Senin, 04 Juni 2012

Warisan Budaya, pusaka, heritage, cagar budaya, atau apapun istilah lainnya, bermakna tinggalan masa lalu baik yg sudah ditinggalkan oleh manusia/komuitas pemakainya, ataupun yg masih ada dan dipakai/difungsikan hingga sekarang pada hakekatnya secara langsung maupun tidak, masih terekam jejaknya dalam memori manusia sekarang, khususnya manusia/masyarakat yang berada di sekitar tinggalan masa lalu dimaksud. Penulis lebih memilih  menggunakan istilah warisan budaya untuk diskusi kali ini, karena dianggap lebih bersifat general dan mudah memahaminya. Mungkin sebagai pengantar, dapat dilihat pendapat Lowenthal (1985) dalam McManamon (2000, 1-2): "Bahwa tinggalan masa lalu diibaratkan sebagai negara berbeda, dimana kita tidak dapat mengunjunginya kembali selain kita sendiri yang mengunjunginya." yang sangat menarik apa yang dituangkan University Of York (1996) dalam McManamon (2000: 2) dalam memisahkan antara pemahaman History dengan Heritage: "History Offers us true stories about the past; Heritage sells or provides us with the past we appear to desire".

Warisan budaya, berdasarkan sifat bentuknya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu warisan budaya materi/tangible, seperti contohnya: alat-alat batu, candi, mesjid tua, gereja tua, dsb. Serta warisan budaya non-materi/intangible, seperti contohnya: bahasa, nyanyian, tari-tarian, proses pembuatan batik, seni pertujukan tradisional, dsb. Terminologi ini harus dipahami sebagai pembeda antara hasil cipta, rasa, karsa oleh manusia terhadap suatu materi dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, dalam hal ini warisan budaya yang materi/tangible. Adapun pemahaman warisan budaya non-materi/intangible yang paling mudah adalah sesuatu yang berkenaan dengan hasil ranah ide dan konsep yang dituangkan dalam bentuk simbol-simbol tertentu yang diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari manusia, lebih mudahnya lagi kita dapat bertanya apa yang ada di balik objek materi (ranah intangible-nya).

Pemahaman di atas juga tidak dapat dipisahkan dari konteks ruang dan waktu. Sehingga dalam memahami warisan budaya dkk., harus ada sinergi pemahaman antara warisan budaya dengan aspek formal (bentuk), temporal (waktu), lokasional/spasial (tempat). Mengapa demikian? karena warisan budaya baik tangible maupun intangible terikat dengan ketiga aspek dimaksud. Sebagai contoh: Candi Borobudur, dibuat dalam rentang waktu lama pada sekitar abad ke-7, 8 Masehi, candi ini memiliki bentuk menyerupai meru dengan kombinasi punden berundak, berada pada satu kesatuan ruang (lokasi) bukit yang dekat sekali dengan sumber material bahan bangunannya. Begitu juga dengan bahasa daerah tertentu, dipakai dalam jangka waktu tertentu (sekarang masih, entah kapan tidak dipakai lagi), di lokasi wilayah tertentu dan etnis tertentu yang mendukungnya, meskipun bentuknya intangible (berbentuk: bahasa).

Uraian di atas, dapat dijadikan bahan diskusi di waktu berikutnya, bahwa memahami warisan budaya itu sesuatu yang kompleks, tetapi jangan dibuat sulit dan didebatkan. Pola-pola pemahaman warisan budaya setelah regulasi berkenaan dengan cagar budaya telah di sahkan, maka perlu lebih lanjut didiskusikan lagi perihal warisan budaya, pelestarian, pemanfaatan, dan pengelolaaannya dalam UU No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

Pustaka
Lowenthal, D. 1985. The Past is a Foreign Country. Cambridge University Press

McManamon, F.P. & Alf Hatton (eds). 2000. Cultural Resource Management in Contemporary Society: Perspective on Managing and Presenting The Past. London: Routledge. hlmn: 1-15.

University of York, 1996. History and Heritage, Consuming The Past in Contemporary Culture.Preceeding of the Interdisiplinary Conference, University of York 1996. undated flier the proceedings of that conference.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar