yang hasil-hasilnya terletak di balik jangkauan mereka yang bukan spesialis.
Penggunaan kedua terminologi di atas bertentangan dengan kecenderungan para arkeolog menempatkan diri mereka terpisah dari kelompok-kelompok kepentingan yang lain. Dengan menempatkan diri kita terpisah dari mereka yang non-spesialis, kita seringkai gagal melihat kepentingan profesional kita dalam konteks kompetisi dengan kelompok-kelompok yang lain dan yang mungkin kepentingannya terhadap tinggalan-tinggalan materi dari masa lalu setara dihadapan hukum. Sikap yang belum teruji inilah yang membawa para arkeolog pada keyakinan bahwa menjelaskan diri mereka ke hadapan publik sama halnya dengan memberikan hadiah kepada mereka. Namun demikian, upaya para arkeolog melibatkan diri mereka dalam diskusi publik dan debat demokratis sebenarnya lebih menyerupai sebuah upaya memberikan hadiah untuk diri mereka sendiri. Memparafrasakan George Orwell, para arkeolog cenderung melihat diri mereka lebih setara ketimbang anggota-anggota publik lainnya.
Sikap ini juga merampas kemampuan para arkeolog untuk melihat manfaat dari beragam komunitas yang tumpang tindih dalam sebuah publik. Bukan hanya para arkeolog akan dapat melakukan pekerjaannya dengan lebih baik dalam menemukan konsensus dengan cara bekerja bersama individu-individu berkepentingan yang berpartisipasi di beberapa komunitas, tetapi mereka juga dapat melibatkan sebuah publik dengan lebih baik dengan cara menerima bahwa diri mereka (para arkeolog tersebut) juga bagian dari publik. Ketika Arkeologi dikonstruksi bertentangan dengan komunitas-komunitas pewaris sebuah budaya, pertunjukan, atau religi, kita gagal melihat bahwa cara-cara kerja kita tidak hanya mempengaruhi, tetapi bahkan menciptakan, batas-batas yang sulit ditembus oleh kelompok-kelompok yang berpotensi bertentangan tersebut.
Tidak seperti Matsuda, sebagian besar arkeolog jarang ambil peduli untuk menyusun sebuah definisi tentang “publik.” Alih-alih, mereka justru membuat asumsi-asumsi kasar mengenai ciri-ciri dan selera pengunjung umum. Bukannya mengupayakan untuk mendidik para non spesialis dan meningkatkan pengetahuan umum mereka tentang penelitian arkeologis, politik warisan budaya, dan hak-hak asasi manusia, para arkeolog lebih bersikap seperti jurnalis ketimbang akademisi dengan cara menjadi pelayan untuk komunitas yang mereka bayangkan. Perhatian dan persetujuan dipandang lebih bernilai (atau setidaknya didahulukan) ketimbang kejujuran ilmiah dan pengetahuan (Holtorf 2008); misalnya, penjarahan ala Indiana Jones, menginjak-injak masyarakat pribumi yang telah distereotipkan, patronasi terhadap perempuan, dan upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan penting kehidupan sehari-hari secara heroik merupakan ikon yang dapat diterima karena penggambarannya tentang Arkeologi sebagai petualangan dan menyenangkan memikat para pelajar. Mempublikasikan temuan-temuan yang kebetulan bernilai di pasar seni, dan interpretasi-interpretasi masa lalu yang membenarkan status quo dan mendukung untuk menyalahkan korban-korban sistem dunia modern untuk persoalan kerusakan lingkungan dan mengungkap konflik-konflik telah mengganti unsur pendidikan yang sebenarnya karena informasi yang sebenarnya itu “terlalu membosankan.”
Kesuksesan Time Team (Schadla-Hall 2007) menyiratkan bahwa toleransi publik terhadap rasa jemu jauh lebih besar ketimbang keyakinan sebagian besar arkeolog. Lebih lanjut, wawancara-wawancara yang dilakukan pada pengunjung museum menunjukkan bahwa setidaknya beberapa anggota dari publik sungguh-sungguh tertarik dengan praktik arkeologi yang sebenarnya dan aspek-aspek masa lalu yang bersifat lebih duniawi. Bahkan yang lebih menarik adalah bahwa di banyak bagian dunia, masyarakat awam yang tidak pernah mengecap pendidikan khusus yang membentuk “publik” tersebut sangat tertarik dan lebih berpengetahuan tentang politik-politik komunitas, etnisitas dan tradisi, dan peran warisan budaya dalam identitas lokal.
Mungkin jauh lebih baik mengarahkan kepentingan-kepentingan dan harapan-harapan publik dengan cara menanyakan kepada masyarakat kepentingan-kepentingan mereka ketimbang membuat asumsi-asumsi yang dapat menciptakan harapan-harapan. Dalam pengalaman saya, saya telah menemukan bahwa meskipun masyarakat mengharapkan para arkeolog membual tentang harta karun terpendam, mereka dengan penuh antusias memberi respon pada bukti-bukti heroisme, rasa welas asih, kecerdasan dan sensibilitas estetis masyarakat kuna. Sebuah resep masakan kuna lebih memikat pendengar kelas menengah Amerika ketimbang sebuah kalung permata. Di sisi lain, menciptakan beberapa harapan, khususnya yang tidak mendukung kekerasan politik, elitisme, penciptaan stereotip gender, upaya menyalahkan korban-korban sistem dunia untuk persoalan lingkungan hari ini, bukanlah merupakan gagasan yang buruk. Bayangkan dunia berbeda seperti apa yang akan tercipta jika publik berpaling ke masa lalu, dan ke arkeolog, untuk menemukan solusi-solusi persoalan sosial, bukannya harapan fatalis bahwa masa lalu hanyalah sebuah prelude untuk kondisi buruk sekarang ini.
Istilah publik sebenarnya dapat dipecah-pecah menjadi pelbagai audiens dengan cara membedakan kepentingan dan harapan-harapan mereka. Meskipun jelas penting untuk mengidentifikasi harapan-harapan guna mengkomunikasikannya dengan masyarakat, bahkan jika pun sasarannya adalah untuk merubah mereka, namun hal tersebut tidak selalu mendesak untuk dilakukan. Hingga tingkat yang signifikan, pengunjung museum dan situs-situs arkeologi, peserta sarasehan, pemirsa televisi, dan pelanggan majalah mencari pengetahuan, bukannya untuk kesenangan semata. Sebagaimana dicatat oleh Matsuda, publik yang mengkonsumsi informasi arkeologis bukanlah subjek yang pasif dan tidak kritis (Samuel 1994, dalam Matsuda 2004: 73), dan kita sangat memerlukan “analisis yang rinci ... untuk menjelaskan bagaimana publik memperlakukan dan bernegosiasi dengan informasi arkeologis, dan bagaimana mereka berasimilasi atau menolaknya sesuai dengan kondisi-kondisi sosial mereka” (Matsuda 2004: 73). Pendidikan modern, yang mengakui bahwa harapan-harapan para pelajar telah dibentuk oleh standar-standar tayangan hiburan televisi, penuh dengan metode-metode berbagi informasi yang berhasil karena melibatkan dan tidak membosankan, tetapi tetap mengajarkan sesuatu (Burke dan Smith 2007). Tetapi para arkeolog juga harus mempertimbangkan apakah dalam analisis akhir mereka tidak lebih baik untuk menjadi sedikit tumpul ketimbang mendorong stereotip-stereotip paling buruk tentang dunia modern. Tentu saja merupakan hal yang buruk menyetir publik untuk kepentingan Arkeologi, tetapi alternatif-alternatif lainnya lebih buruk lagi.
Telah saya katakan di tempat lain (2008b) bahwa para arkeolog sekarang ini paling baik menganggap diri mereka sendiri, apakah untuk sebuah publik atau untuk satu sama lainnya, sebagai pendidik. Ini mungkin terlihat seperti menggunakan “model defisit” (Merriman 2004: 5) pada publik, jika dianggap bahwa publik tidak memiliki konsep tentang masa lalu dan hanya orang-orang tertentu yang memiliki pengetahuan sah tentang masa lalu. Namun demikian, hal ini tidak perlu dipermasalahkan jika para arkeolog menganggap pendidik sebagai salah satu segmen dari beberapa jenis publik dan mendefinisikan pendidikan sebagai sebuah strategi untuk berbagi pengetahuan yang bermanfaat. Para arkeolog meyakini bahwa pengetahuan mereka tentang masa lalu bernilai dan memiliki legitimasi karena sebagian besar dari mereka telah menghabiskan waktu mereka untuk memperoleh pengetahuan tersebut. Seperti kelompok-kelompok kepentingan lainnya, arkeolog memiliki hak untuk menyuarakan pendapat-pendapat mereka semeyakinkan mungkin dan tanggung jawab berbagi informasi penting. Orang-orang dengan keahlian dan minat alternatif memiliki hak dan tanggung jawab yang sama dalam sebuah masyarakat yang demokratis, dan penolakan untuk melibatkan diri secara sosial dengan perspektif yang berbeda lebih menyerupai sebuah indikasi sikap merendahkan ketimbang rasa hormat.
Menghormati Warisan Arkeologi
Memang benar bahwa baru belakangan inilah pelibatan komunitas dan publik mulai dipraktikkan dengan konsisten, dan meskipun gagasan tentang Arkeologi Komunitas bukanlah hal baru seperti yang ditunjukkan oleh Marshall (2002), penekanan secara eksplisit pada upaya-upaya untuk berbagi kontrol terhadap sumber daya-sumber daya arkeologi dengan komunitas-komunitas lokal merupakan hal yang relatif baru. Tetapi sebagian besar arkeolog meremehkan sejumlah kerja-kerja arkeologi berorientasi komunitas yang telah dijalankan dan tingkat komitmen dan kekakuan intelektual yang diterapkan pada publik telah melampaui batas sebelum generasi sekarang ini. Kenyataannya, para arkeolog seringkali membahayakan karir mereka dengan memberikan perhatian yang terlalu besar pada konteks sosial pekerjaan mereka dan tidak cukup untuk kemajuan ilmiah mereka di atas jenjang status mereka. Apa yang selalu benar, dan masih benar hingga derajat tertentu, adalah bahwa pelibatan komunitas telah menyebabkan turunnya status sosial yang umumnya berlaku dalam lingkaran akademis khususnya di antropologi atau sosiologi dan umumnya masih tidak dipertimbangkan sama sekali di arkeologi. Akibatnya, banyak yang telah dikerjakan menjadi bagian dari sejarah oral arkeologi yang tidak terkatakan dan terpublikasikan.
Pada tahun 1980, Daniel Miller mempublikasikan hasil surveinya tentang permukiman di Pulau Solomon dalam Current Anthropology yang berjudul Archaeology and Development. Dia bekerja di sebuah area yang luas, yang termasuk beberapa pulau, dan mewawancarai komunitas-komunitas yang hidup di sana. Proyeknya tersebut merupakan sebuah proyek Arkeologi Publik, bukan yang pertama tetapi yang pasti salah satu dari yang paling impresif dan sangat matang waktu itu dalam hal penjelasannya tentang perlunya membangun aliansi antara arkeolog dan pelbagai kelompok-kelompok kepentingan lainnya dan perlunya melibatkan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan terhadap manajemen warisan budaya. Beberapa sarjana yang cukup terkenal merespon dalam jurnal tersebut dengan nada yang agak skeptis, tetapi sebagian besar pada dasarnya setuju. Hal yang aneh tentang artikel ini adalah betapa sedikitnya yang mengetahuinya. Apakah para arkeolog khawatir atau tidak dengan dampaknya di luar bidang mereka , tampaknya mereka jelas tidak ingin terlihat khawatir.
Namun demikian, kajian-kajian serupa mulai banyak bermunculan dan publikasinya telah meledak dalam kurun waktu 10 tahun terakhir; sebagai contoh, arkeologi dan warisan budaya Maya telah dibahas oleh Cojti Ren (2006), Ehrentraut (1996), Euraque (1998), Fischer (1999), Hasemann and Lara Pinto (1993), Healy (1984), Hervik (1999), Joyce (2003), Luke (2006), Montejo (2005), Mortensen (2001, 2005), and Tercero (2006), dan ini bukanlah daftar yang lengkap. Di Australia, berdampingan dengan masyaraklat Aborigin, para arkeolog telah berjuang dengan cukup berhasil untuk memenangkan hak-hak orang Aborigin untuk mengontrol rekaman arkeologis mengenai warisan budaya mereka (Greer et al. 2002; Smith 2004). Para Antropolog arkeologis telah mempelajari hubungan komunitas-komunitas dengan penelitian arkelogis dan warisan budaya di Alaska (Hollowel 2006), Greece (Hamilakis 2007), and Brazil (Bezerra 2003) untuk menyebut beberapa diantaranya. Pada tahun 2002, jurnal Arkeologi Komunitas dengan tema Arkeologi Dunia (World Archaeology) (34(2)) yang diorganisir oleh Yvonne Marshall menyertakan artikel-artikel penting dan memiliki efek yang menajamkan disiplin ini. Daftar artikel yang dipresentasikan pada Kongres Arkeologi Dunia (WAC) pada tahun 2008 menunjukkan sebuah penanda mengenai ledakan kesadaran aktivisme para arkeolog yang sebelumnya tidak ingin dan tidak mampu membahas persoalan-persoalan tersebut (WAC 6 2008).
Kearifan yang terkumpul dari semua usaha-usaha tersebut memang memiliki nilai yang sangat penting, tetapi penekanannya masih cenderung pada keaslian tiap-tiap kajian, bukannya pada upaya untuk meningkatkan bank pengetahuan yang bermanfaat. Situasi yang sama dapat ditemukan dalam usaha-usaha yang dilakukan belakangan ini untuk memberikan penekanan pada antropologi publik, yang tidak diragukan lagi merupakan suatu hal yang baik, namun terlihat sebagai usaha untuk mengembalikan disiplin ini pada kearifan antropologi terapan. Perhatian serius pada pekerjaan yang dilakukan sebelumnya oleh arkeolog maupun antropolog terapan pastinya akan mengingatkan mereka pada pertanyaan (1) “kapan proyek pengembangan atau preservasi atau museum lokal ini akan selesai, akan mengalir kemana uangnya?” dan (2) “proyek tersebut ditujukan untuk komunitas yang mana saja, bagaimana komunitas-komunitas tersebut saling tumpang tindih, dan bagaimana mereka menegaskan posisi mereka?”
Struktur ekonomi komunitas-komunitas lokal merupakan produk budaya dan sejarah dan merefleksikan keragaman jenis ketamakan dan usaha-usaha filantropis yang mengarah pada gagasan tentang keadilan. Harus dikatakan bahwa struktur tersebut seringkali memerlukan perbaikan. Sekaranglah saatnya untuk bergerak menjauh dari asumsi implisit bahwa suatu ketika setiap orang akan baik pada yang lainnya (atau setiap orang mudah disuap atau setiap orang bersalah atau tidak bersalah) atau bahwa menghargai komunitas-komunitas masyarakat pribumi miskin yang menghadapi globalisasi memerlukan upaya untuk memelihara keluguan primordial mereka atau memulihkan sebuah masa lalu yang satu.
Horison A
Agar pelayanan kepada publik dan kolaborasi-kolaborasi komunitas dapat terlaksana, usaha-usaha tersebut harus dilekatkan dalam budaya lokal dan menjawab kebutuhan-kebutuhan untuk menjadi yang lain ketimbang “preservasi” atau “pariwisata” dalam pengertian yang abstrak. Untuk komunitas-komunitas yang mana saja museum diperuntukkan? Lokal? Penduduk Pribumi? Masyarakat Pewaris Budaya? Turis? Publik yang mana yang menjadi target audiensnya? Anak-anak? Pengunjung? Para penjarah? Pemimpin-pemimpin komunitas yang kaya? Orang-orang yang dirugikan atau yang miskin? Alasan proyek-proyek pelayanan publik gagal adalah karena proyek-proyek tersebut dirancang untuk menyelesaikan persoalan yang tidak bermakna bagi masyarakat yang hendak dijangkaunya dengan strategi-strategi yang bergantung pada tekanan dan investasi dari luar. Di atas semuanya, yang paling sering terjadi adalah arkeolog seringkali berusahan “membantu” sebuah komunitas lokal yang sebenarnya bukan sebuah komunitas, seperti juga halnya mereka meminta kelas yang termarginalkan secara ekonomi untuk melakukan hal-hal yang tidak menarik buat dan tidak dipahami oleh mereka (Bezerra 2003). Jadi, setiap proyek pelayanan publik dan kolaborasi komunitas harus dimulai dengan penelitian etnografis untuk mengungkap cara-cara mencapai sasaran proyek tersebut. Jika sasarannya adalah preservasi, maka arkeolog harus menjelaskan perspektif mereka dan bernegosiasi dengan orang-orang yang akan terkena dampak dari “preservasi tersebut” hingga mencapai sebuah kesepakatan tentang hal-hal apa tepatnya yang harus dipreservasi dan untuk siapa. Preservasi memiliki banyak definisi.
Pariwisata seringkali merupakan hal yang sangat baik untuk arkeologi dan komunitas, tapi tidak selalu seperti itu. Memerlukan beberapa perencanaan dan informasi etnografis untuk memastikan bahwa hal tersebut benar-benar membantu orang yang tepat, bukan hanya investor asing, dan mengirim pesan yang tepat, bukan hanya glorifikasi kekerasan atau raja-raja masa lalu, tetapi mempromosikan jenis-jenis pencapaian manusia yang lain yang membuat masyarakan bersedia menjadi bagian dari sebuah komunitas dan melibatkan diri dengan arkeolog dan pengunjung lainnya. Budaya Maya kuno telah dijual oleh para arkeolog dan Hollywood sebagai sebuah komunitas yang dahulu kala di suatu waktu adalah suku yang brutal dan suka berperang, sehingga sekarang orang-orang menganggap suku Maya sekarang ini sebagai pewaris sebuah budaya setan yang gagal. Hal ini sepenuhnya tidak benar; dibalik itu semua, suku Maya memiliki pencapaian-pencapaian yang tidak terbayangkan oleh sebagian besar orang, tetapi publik diberitahukan hal-hal yang ingin didengarkan oleh para pelancong. Dan orang-orang Maya terus-menerus dicirikan negatif. Dengan memberikan apa yang para pelancong inginkan, mungkin hal tersebut menghibur mereka. Tetapi dampak jangka panjangnya baik pada ekonomi pariwisata maupun standar hidup penutur Maya bukanlah hal yang positif.
Pada titik ini dalam sejarah, menjadi lebih jelas dari yang pernah dipahami sebelumnya bahwa mereka yang tidak melakukan usaha apa pun untuk membuat hal-hal menjadi lebih baik tidak kurang bersalahnya ketimbang mereka yang berusaha meskipun gagal. Jika para ilmuwan sosial telah mempelajari segala hal tentang masyarakat melalui penelitian-penelitian selama 100 tahun terakhir, kewajiban kitalah sekarang untuk mencoba menggunakan pengetahuan itu dan membaginya. Salah satu dari penemuan-penemuan itu adalah bahwa tidak pernah ada jalan tunggal untuk menciptakan sebuah komunitas dan memang tidak pernah terjadi dalam sejarah, meskipun beberapa strategi tidak diragukan lagi berfungsi lebih baik ketimbang strategi-strategi lainnya.
Diterjemahkan oleh Jusman Mahmud dari artikel K. Anne Pyburn yang berjudul: Engaged Archaeology. Whose Community? Which Public? dalam buku yang berjudul: New Perspectives in Global Publik Archaeology halaman 29-42
sumber: http://www.facebook.com/notes/jusman-mahmud/arkeologi-yang-terlibat-komunitas-seperti-apa-publik-yang-mana/10150931508522707?ref=notif¬if_t=note_reply
Tidak ada komentar:
Posting Komentar