Jumat, 15 Juni 2012

Pemberdayaan masyarakat

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ARKEOLOGI

Oleh:
TJAHJONO PRASODJO

(Makalah ini merupakan updating dari artikel penulis: “Arkeologi dan Pemberdayaan Masyarakat Lokal”, dalam Buletin Cagar Budaya No.2. inpress)
 [Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada]
Disampaikan dalam:
PELATIHAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ARKEOLOGI TINGKAT DASAR
ASISTEN DEPUTI URUSAN ARKEOLOGI NASIONAL
DEPUTI BIDANG SEJARAH DAN PURBAKALA
KEMENTERIAN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
Trowulan, Mojokerto © 2004

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT dalam
PENGELOLAAN SUMBERDAYA ARKEOLOGI1
Tjahjono Prasodjo
[Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada]
Pada tahun 1969 buku Grahame Clark yang berjudul “Archaeology and Society” telah diterbitkan. Buku ini berisi kupasan mengenai analisis data arkeologi untuk mengungkapkan kehidupan kemasyarakatan masa lampau. Sejak dasawarsa 1960-an memang banyak dilakukan penelitian-penelitian tentang rekonstruksi masyarakat masa lampau yang lebih menekankan pada proses-proses budaya yang terjadi pada komunitas-komunitas masa lampau. Hal ini tentu saja sejalan dengan kepopuleran aliran pemikiran arkeologi yang berkembang pada masa itu, yaitu arkeologi prosesual atau disebut juga new archaeology.
Namun, penelitian terhadap keterkaitan arkeologi dengan masyarakat kontemporer tidak banyak dilakukan. Seolah-olah arkeologi merupakan sebuah ilmu eksklusif yang berada di sebuah menara gading, sehingga terdapat jarak atau jurang yang lebar di antara arkeologi dengan kehidupan masyarakat masa kini. Demikian pula para ahli arkeologi pun tidak menaruh perhatian terhadap masyarakat sekitarnya, tidak ada kepedulian terhadap seberapa jauh sebenarnya manfaat ilmu yang digelutinya bagi masyarakat di sekitarnya.
Makalah ini akan mencoba melihat seberapa jauh sebenarnya tanggung jawab kita sebagai arkeolog terhadap kehidupan masyarakat lokal di sekitar situs arkeologis. Apakah kita berhak atau bahkan wajib ikut memberdayakan kelompok komunitas di lokasi sebuah situs arkeologis berada? Dalam aspek apa saja kita dapat ikut serta memberdayakan masyarakat lokal? Dan bagaimanakah caranya atau strateginya?
PERUBAHAN PARADIGMA:
Dari “site-oriented” menuju “community-oriented”
Dalam dua dekade terakhir ini telah banyak terjadi pergeseran pemikiran dalam arkeologi. Pergeseran tersebut terjadi pada tataran teoritis, yang disebabkan oleh adanya pengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung, perubahan yang terjadi di segala bidang ilmu lain dan munculnya aliran pemikiran baru. Seperti misalnya saja munculnya aliran pemikiran pasca modernisme (post modernism) yang walaupun pengaruhnya dirasakan secara tidak langsung, tetapi membawa dampak terhadap perkembangan pemikiran arkeologi (Johnson 1999). Sejak dua puluh tahun terakhir ini terus bermunculan berbagai macam (aliran pemikiran dalam) arkeologi, seperti arkeologi jender, arkeologi feminisme, arkeologi intrepretif, arkeologi kontekstual, arkeologi pasca struktural, dan sebagainya (Hodder 1986; Johnson 1999; Hodder 1995; Trigger 1987; Dark 1995).
Di samping pergeseran pemikiran teoritis yang terjadi dalam arkeologi yang diakibatkan oleh pengaruh aliran pemikiran di luar disiplin arkeologi, terdapat pula perubahan peran dan kedudukan arkeologi yang diakibatkan oleh kondisi dan situasi non-akademis yang terjadi di dunia. Tanudirjo (2000) mengemukakan bahwa sudah saatnya arkeologi melakukan reposisi dirinya dalam memenuhi tuntutan era global yang terjadi saat ini, yaitu dari posisi sebagai legislator menjadi mediator. Peran sebagai mediator tentunya akan membawa perubahan dan pembaharuan yang cukup mendasar bagi bidang arkeologi di Indonesia, seperti yang dikatakannya:
“Mendudukkan arkeologi Indonesia sebagai mediator berarti akan mengikis arogansi sementara pihak dan membongkar sekat-sekat kelembagaan yang seringkali menjerat langkah maju. Posisi arkeologi yang baru akan membawa serta kesadaran tentang perlunya saling keterbukaan, kesetaraan, menghargai keragaman, dan kesanggupan untuk mendengar suara lain (the other)”.
Namun, tuntutan semacam itu nampaknya saat ini memang perlu dikembangkan lebih jauh lagi, yaitu dengan penekanan lebih lanjut terhadap peranserta masyarakat lokal dalam bidang arkeologi di Indonesia. Sudah saatnya arkeologi di Indonesia mulai memikirkan kontribusinya bagi kehidupan masyarakat, terutama dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat lokal.
Masyarakat lokal sebagai pemukim yang bertempat tinggal di sekitar situs memiliki potensi sosial, budaya, politik, maupun ekonomis yang dapat dikembangkan sehingga akan menumbuhkan ketergantungan yang saling menguntungkan antara situs dan masyarakat sekitar. Ketergantungan tersebut menunjukkan adanya relasi atau hubungan timbal balik yang saling menguntungkan di antara kedua belah pihak, yaitu situs arkeologis dan masyarakat lokal. Pertama, masyarakat lokal akan diuntungkan dengan adanya pemanfaatan situs arkeologis, misalnya saja situs arkeologis sebagai objek pariwisata akan mendatangkan pendapat tambahan (atau bahkan pendapatan utama) bagi masyarakat lokal. Kedua, dengan tumbuhnya pemberdayaan dalam bidang sosial, budaya, politik, dan ekonomi masyarakat lokal diharapkan akan muncul rasa memiliki terhadap situs arkeologis. Dampak positif tumbuhnya rasa memiliki semacam itu adalah kehadiran kesadaran untuk “melindungi” dan “menjaga” situs arkeologis. Apabila masyarakat sudah dapat bertindak sebagai “pelindung” dan “penjaga” situs atau benda cagar budaya, maka hal tersebut merupakan bentuk upaya perlindungan dan pelestarian benda cagar budaya yang paling efektif dan efisien (Prasodjo 2003).
Untuk menciptakan hubungan yang saling menguntungkan semacam itu perlu diciptakan dan dilakukan upaya-upaya ke arah terbentuknya kondisi yang kondusif bagi kedua belah pihak. Inisiatif bagi penciptaan kondisi tersebut haruslah mulai dilakukan oleh para arkeolog sendiri yang lebih memiliki potensi sebagai, paling tidak, fasilitator bagi pembentukan upaya-upaya ke arah kondisi tersebut.
Bagi para arkeolog sendiri untuk melaksanakan niat tersebut perlu lebih dahulu dibangun kesadaran bahwa masyarakat lokal memiliki peran dan kedudukan yang penting bagi pelestarian benda cagar budaya. Kesadaran itu menumbuhkan pengertian bahwa masyarakat lokal tidak dapat diabaikan dari segala kegiatan arkeologi, terutama yang berkaitan dengan keberadaan dan keberlangsungan benda cagar budaya. Misalnya, penelitian arkeologis sebagai salah satu sektor kegiatan arkeologi haruslah sudah mulai menaruh perhatian dan melibatkan masyarakat lokal dalam kegiatan penelitiannya. Selama ini terkesan bahwa kegiatan penelitian arkeologis merupakan bagian yang sama sekali tidak memiliki keterkaitan dengan keberadaan masyarakat lokal di lokasi penelitian. Para arkeolog peneliti beranggapan bahwa tugas mereka hanyalah meneliti dan menganalisis data arkeolog (yang biasanya berupa benda mati), sehingga merasa tidak perlu menaruh perhatian pada masyarakat di sekitar situs. Anggapan semacam ini perlu segera ditinggalkan oleh para peneliti karena sangat berbahaya dan dapat menjadi bumerang bagi keberadaan arkeologi di Indonesia. Arkeologi akan menjadi sangat tidak berarti apabila ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya.
Di samping itu, pada saat ini mulai muncul kecenderungan untuk lebih memperhatikan kebermaknaan sosial (social significance) situs bagi masyarakat sekitarnya daripada hanya semata mata berkutat pada masalah konservasi situsnya saja. Pandangan ini memunculkan persepsi dan sikap yang berbeda terhadap posisi sumberdaya arkeologi dalam pengelolaannya, dibandingkan persepsi dan sikap yang dimiliki oleh para pelestari sumberdaya arkeologi yang terdahulu. Fokus pelestarian sumberdaya arkeologi bukan lagi pada upaya konservasi fisik situs (sumberdaya arkeologi) tetapi juga harus memperhatikan bagaimana masyarakat sekitar memaknai situs tersebut dan kebermaknaan sosial situs tersebut terhadap masyarakat di sekitarnya (Byrne t.t.)
Oleh karena itu, nampaknya perlu dikembangkan pendekatan alternatif terhadap pengembangan kegiatan arkeologi di Indonesia. Pendekatan baru tersebut adalah pendekatan yang lebih bersifat community-oriented, sebuah pendekatan yang lebih peduli terhadap keberadaan masyarakat lokal, bahkan masyarakat lokal dijadikan salah satu pusat pertimbangan utama dalam segala kegiatan dan pengambilan keputusan dalam bidang arkeologi. Sudah saatnya kita meninggalkan dan membuang konsep atau pendekatan yang hanya bersifat site-oriented semata-mata karena pendekatan semacam ini sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan kondisi dan situasi masa kini.
Pendekatan yang berorientasi pada komunitas atau masyarakat (community-oriented) dalam aplikasinya dapat diwujudkan melalui dua cara, yaitu dengan pendekatan partisipatori dan pemberdayaan masyarakat. Pendekatan partisipatoris merupakan sebuah pendekatan yang selalu melibatkan masyarakat dalam setiap langkah kerja yang dilaksanakan. Pendekatan semacam ini sudah berhasil dilakukan dalam bidang pertanian, kehutanan, antropologi, dan beberapa bidang ilmu yang lain (Chambers 1996), sedangkan penerapannya dalam bidang arkeologi belum banyak dilaksanakan (Prasodjo 2000). Pendekatan partisipatoris dalam arkeologi mempunyai potensi pengembangan yang cukup besar dan menarik, terutama keuntungan yang akan didapatkan dari penerapan partisipatoris dalam arkeologi, yaitu kegiatan arkeologis akan “dibantu” dan didukung oleh masyarakat dengan keterlibatannya dalam arkeologi dan akhirnya juga akan membuahkan hasil kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat sendiri. Cara yang kedua, yaitu pemberdayaan masyarakat, merupakan upaya membangun landasan sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang kuat bagi masyarakat di sekitar situs arkeologis melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan atau dikaitkan dengan kegiatan arkeologi.
MUNGKINKAH ARKEOLOGI/ARKEOLOG MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT LOKAL?
Konsep pemberdayaan (empowerment) muncul kira-kira berbarengan dengan tumbuhnya aliran pemikiran pasca modernisme (post-modernism) pada sekitar dua puluh tahun yang lalu (Pranarka dan Moeljarto 1996). Gagasan dasar dari konsep ini bermula dari permasalahan power (kekuatan) yang menurut penganut gagasan ini harus diberikan kepada setiap orang atau dengan kata lain setiap orang berhak atas power. Namun, disadari bahwa sebagian masyarakat ada yang sulit memilikinya karena kondisi yang tidak memungkinkannya. Oleh karena itu harus ada upaya oleh orang lain untuk memberikan power tersebut kepada masyarakat yang powerless. Tindakan memampukan masyarakat yang berada dalam kondisi yang tidak berdaya disebut dengan empowerment. Konsep permberdayaan (empowerment) oleh Pranarka dan Moeljarto didefinisikan sebagai “upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional, maupun dalam bidang politik, ekonomi, dan lain-lain”.Tentu saja konsep dasar seperti tersebut di atas masih sangat luas atau bahkan terlalu umum (Pranarka dan Moeljarto 1996).
Dalam prakteknya perhatian pemberdayaan masyarakat menitik beratkan pada adanya kenyataan bahwa individu maupun masyarakat dapat dihadang oleh hambatan dan kendala dalam proses pengaktualisasian keberadaannya. Oleh karena itu perlu dilaksanakan usaha-usaha baik oleh masyarakat sendiri atau melalui bantuan orang lain sebagai fasilitator untuk menghilangkan hambatan dan kendala tersebut. Cara yang ditempuh adalah dengan menciptakan dan membangun kondisi yang kondusif bagi tumbuhnya keberdayaan masyarakat, baik dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi (Pranarka 1996). Pemberdayaan dalam bidang sosial banyak dilaksanakan dengan kegiatan-kegiatan penyadaran tentang potensi-potensi yang dimiliki oleh kelompok masyarakat, sehingga pada akhirnya masyarakat mempunyai kekuatan untuk memperoleh akses sosial (misalnya kesempatan untuk membangun organisasi sosial) dalam upaya menggapai kesejahteraan bagi masyarakat. Dalam bidang politik, pemberdayaan lebih menaruh perhatian pada upaya memampukan masyarakat dalam menegakkan demokrasi, sehingga hak-hak mereka sebagai warganegara akan dapat terpenuhi. Pemberdayaan dalam bidang ekonomi merupakan upaya pemberdayaan yang paling banyak dilaksanakan karena kegiatan ini yang secara langsung berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan primer manusia. Pemberdayaan ekonomis dimaksudkan agar masyarakat dapat memiliki akses terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ekonomis untuk mencari nafkah.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah arkeologi/arkeolog dapat mengaplikasikan konsep pemberdayaan (empowerment) masyarakat lokal dalam kegiatan kerjanya, sehingga masyarakat di sekitar situs dapat berdaya secara sosial, politik, dan ekonomi? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, sebaiknya perlu dipahami lebih dahulu tentang tujuan arkeologi.
Pada awalnya tujuan arkeologi adalah mempelajari masa lampau manusia, terutama berusaha untuk merekonstruksi masa lampau manusia. Dengan kata lain, arkeolog berusaha untuk menciptakan kembali gambaran budaya materi masa lalu. Pada masa selanjutnya, tujuan seperti tersebut di atas diperluas lagi menjadi “rekonstruksi cara hidup manusia di masa lampau”. Dengan demikian, studi arkeologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana manusia purba hidup mengeksploitasi dan berinteraksi dengan lingkungan, mengapa mereka menjalani cara hidup seperti itu, dan masih banyak pertanyaan lain yang berkaitan eksplanasi proses perubahan budaya masa lampau (Renfrew dan Bahn 1991). Namun, pada masa kini ketika aliran pemikiran arkeologi pasca prosesual (post-processual archaeologies) berkembang dalam arkeologi, tujuan arkeologi menjadi sangat bervariasi tergantung pada aliran pemikiran yang dianutnya (Dark 1995).
Dalam aliran pemikiran arkeologi pasca prosesual terdapat beberapa cabang pemikiran yang mempercayai bahwa arkeologi dalam prakteknya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-budaya lingkungannya. Di samping itu, sebaliknya interpretasi arkeologi dipergunakan untuk mempengaruhi kondisi sosial budaya, seperti misalnya interpretasi arkeologi dimanipulasikan (dalam arti negatif maupun positif) untuk membangun citra sebuah etnis. Lebih jauh lagi, Shanks and Tilley bahkan berpendapat bahwa arkeologi mempunyai tujuan yang bersifat politis: “Archaeology, as cultural practice, is always a politics, always a morality” (Shanks and Tilley seperti yang dikutip dalam Johnson 1999). Berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, sampai saat ini belum muncul gagasan konseptual yang menjelaskan kemungkinan aplikasi pemberdayaan masyarakat lokal oleh kalangan arkeologi.
BEBERAPA CONTOH PEMBERDAYAAN MASYARAKAT OLEH ARKEOLOGI
Walaupun gagasan konseptual yang berasal dari kalangan arkeologi dalam pemberdayaan masyarakat belum dirumuskan, tetapi embrio bagi upaya pemberdayaan telah ada. Beberapa contoh yang diberikan Renfrew dan Bahn (1991) mengenai applied archaeology sebenarnya merupakan bentuk lain dari konsep pemberdayaan masyarakat lokal. Salah satu contohnya adalah proyek yang dikerjakan oleh Clark Erickson (seorang arkeolog Amerika) dan Ignacio Garaycochea di Danau Titicaca di Peru dan Bolivia yang berusaha memperkenalkan kembali sistem pertanian kuno pada masyarakat lokal. Proyek ini cukup berhasil meningkatkan hasil pertanian masyarakat setempat, dibandingkan penggunaan sistem pertanian modern yang dipakai sebelumnya. Contoh yang lain adalah Cusichaca Project yang dipimpin oleh Ann Kendall yang mengaplikasikan arkeologi bagi penggunaan kembali sistem kanal kuno di Patallacta, Peru (Renfrew dan Bahn 1991). Kedua proyek di atas memperlihatkan contoh upaya arkeologi/arkeolog dalam memberdayakan masyarakat lokal di sekitar situs dalam bidang ekonomi, terutama peningkatan hasil pertanian melalui pengenalan sistem pertanian kuno. Contoh pemberdayaan masyarakat dalam bidang kultural telah dilakukan oleh kalangan arkeologi Amerika pada masyarakat native american (indian) (antara lain: Lorden 2002).
Di Indonesia, seperti telah dikemukakan di depan, belum banyak kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh para arkeolog. Salah satu contoh yang dapat dikatakan mewakili usaha pemberdayaan masyarakat sekitar situs adalah pembinaan usaha ekonomi masyarakat di sekitar Candi Borobudur, terutama memberdayakan mereka agar dapat ikut mengambil keuntungan ekonomis dari kegiatan pariwisata Candi Borobudur (Mundardjito 1999).
Pada dasarnya pemberdayaan masyarakat lokal sekitar situs arkeologis yang dapat dilakukan oleh arkeologi/arkeolog dapat diwujudkan dalam tiga aspek pemberdayaan, yaitu pemberdayaan sosial-budaya, politik, dan ekonomi, seperti juga yang telah dilakukan oleh disiplin ilmu lain. Pemberdayaan sosial-budaya masyarakat lokal dicapai dengan memberdayakan kemampuan masyarakat untuk mengenali jati dirinya melalui temuan dan interpretasi data arkeolgois yang dikerjakan oleh para arkeolog. Misalnya saja melalui diseminasi penelitian arkeologi kepada masyarakat lokal sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban para peneliti yang telah meneliti wilayah dan benda warisan budaya mereka. Dengan informasi yang didapatkan dari interpretasi arkeologis masyarakat dapat mengenal dirinya sendiri dalam bidang sosial-budaya, seperti revitalisasi budaya dan tradisi lama, dan yang selanjutnya dapat dipergunakan dorongan moral bagi pengaktualisasian eksistensinya (Sutaba 2000). Pemberdayaan politik menekankan perhatiannya pada usaha untuk memampukan masyarakat dalam peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan kebijakan politis yang berkaitan dengan kepentingan kelangsungan hidup komunitas yang bersangkutan. Misalnya dengan temuan arkeologis mengenai sejarah politis etnis atau kelompok masyarakat dapat dipakai sebagai alat kampanye untuk menunjukkan posisi penting kelompok tersebut dalam konstelasi politik di tingkat yang lebih tinggi. Pemberdayaan dalam bidang ekonomis merupakan pemberdayaan yang secara langsung paling cepat dirasakan hasilnya oleh masyarakat lokal di sekitar situs. Kedua usaha pemberdayaan ekonomi-pertanian di Amerika Selatan yang telah dikemukakan sebelumnya adalah contoh yang tepat tentang pemberdayaan ekonomis oleh para arkeolog.
Pemberdayaan perajin batu mulia di Desa Sekar, Donorojo, Pacitan: sebuah contoh faktual pemberdayaan masyarakat oleh kalangan arkeologi.
Pada tahun 2000 yang lalu Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada melaksanakan kegiatan Program Semi-QUE di Pacitan, Jawa Timur. Program tersebut yang berjudul: “Pengembangan Potensi Wisata Budaya di Kawasan Pacitan-Wonogiri-Wonosari dalam Rangka Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Setempat melalui Peningkatan Manajemen Tridharma Perguruan Tinggi” melibatkan staf pengajar Jurusan Arkeologi FS-UGM, mahasiswa, tenaga profesional, instansi terkait, dan masyarakat lokal. Keseluruhan program ini terdiri dari empat kegiatan (projek) hulu-hilir yang saling terkait dan berkesinambungan, yaitu Projek A: pelatihan penelitian lapangan untuk mahasiswa; Projek B: penelitian arkeologis berupa penelusuran dan interpretasi terhadap sumber daya arkeologis di kawasan Pacitan; Projek C: penelitian dan perencanaan strategi manajemen sumber daya arkeologis di kawasan Pacitan, terutama dalam upaya peningkatan wisata budaya kawasan tersebut; dan Projek D: pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengembangan industri pariwisata yang diwujudkan dalam bentuk workshop peningkatan kualitas hasil produksi perajin batu mulia di Desa Sekar, Kecamatan Donorojo, Pacitan (Inajati Adrisijanti, dkk. 2000).
Pelaksanaan program projek D melibatkan dua puluh perajin yang berasal dari desa Sekar. Desa Sekar merupakan salah satu sentra kerajinan batu mulai di kecamatan Donorojo, Pacitan yang juga merupakan salah satu kawasan arkeologis di kabupaten Pacitan yang memiliki temuan arkeologis mulai dari masa paleolitik sampai neolitik. Kerajinan batu mulia dari kecamatan Donorojo merupakan produk (wisata) andalan kabupaten Pacitan. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka tim projek D bekerjasama dengan instansi terkait dan kelompok profesional di kabupaten Pacitan melaksanakan pemberdayaan masyarakat di desa Sekar tersebut.
Dalam workshop tersebut tim arkeologi FS-UGM memberikan materi pelatihan berupa sosialisasi informasi penelitian dan temuan arkeologis yang sudah dilaksanakan oleh projek B dan C di wilayah Donorojo, pengenalan teknologi pembuatan alat batu dari masa prasejarah, pembekalan materi pengelolaan dan pelestarian sumber daya arkeologis, dan kunjungan ke Museum Punung. Pemberian materi-materi tersebut di atas ternyata sangat membantu memberdayakan perajin batu mulia desa Sekar dalam hal memacu semangat produktivitas yang benar dan tepat. Para perajin akhirnya menyadari bahwa nenek moyang mereka pada masa lampau telah menekuni kerajinan batu, seperti yang dibuktikan dengan temuan alat batu di wilayah mereka sendiri. Kesadaran akan adanya “warisan” ketrampilan kerajinan batu dari nenek moyang memacu motivasi para perajin untuk terus bertekun dalam produksi kerajinan batu mulia disertai dengan keinginan untuk terus meningkatkan kualitas hasil kerajinannya. Di samping itu, perajin juga disadarkan pada kewajiban untuk melindungi dan melestarikan tinggalan budaya arkeologis yang berada daerah mereka sendiri, seperti menghindari penggunaan temuan arkeologis sebagai bahan dasar pembuatan kerajinan batu (Ibid.).
Untuk meningkatkan kualitas produksi dan pemasaran kerajinan batu mulia, maka diberikan pula pelatihan dalam bidang teknik produksi (seleksi bahan, desain, dan diversifikasi produk) dan strategi pemasaran (pemasaran kerajinan batu dalam industri pariwisata dan pemberdayaan kelembagaan perajin). Beberapa hasil yang dapat dilihat segera setelah pelatihan selesai dalam meningkatnya ketrampilan perajin batu dalam memproduksi kerajinan batu mulia, seperti diversifikasi bentuk produk kerajinan yang berupa replika alat-alat batu masa prasejarah dan produk-produk batu mulia lain yang diminati oleh pasar (Ibid.).
Pada akhir kegiatan workshop para perajin merasa bahwa kegiatan ini sangat bermanfaat bagi mereka sehingga diharapkan akan sangat membantu mereka dalam memberdayakan ekonomi mereka. Dari sudut pandang arkeologi, kegiatan workshop ini menyadarkan kalangan arkeologi bahwa sebenarnya para arkeolog melakukan sesuatu hal yang berguna dan bermanfaat bagi masyarakat lokal secara langsung. Sudah saatnya kegiatan arkeologi tidak hanya dibatasi pada penelitian yang bersifat arkeologis murni, tetapi mengembangkan bentuk-bentuk kegiatan yang lebih bermanfaat bagi masyarakat di sekelilingnya.
Berdasarkan pengalaman yang telah diperoleh dengan kegiatan pemberdayaan perajin batu mulia di desa Sekar bahwa kegiatan tersebut secara faktual sangat bermanfaat bagi masyarakat di sekitar situs arkeologis dan berdasarkan pertimbangan bahwa dampak krisis ekonomi di Indonesia sangat dirasakan oleh sebagian masyarakat, maka sudah sewajarnya kegiatan pemberdayaan masyarakat lokal perlu terus dikerjakan. Perajin batu mulia desa Sekar bukan lah satu-satunya masyarakat lokal yang memerlukan pemberdayaan, masih terdapat banyak kelompok masyarakat di sekitar situs-situs arkeologis di Indonesia yang membutuhkan fasilitasi semacam itu. Demikian pula aspek pemberdayaan tidak lah harus dari sektor ekonomis semata, dapat juga dilakukan pemberdayaan dalam bidang sosial-budaya dan politik.
STRATEGI DAN PROSPEK DI MASA MENDATANG
Pada dasarnya pemberdayaan masyarakat lokal sekitar situs arkeologis yang dapat dilakukan oleh arkeologi/arkeolog dapat diwujudkan dalam tiga aspek pemberdayaan, yaitu: (1) pemberdayaan sosial-budaya; (2) pemberdayaan politik, dan (3) pemberdayaan ekonomi, seperti juga yang telah dilakukan oleh disiplin ilmu lain. Pemberdayaan sosial-budaya masyarakat lokal dicapai dengan memberdayakan kemampuan masyarakat untuk mengenali jati dirinya melalui temuan dan interpretasi data arkeolgois yang dikerjakan oleh para arkeolog. Misalnya saja melalui diseminasi penelitian arkeologi kepada masyarakat lokal sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban para peneliti yang telah meneliti wilayah dan benda warisan budaya mereka. Dengan informasi yang didapatkan dari interpretasi arkeologis masyarakat dapat mengenal dirinya sendiri dalam bidang sosial-budaya, seperti revitalisasi budaya dan tradisi lama, dan yang selanjutnya dapat dipergunakan dorongan moral bagi pengaktualisasian eksistensinya (Sutaba 2000). Pemberdayaan politik menekankan perhatiannya pada usaha untuk memampukan masyarakat dalam peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan kebijakan politis yang berkaitan dengan kepentingan kelangsungan hidup komunitas yang bersangkutan. Misalnya dengan temuan arkeologis mengenai sejarah politis etnis atau kelompok masyarakat dapat dipakai sebagai alat kampanye untuk menunjukkan posisi penting kelompok tersebut dalam konstelasi politik di tingkat yang lebih tinggi. Pemberdayaan dalam bidang ekonomis merupakan pemberdayaan yang secara langsung paling cepat dirasakan hasilnya oleh masyarakat lokal di sekitar situs. Kedua usaha pemberdayaan ekonomi-pertanian di Amerika Selatan yang telah dikemukakan sebelumnya adalah contoh yang tepat tentang pemberdayaan ekonomis oleh para arkeolog.
Strategi atau pendekatan yang akan dan dapat digunakan dalam pemberdayaan masyarakat melalui arkeologi di masa mendatang diperkirakan terfokus pada peningkatan kemampuan dan keterlibatan masyarakat sendiri. Para arkeolog hanya akan berfungsi sebatas fasilitator saja. Tiga pendekatan yang cenderung akan dipergunakan di masa mendatang adalah:
1. Community Organizing
Istilah ini cukup populer akhir-akhir ini di kalangan pemberdaya masyarakat lokal. Gerakan community organizing merupakan pembaharuan atas gerakan yang mendahuluinya yaitu community development. Community organizing lebih ditujukan pada penguatan masyarakat dalam mengorganisasikan dirinya dalam upaya pemberdayaannya.
2. Pendekatan Partisipatori
Penelitian dan pemberdayaan masyarakat yang berbasis partisipatori selalu mengedepankan ketrlibatan masyarakat dalam kegiatannya. Dalam pendekatan partisipatori ini dikenal adanya pendekatan PRA (Participatory Rural Appraisal) dan PAR (Participatory Action Research). PRA merupakan pendekatan dalam memahami keadaan suatu masyarakat oleh masyarakat itu sendiri. Dengan demikian masyarakat dilibatkan dalam keseluruhan kegiatan penelitian karena diyakini bahwa masyarakat itu sendiri lah yag lebih mengetahui keadaannya (Chamber 1986; Prasodjo 2000). Dalam PAR, pelibatan masyarakat jauh lebih dalam lagi; masyarakat terlibat dipandang mempunyai kedudukan sejajar dengan para peneliti atau bahkan meneliti masyarakatnya sendiri (Canave-Anung 1996). Canave-Anung dalam tulisannya yang lain (1994: 4) menyatakan tentang PAR :
“The basic premise of PAR is that oppressed and disadvantaged persons can empower themselves by examining their own situations, developing an understanding of political, economic, social (and environmental) determinants of these situations, researching alternative scenarios, taking action that grows out of their own culture and values, and thus adding to the knowledge base for the enhancement of the quality of life.”
Pendekatan PAR dalam arkeologi ini pernah ditawarkan untuk dicoba di Canada (Robinson 1996). Di Indonesia, penerapan PAR nampaknya belum pernah dilakukan dan kemungkinan akan menjumpai beberapa kendala untuk penerapannya.
3. Pendekatan multidisiplin
Pemberdayaan masyarakat memiliki aspek multidimensional, sehingga untuk melakukannya perlu didekati dengan multidisipliner agar upaya pemberdayaan tersebut dapat tercapai secara utuh dan efektif. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat melalui arkeologi pun harus didukung oleh disiplin ilmu yang lain, seperti antara lain geografi, antropologi, sosiologi, dan ekonomi.
Hambatan yang akan dihadapi dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat oleh kalangan arkeologi berada pada keterbatasan dana yang ada. Penyediaan dana pemerintah yang berkaitan dengan kegiatan arkeologi di Indonesia semakin berkurang. Oleh karena dana rutin yang disediakan untuk penelitian dan perlindungan sumber daya arkeologis saja tidak mencukupi, maka tentu saja hampir tidak tersedia dana yang dapat dipergunakan untuk pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat yang oleh beberapa kalangan arkeologi mungkin dianggap bukan menjadi tugas dan wewenangnya. Namun, hal ini dapat diatasi dengan melakukan kerjasama dengan mitra kerja yang memiliki dana atau mencari penyandang dana di luar sektor pemerintahan.
Akhirnya, hal yang justru paling penting harus dilakukan terlebih dahulu adalah penumbuhan kesadaran di kalangan arkeologi bahwa sudah menjadi “kewajiban” bagi kalangan arkeologi untuk menaruh kepedulian terhadap masyarakat lokal di sekitar situs arkeologi. Keperdulian itu diwujudkan dengan melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat lokal. Keberdayaan kelompok masyarakat di sekitar situs arkeologis secara sosial-budaya, politik, dan ekonomi justru menjadi pondasi yang kokoh bagi upaya perlindungan dan pelestarian tinggalan arkeologis di kawasan itu.

REFERENSI
Byrne, Denis, Helen Brayshaw, Tracy Ireland.
t.t. Social Significance. A Discussion Paper. NSW National Parks & Wildlife Service, Research Unit, Cultural Heritage Devision.
Canave-Anung, Luz
1994 “Participatory Action Research: A Celebration of People’s Knowledge for Social Change”, dalam: Jim Freedman (ed.). Development from Within. Essays on Organizing Communities for Self-Sufficiency. Institute of Primary Health Care Davao Medical School Foundation.
________________
1996 Training Package on Community Organizing-Participatory Action Reseach. Mindanao Training Resources Center - Institute of Primary Health Care Davao Medical School Foundation.
Chambers, Robert
1996 PRA Participatory Rural Appraisal, Memahami Desa Secara Partisipasi. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Clark, Grahame
1969 Archaeology and Society. New York: Barnes and Noble Books.
Dark, K.R.
1995 Theoritical Archaeology. Ithaca: Cornell University Press.
Hodder, Ian
1986 Reading the Past: Current Approaches to Interpretation in Archaeology. Cambridge: Cambridge University Press.
Hodder, Ian
1995 Interpreting Archaeology. London and New York: Routledge.
Inajati Adrisijanti, dkk.
2000 The Development of Cultural Tourism Potential at the Pacitan-Wonogiri-Wonosari Region in order to Empower the Local Communities’ Economy through Enhancement of the Management of the University’s Tridharma. Laporan Kegiatan Semi-QUE. Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Johnson, Matthew
1999 Archaeological Theory. An Introduction. Oxford: Blackwell Publishers Ltd.
Lorden, Teresa M.
2002 “Archaeology for Cultural Empowerment”. Http://americanindian.ucr.edu/partnership/cultural-empowerment.html, tanggal 20-08-2004
Mundardjito
1999 “Archaeology: Empowerment and Ethics”, dalam: Wiendu Nuryanti (ed.). Heritage, Tourism, and Local Communities. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pranarka, A.M.W.
1996 “Globalisasi, Pemberdayaan dan Demokratisasi”, dalam: Onny S. Prijono dan A.M.W. Pranarka. Pemberdayaan. Konsep, Kebijakan, dan Implementasi. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.
Pranarka, A.M.W. dan Vidhyandika Moeljarto
1996 “Pemberdayaan (Empowerment)”, dalam: Onny S. Prijono dan A.M.W. Pranarka. Pemberdayaan. Konsep, Kebijakan, dan Implementasi. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.
Prasodjo, Tjahjono
2003 “Konflik Dalam Pemanfaatan Dan Pengelolaan Gua Arkeologis Di Kawasan Kars Gunungkidul”, Disampaikan dalam Sarasehan Pengembangan Peranserta Masyarakat dalam Pelestarian dan Pemanfaatan Gua-gua Bersejarah, pada tanggal 6-9 September 2003, di Ponjong Gunungkidul.
_______________
2000 “Pendekatan Partisipatoris dalam Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi dan Kemungkinan Penerapannya di Kawasan Arkeologis Gunungkidul”, Berkala Arkeologi Tahun XX Edidi No. 1/Mei 2000.
Renfrew, Colin and Paul Bahn
1991 Archaeology. Theories, Methods, and Practice. London: Thames and Hudson Ltd.
Robinson, Michael P.
1996 “Shampoo Archaeology: Towards a Participatory Action Research Approach in Civil Society”. The Canadian Journal of Native Studies XVI, 1(1996): 125-138.
Sutaba, I Made
2000 “Manfaat Arkeologi dalam Pemberdayaan Masyarakat pada Milinium Ketiga”, Seri Penerbitan Forum Arkeologi, No. II/November 2000.
Tanudirjo, Daud Aris
2000 “Reposisi Arkeologi dalam Era Global”. Buletin Cagar Budaya Vol. 1 No. 2. Juli 2000.
Trigger, Bruce G.
1989 A History of Archaeological Thought. Cambridge: Cambridge University Press.

2 komentar: